Mubadalah.id – Tepat pada hari Kartini, Minggu 21 April 2024, Veve Zulfikar secara resmi melepaskan masa lajangnya dengan menikah dengan Muhammad Musthofa Khon, seorang pria asal Uzbekistan. Saat pernikahan, usia veve termasuk masih muda yakni 21 tahun. Sedangkan Muthofa masih belum kita ketahui secara jelas.
Pernikahan Veve Zulfikar dan Mushofa
Pernikahan ini ramai diperbincangkan para netizen sebab selama ini tidak tersiar kabar adanya hubungan yang intens antara Veve dengan Musthofa. Namun sesaat menjelang pernikahan, secara tiba-tiba Veve mengunggah foto berlatar biru di akun IG-nya bersama sosok pria yang ia tutupi wajahnya.
Hal yang lebih mengagetkan setelah diketahui bahwa pasangan dari Veve merupakan warga Uzbekisten dan tidak menetap di Indonesia sebelumnya. Mereka saling kenal sejak tahun 2019 pada kegiatan PCINU di Korea Selatan dan kemudian menikah pada tahun 2023.
Adapun resepsinya baru berlangsung di tahun ini. Model pernikahan yang melibatkan dua pasangan berbeda negara sebagaimana tersebut merupakan jenis pernikahan ‘amalgamasi’.
Di sisi lain, tren pernikahan Veve dengan Musthofa memperbanyak daftar nama artis Indonesia yang menikah dengan bule. Maudy Koesnaedi, Shanty, Melaney Ricardo, Indah Kalalo, Marissa Nasution, Nadia Vega, Anggun, Cut Memey adalah sebagian dari sederet artis Indonesia yang menikah dengan ‘bule’.
Baik kita sadari maupun tidak, fenomena pernikahan amalgamasi (berbeda suku bangsa) yang public figure lakukan bisa menciptakan tren pernikahan bagi para Gen Z untuk melakukan hal yang serupa. Terlebih, bahwa para artis memiliki jutaan pengikut di akun media sosial mereka.
Tren Amalgamasi di Indonesia
Amalgamasi dapat kita artikan sebagai perkawinan antarsuku atau antarras yang memiliki ciri fisik yang berbeda. Di sisi lain, term tersebut bisa kita artikan dengan pernikahan antara dua orang yang berbeda suku bangsa.
Berdasarkan sejarah, pernikahan model tersebut sudah mulai sejak tahun 1967-an di negara Amerika yang melibatkan suku berkulit putih dan suku berkulit hitam. Fenomena ini juga terjadi di berbagai penjuru dunia meski dengan model yang tidak sama persis.
Adapun dalam konteks Indonesia, pernikahan Amalgamasi dapat diarahkan pada realitas di masyarakat sejak zaman dahulu. Pada waktu itu, banyak kaum bangsawan yang menikah dengan kaum proletar. Semisal raja dengan rakyatnya.
Melalui sudut pandang yang lain, kenyataan yang semisal juga kadang kala terjadi antara anak kiai dengan orang awam. Bisa juga antara orang kaya dengan orang miskin atau orang yang dari suku Jawa dengan suku Sunda.
Oleh karena itu, pernikahan amalgamasi mempunyai corak yang beragam di Indonesia. Namun, hal yang paling menonjol sedari dulu adalah pernikahan yang melibatkan perbedaan kasta sosial sebagaimana dalam cerita Cinderella.
Hemat penulis, tingginya strata sosial yang seseorang miliki mempunyai andil untuk terjadinya pernikahan amalgamasi yang melibatkan pasangan berbeda negara sebagaimana kasus Veve dengan Musthofa.
Pernikahan dengan Bule: Perihal Strata Sosial atau Efek Globalisasi?
Mengingat perkataan orang tua yang sering mengatakan bahwa “nikah jangan dengan orang jauh-jauh, ini contoh ibu dengan abahmu yang beda desa saja”. Kurang lebih seperti itu perkataan kebanyakan orang tua yang tinggal di desa.
Pengalaman orang tua yang berbeda generasi dengan anak-anaknya sering kali terbawa dalam keputusan persetujuan orang tua untuk menikahkan anaknya. Fenomena tersebut mayoritas dialami oleh kolega penulis, meski sejatinya hal demikian masih bisa dinego oleh anaknya.
Perbedaan generasi yang berkaitan dengan besarnya efek globalisasi bagi Gen Z menyebabkan semakin besarnya peluang pernikahan amalgamasi. Secara spesifik, semakin luasnya akses internet yang disertai dengan semakin masifnya pengguna media sosial menjadi faktor utamanya.
Globalisasi dapat menghilangkan batas waktu dan jarak. Globalisasi juga mempermudah koneksi dengan orang-orang di dunia ini. Maka tidak heran, kita bisa melihat jutaan orang di dunia hanya dengan mencari tahu namanya di internet browser atau melalui pencarian akun di Instagram.
Faktor selanjutnya adalah strata sosial. Semakin tinggi strata milik seseorang, maka semakin besar kekuatannya untuk melakukan sesuatu. Jika kita tarik dalam fenomena nikah amalgamasi maka hampir semua orang yang melakukannya adalah orang yang kaya atau punya strata sosial yang tinggi. Berbeda lagi jika bule sudah menetap di Indonesia, sebagaimana pernikahan yang terjadi di Bali.
Pernikahan amalgamasi antara orang beda negara tentu punya risiko pengeluaran finansial yang jauh lebih tinggi. Mulai dari pembiayaan untuk agenda pernikahan dan juga transportasi beda negara. Maka tidak heran, pernikahan amalgamasi tidak diperuntukkan untuk setiap orang, namun bagi mereka yang secara sosial sudah mapan dan berkecukupan.
Dengan demikian, baik strata sosial maupun globalisasi mempunyai peran penting dalam meningkatkan peluang pernikahan amalgamasi. []