Mubadalah.id – Di tengah krisis iklim yang semakin mengkhawatirkan, Indonesia justru disuguhi polemik baru yang memecah belah: istilah “Wahabi Lingkungan”. Pada 12 Juni 2025, Ulil Abshar Abdalla, Ketua PBNU, melontarkan frasa ini dalam debat panas di Kompas TV, menyamakan aktivis lingkungan seperti Greenpeace dan WALHI dengan kelompok puritan dalam agama. Apa sebenarnya yang ingin ia sampaikan? Apakah ini sekadar retorika politik, atau ada agenda terselubung di baliknya?
Pernyataan Ulil bukan tanpa konsekuensi. Dalam hitungan jam, tagar #SaveRajaAmpat dan #WahabiLingkungan membanjiri media sosial, memicu perdebatan sengit antara pendukung pembangunan ekonomi dan pejuang keadilan ekologis. Yang lebih mengejutkan, PBNU sendiri baru saja mendapatkan konsesi tambang batu bara dari pemerintah. Ssebuah fakta yang membuat banyak pihak mencurigai motif di balik pernyataan kontroversial ini.
Lalu, mengapa istilah “Wahabi” kita gunakan untuk mendiskreditkan gerakan lingkungan? Apakah ini taktik untuk mengalihkan perhatian dari kerusakan nyata akibat industri ekstraktif? Ataukah ada narasi lebih besar yang sedang dipersiapkan untuk melegitimasi eksploitasi sumber daya alam? Mari kita telusuri lebih dalam.
Asal-usul Istilah “Wahabi Lingkungan”
Ketika Ulil menyebut aktivis lingkungan sebagai “Wahabi Lingkungan”, ia menarik paralel antara sikap puritan dalam beragama dengan gerakan lingkungan yang menolak segala bentuk pertambangan. Namun, benarkah analogi ini valid?
Para ahli linguistik kognitif seperti George Lakoff menyebut ini sebagai *framing* yang sengaja terpakai untuk mempolarisasi debat. Dengan menyematkan label “Wahabi”, Ulil seolah ingin menggiring opini publik bahwa aktivis lingkungan bersikap ekstrem dan tidak rasional.
Tapi, data berbicara lain. Greenpeace dan WALHI tidak pernah menolak pertambangan secara absolut. Mereka hanya menuntut moratorium di kawasan sensitif seperti Raja Ampat. Di mana tambang nikel mengancam 75% spesies karang dunia. Lalu, mengapa label ini justru muncul saat PBNU mendapatkan konsesi tambang? Apakah ini kebetulan, atau bagian dari upaya pembenaran?
Yang lebih ironis, Fiqh Lingkungan NU sendiri mengajarkan bahwa alam adalah amanah Tuhan yang harus kita jaga. Beberapa tokoh NU seperti Roy Murtadho bahkan mengecam keras pernyataan Ulil, menyebutnya sebagai pengkhianatan terhadap prinsip keagamaan yang selama ini NU pegang. Jika aktivis lingkungan kita anggap “Wahabi”, lalu apa sebutan bagi mereka yang mengeksploitasi alam tanpa memedulikan kerusakannya?
Pertanyaan besarnya: Apakah istilah ini sengaja tercipta untuk mengaburkan fakta bahwa Indonesia sedang berada di ambang bencana ekologis?
Dampak Nyata Tambang
Sementara perdebatan tentang “Wahabi Lingkungan” terus memanas, kerusakan lingkungan di Raja Ampat dan daerah lain terus meluas. Data Greenpeace menunjukkan, deforestasi di Pulau Gag dan Kawe telah mencapai 500 hektare, sementara sedimentasi dari tambang nikel mengancam terumbu karang yang menjadi jantung ekowisata senilai Rp1,3 triliun per tahun. Lalu, mana yang lebih berbahaya: aktivis yang vokal atau industri yang merusak?
WALHI mencatat, pada 2022 saja terdapat 278 konflik agraria terkait tambang dan proyek ekstraktif. Belum lagi prediksi Environmental Outlook 2025 yang menyebut deforestasi akan mencapai 600 ribu hektare tahun ini. Jika ini bukan krisis, lalu apa namanya? Namun, alih-alih membahas solusi, publik justru tersuguhi perang narasi yang mengalihkan fokus dari akar masalah.
Yang lebih memprihatinkan, masyarakat kecil—petani dan masyarakat adat—menjadi korban utama. Di Pulau Obi, polusi air akibat tambang telah meracuni sumber kehidupan warga. Di Wadas dan Kendeng, kriminalisasi terhadap petani yang menolak proyek tambang terus terjadi. Apakah mereka juga pantas kita sebut “Wahabi Lingkungan”?
Di tengah semua ini, pertanyaan kritisnya: Mengapa isu lingkungan selalu dikalahkan oleh narasi politik dan ekonomi? Sampai kapan kita akan membiarkan kerusakan alam demi keuntungan segelintir orang?
Medan Perang Opini yang Tak Seimbang
Di platform X (Twitter), perang narasi tentang “Wahabi Lingkungan” mencapai puncaknya. Akun seperti @Mythicalforest dengan tegas mengecam Ulil sebagai “bebal” karena menyerang aktivis di tengah krisis ekologi. Sementara @V3g3L mempertanyakan, “Jika menolak kerusakan lingkungan disebut Wahabi, apakah mendukung perusakan bumi disebut jihad ekonomi?”
Namun, tidak semua suara berpihak pada aktivis. Beberapa akun seperti @Ayung_N mencoba mematahkan argumen Greenpeace dengan menyebut adanya “kontradiksi” di kalangan aktivis sendiri. Tapi, apakah kritik sporadis ini cukup untuk mengaburkan fakta bahwa industri tambang telah gagal memenuhi janji reklamasinya?
Yang menarik, Roy Murtadho lewat @MurtadhoRoy mengungkap bahwa Inaya Wahid—putri mantan Presiden Gus Dur dan dewan pengawas Greenpeace—juga ikut terlabeli “Wahabi Lingkungan”. Ini menunjukkan betapa luasnya sasaran stigmatisasi ini. Apakah tujuan sebenarnya adalah membungkam semua suara kritis terhadap industri ekstraktif?
Pertanyaan terbesar: Di era di mana informasi bisa dengan mudah kita putarbalikkan, bagaimana kita memastikan bahwa kebenaran ekologis tidak tenggelam dalam hiruk-pikuk retorika?
Masa Depan Lingkungan Indonesia
Jika istilah “Wahabi Lingkungan” terus kita gunakan sebagai alat untuk mendelegitimasi gerakan lingkungan, apa implikasinya bagi masa depan Indonesia? UNEP sudah memperingatkan krisis tiga planet—iklim, biodiversitas, dan polusi—yang mengancam kelangsungan hidup manusia. Lalu, apakah kita akan berdiam diri sementara hutan terus dibabat dan laut tercemar?
Fiqh Lingkungan dan Tasawuf Ekologis dalam Islam jelas menekankan pentingnya menjaga alam. Namun, ketika lembaga keagamaan seperti PBNU justru terlibat dalam bisnis tambang, apakah ini pertanda bahwa prinsip-prinsip tersebut telah terkalahkan oleh kepentingan materi?
Di sisi lain, gerakan lingkungan tidak bisa hanya mengandalkan aktivisme. Kita membutuhkan kolaborasi dengan akademisi, masyarakat sipil, dan bahkan kalangan agama untuk menciptakan solusi berkelanjutan. Tapi, bisakah ini tercapai jika diskusi sudah terkotak-kotakkan dengan label yang memecah belah?
Pertanyaan pamungkas: Jika bukan sekarang, kapan lagi kita akan serius menyelamatkan bumi? Dan jika bukan kita, siapa lagi?
Sebuah Pilihan yang Harus Dibuat
Kontroversi “Wahabi Lingkungan” bukan sekadar perdebatan semantik. Ini adalah pertarungan antara dua paradigma: pembangunan yang eksploitatif versus perlindungan alam yang berkelanjutan. Label ini mungkin akan terus terpakai untuk melemahkan suara kritis, tetapi fakta-fakta di lapangan tidak bisa kita bungkam.
Indonesia berada di persimpangan jalan. Kita bisa memilih untuk terus mengorbankan lingkungan demi keuntungan jangka pendek, atau mulai membangun masa depan di mana ekonomi dan ekologi berjalan beriringan. Keputusan ada di tangan kita—sebelum semuanya benar-benar terlambat.
Jadi, di pihak mana Anda akan berdiri? []