Mubadalah.id – Bulan Ramadan, bulan yang penuh berkah dan ampunan, telah menjadi momen spesial bagi umat Islam di seluruh dunia, termasuk juga di pondok pesantren. Bulan ini ditandai dengan digelarnya tradisi ngaji pasaran/posonan.
Namun setelah memasuki pertengahan atau tanggal 15 Ramadan, tradisi ngaji pasaran di sebagian besar pondok pesantren telah berakhir. Dan pondok pesantren memasuki waktu libur Hari Raya Idul Fitri.
Meskipun tradisi ngaji pasaran ini telah berakhir, namun banyak hal yang bisa kita refleksikan dari adanya tradisi ini. Mengutip dari website Kemenag.co.id setidaknya ada delapan manfaat dari adanya tradisi ngaji pasaran.
Pertama, diikuti oleh santri kelana (santri luar pesantren). Tradisi ini digelar bersamaan dengan masa libur pendidikan klasikal selama Ramadan. Selain santri pesantren setempat, ngaji pasaran juga diikuti santri kelana. Yaitu, santri satu pesantren yang memilih tabarukan dengan mengaji di pesantren lainnya sesuai target kitab yang ingin dikajinya atau ustadz yang mengajarnya.
Kedua, alumni juga boleh ikut ngaji pasaran. Banyak para alumni pesantren yang memilih untuk mengisi selama bulan Ramadan untuk memilih ngaji pasaran di pesantren tertentu. Sehingga para santri juga bisa saling mengenal dengan para seniornya.
Ketiga, kitab yang dikaji tidak terlalu tebal. Karena rentang waktu mengajinya juga berbeda-beda. Ada yang khatam pada 17 malam bulan Ramadan, ada juga yang hingga akhir bulan puasa baru selesai. Kitab yang kiai baca seringkali tidak terlalu tebal.
Misalnya, Tanqihul Qaul, Risalatul Mu’awanah, Bulughul Maram, dan Fathul Ghaits. Belakangan, karya Hadratusy Syaikh Hasyim Asy’ari, Risalah Ahlus Sunnah Waljama’ah juga pesantren ajarkan.
Menyambung Sanad Keilmuan
Keempat, ngaji pasaran menjadi momentum bagi para santri untuk menyambung sanad keilmuan, mengaji pada para kiai dan ustadz satu kitab hingga khatam. Para santri melakukan ‘tabarrukan ilmu’ dari proses transformasi pengetahuan guru dan murid.
Kelima, ngaji pasaran juga menjadi sarana pembinaan mental. Karena untuk mengikuti ngaji ini memang perlu persiapan, mulai dari mengatur waktu keberangkatan, persiapan kitab. Termasuk keharusan beradaptasi secara cepat dengan lingkungan baru.
Persiapan dan keteguhan hati ini mereka butuhkan demi kemudahan, kesuksesan, dan kelancaran dalam “ngalap berkah” ngaji pasaran.
Keenam, dalam konteks sekarang, praktik ngaji pasaran yang sudah berlangsung sejak lama di pesantren senafas dengan konsep Merdeka Belajar yang sedang Kemendikbud galakkan. Tradisi pendidikan pesantren melalui ngaji pasaran bahkan bisa menjadi best practice dari penerapan kurikulum Merdeka Belajar.
Ketujuh, secara intelektual, beragam kitab yang kiai ajarkan dalam ngaji pasaran akan memberi warna dalam pembacaan dan pemaknaan. Tradisi ini terus berkembang, sebagai bukti kekayaan dan keluasan ilmu para kyai, nyai, gus, ning maupun asatidz pesantren.
Kedelapan, di tengah arus perubahan zaman, ngaji pasaran berlangsung dengan beragam penyesuaian, termasuk dengan pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi. Misalnya, selama ngaji pasaran banyak pesantren yang melakukan live streaming dengan menggunakan kanal You Tube, Facebook, maupun Tiktok.
Harapannya dengan live streaming, ngaji pasaran bisa dijangkau lebih luas. Sehingga banyak para alumni, wali santri atau masyarakat pada umumnya bisa tetap mengikuti ngaji pasaran secara online.
Dengan delapan manfaat di atas, setidaknya bisa menjadi pembelajaran penting bagi kita semua. Bahwa dari tradisi ini memberikan banyak manfaat. Sehingga para santri yang mengikuti ngaji tidak hanya khatam kitab dalam waktu cepat tetapi banyak kebaikan lainnya. []