• Login
  • Register
Minggu, 6 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Personal

Bagaimana Para Feminis Memandang Kecantikan Perempuan?

Bagi para feminis, hal utama adalah perempuan merasa “utuh” terhadap dirinya sendiri dengan fisik yang dimiliki saat ini terlepas dari wacana standar kecantikan yang kerap menekan perempuan.

Andi Nur Faizah Andi Nur Faizah
09/02/2021
in Personal
0
Kecantikan Perempuan

Kecantikan Perempuan

236
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Gambaran kecantikan perempuan kerap dijadikan standar. Misalnya, bertubuh langsing, berwajah glowing, berkulit putih nan cerah, dan lain-lain. Ini bisa dilihat dari media, baik produk iklan maupun film dengan citra ideal perempuan. Tokoh utama perempuan masih memperlihatkan perempuan dengan kulit putih, bertubuh langsing, berambut lurus.

Coba kalau kita nonton film, si tokoh perempuan misalnya yang dulunya dianggap “tidak menarik/ tidak cantik” kemudian bertransformasi menjadi “cantik”. Gambaran apa yang ditayangkan? Yang tadinya tidak bisa pakai make-up jadi bisa pakai make-up.

Sebelum itu rambutnya keriting, kemudian jadi lurus. Sebelumnya pakai kacamata tebal, jadi pake softlense. Tadinya bajunya jadul (out of date), jadi berubah menjadi feminin nan stylish. Bayangkan, itu kita tonton itu dari kecil sampai besar. Kita akhirnya punya imaji terhadap standar kecantikan perempuan.

Sekarang muncul juga standar kecantikan perempuan baru dengan style Korea. Mulai dari wajah glowing sampai make-up ala Korea. Bahkan skin care dan make-up Korea jadi laku keras di Indonesia. Tapi dari dulu sampai sekarang yang belum berubah adalah kulit putih yang masih dijadikan patokan kecantikan. Produk kecantikan masih menggunakan “whitening” sebagai jargon untuk menjual kecantikan maksimal bagi pemakainya.

Standar kecantikan perempuan kemudian menuntut perempuan untuk menjadi sosok sebagaimana standar kecantikan yang berlaku. Tuntutan itu bisa dari orang terdekat seperti keluarga maupun lingkungan pertemanan. Keluarga, teman, maupun orang di sekitar perempuan bisa saja melontarkan komentar ataupun candaan (body shaming) apabila perempuan tidak memenuhi standar kecantikan yang berlaku.

Baca Juga:

Benarkah Feminisme di Indonesia Berasal dari Barat dan Bertentangan dengan Islam?

Perbedaan Feminisme Liberal dan Feminisme Marxis

Herland: Membayangkan Dunia Tanpa Laki-laki

Mengapa Waktu Berlalu Cepat dan Bagaimana Mengendalikannya?

Beberapa komentar yang kerap dihadapi perempuan misalnya, “jadi perempuan tuh dandan dong. Masa’ kayak gitu tampilannya” atau “itu muka dirawat dong, jadi perempuan kok cuek banget”. Masih banyak lagi komentar lainnya yang harus dihadapi oleh perempuan akibat standar kecantikan.

Tidak berhenti di situ, apabila perempuan melakukan perawatan, mereka juga kerap dihadapkan pada situasi yang sulit. Misalnya, ada komentar yang mengatakan “dih, dandanannya menor banget! Tebel! Norak!” atau “lipstiknya merah banget, kayak tante-tante” atau “cewek lama kalo mau keluar rumah. Dandan lama banget!” dan masih banyak lagi komentar dan label yang tidak menyenangkan yang dihadapi oleh perempuan.

Standar kecantikan perempuan juga akhirnya diinternalisasi oleh perempuan itu sendiri. Perempuan yang terinternalisasi terhadap standar kecantikan akan mengusahakan dirinya untuk mencapai standar tersebut. Mereka berupaya dengan mengonsumsi berbagai produk bahkan yang dapat membahayakan tubuh. Hal ini dilakukan karena perempuan merasa dituntut untuk memenuhi segala standar kecantikan yang ada. Standar yang dianggap ideal.

Hal yang patut ditelurusi adalah ada apa di balik itu? Bagaimana alur kehidupan perempuan? Mengapa perempuan terdorong untuk memenuhi standar kecantikan perempuan yang ada? Sejak kecil perempuan disosialisasikan untuk menjadi feminin, bermain boneka, dandan, masak-masakan.

Beranjak remaja, mulai merasa tidak percaya diri karena melihat teman perempuannya yang dianggap menarik dan populer. Beranjak dewasa, mereka dituntut untuk menjaga penampilan, merawat tubuh, dan lain-lain. Media dan tayangan yang hanya memperlihatkan tokoh utama yang bertubuh langsing dan berkulit putih semakin memperkuat standar kecantikan perempuan. Internalisasi terhadap standar kecantikan tersebut terbentuk oleh proses yang sangat panjang dan dapat saja menjadi false consciousness atau kesadaran semu.

Ada banyak hal yang memengaruhi perempuan sejak kecil hingga dewasa. Bahkan sebelum lahir perempuan sudah disiapkan berbagai peralatan yang feminin, baju berwarna pink, mainan yang dianggap “mainan perempuan” seperti masak-masakan, main boneka dengan perlatan make up seperti bedak, lipstick, dan sebagainya.

Setelah lahir dan menjadi anak-anak, perempuan melihat tayangan kartun/ film dengan tokoh perempuan berwajah jelita (secara konstruksi: berambut lurus panjang, berkulit putih, dan lain-lain). Belum lagi kalau dibandingkan dengan saudaranya atau teman yang dianggap “cantik”. Maka perempuan yang dibandingkan tadi akan merasa kecil hati dan semakin menganggap bahwa perempuan cantik itu seperti perempuan tadi yang mendapat pujian.

Apalagi lagi kalau sedang menaksir seseorang, baik dalam film maupun dunia nyata, pasti ada saja komentar “kalau mau disukain laki-laki ya dandan dong”. Konstruksi dan tekanan terhadap perempuan terhadap kecantikan bisa jadi mendorong mereka untuk berupaya dalam menyesuaikan diri pada keinginan sosial.

Make-up itu menjadi bagian identitas diri tapi tidak menjadi indikator utama. Karena yang terpenting adalah perempuan mampu mendefinisikan dirinya secara utuh, di dalam hatinya, di dalam pikirannya secara “sadar”.

Hal yang paling penting bagi diri perempuan adalah bagaimana bisa mendefinisikan dirinya dengan ‘penuh kesadaran’. Maksudnya begini, kita sadar bahwa standar kecantikan perempuan itu dibuat dan dikonstruksi untuk berbagai kepentingan, tetapi kita punya otoritas penuh untuk mendefinisikan diri sendiri.

Perempuan itu adalah subjek penuh kehidupan di tengah standar kecantikan perempuan yang mengopresi mereka. Penguatan kesadaran kritis perempuan terhadap definisi diri dan tidak menjadi objek adalah hal penting yang perlu dilakukan.

Apabila perempuan punya kesadaran kritis, maka perempuan akan menganggap pemakaian make-up sebagai satu-satunya value diri. Perempuan juga tidak memaksakan diri untuk membeli peralatan make-up yang mahal di luar kemampuan finansial. Atau merasa make-up yang “wah” itu hanya produk impor. Tidak percaya dengan make-up produk lokal karena “murahan”. Atau menggunakan peralatan make-up mahal untuk mendapatkan pengakuan. Ini adalah persoalan mental dan kognisi yang perlu dibenahi.

Oleh sebab itu, membangun kesadaran kritis menjadi poin penting. Perempuan perlu sadar bahwa kecantikan itu dibuat standar, maka tidak perlu untuk memaksakan diri agar diterima dengan mengubah penampilan yang tidak menjadi dirinya sendiri. Sekarang sudah banyak wadah edukasi yang bisa dijadikan rujukan, mulai dari media sosial, film, artikel, buku, dan sebagainya.

Banyak bacaan juga tentang feminisme yang bisa dipelajari. Kalau kita punya kesadaran kritis, maka sesama perempuan akan saling mendukung. Sesama perempuan akan membuat support system. Tidak mengomentari fisik melulu, tetapi membangun ruang aman.

Make-up sebagai identitas diri sebetulnya tidak menjadi persoalan. Beauty vlogger sudah pasti menjadikan make-up sebagai bagian identitas dirinya. Atau make-up artist sudah pasti menjadikan make-up sebagai bagian identitas diri. Atau mahasiswi sekalipun. Tidak ada masalah selama perempuan memiliki kesadaran penuh terhadap dirinya sebagai subjek.

Make-up itu menjadi bagian identitas diri tapi tidak menjadi indikator utama. Karena yang terpenting adalah perempuan mampu mendefinisikan dirinya secara utuh, di dalam hatinya, di dalam pikirannya secara “sadar”. Sebab bagi para feminis, hal utama adalah perempuan merasa “utuh” terhadap dirinya sendiri dengan fisik yang dimiliki saat ini terlepas dari wacana standar kecantikan yang kerap menekan perempuan. []

 

 

Source: https://www.perempuanpeduli.com/bagaimana-para-feminis-memandang-make-up-part-1/
Via: https://www.perempuanpeduli.com/bagaimana-para-feminis-memandang-make-up-part-2/
Tags: feminismeKecantikan PerempuanSelf LoveStandar Kecantikan
Andi Nur Faizah

Andi Nur Faizah

Founder perempuanpeduli.com

Terkait Posts

Hidup Tanpa Nikah

Yang Benar-benar Seram Itu Bukan Hidup Tanpa Nikah, Tapi Hidup Tanpa Diri Sendiri

5 Juli 2025
Ruang Aman, Dunia Digital

Laki-laki Juga Bisa Jadi Penjaga Ruang Aman di Dunia Digital

3 Juli 2025
Vasektomi

Vasektomi, Gender, dan Otonomi Tubuh: Siapa yang Bertanggung Jawab atas Kelahiran?

2 Juli 2025
Narasi Pernikahan

Pergeseran Narasi Pernikahan di Kalangan Perempuan

1 Juli 2025
Toxic Positivity

Melampaui Toxic Positivity, Merawat Diri dengan Realistis Ala Judith Herman

30 Juni 2025
Second Choice

Women as The Second Choice: Perempuan Sebagai Subyek Utuh, Mengapa Hanya Menjadi Opsi?

30 Juni 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Film Rahasia Rasa

    Film Rahasia Rasa Kelindan Sejarah, Politik dan Kuliner Nusantara

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Menelusuri Jejak Ulama Perempuan Lewat Pendekatan Dekolonial

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Menemukan Wajah Sejati Islam di Tengah Ancaman Intoleransi dan Diskriminasi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Bekerja itu Ibadah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Jangan Malu Bekerja

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Membongkar Narasi Sejarah Maskulin: Marzuki Wahid Angkat Dekolonisasi Ulama Perempuan
  • Menulis Ulang Sejarah Ulama Perempuan: Samia Kotele Usung Penelitian Relasional, Bukan Ekstraktif
  • Samia Kotele: Bongkar Warisan Kolonial dalam Sejarah Ulama Perempuan Indonesia
  • Menelusuri Jejak Ulama Perempuan Lewat Pendekatan Dekolonial
  • Surat yang Kukirim pada Malam

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID