Mubadalah.id – Seluruh umat muslim di dunia bersepakat bahwa Ramadan adalah bulan mulia. Kedatangannya disambut dengan penuh suka cita. Banyak keutamaan bulan Ramadan, diantaranya menawarkan berlipat-lipat pahala dan pengampunan dosa. Sehingga memperbanyak ibadah di bulan yang penuh berkah ini tentu menjadi sebuah keharusan.
Lalu bagaimana dengan Ramadan yang dilalui para perempuan? Para ibu bekerja dan sudah berumah tangga? Bagi saya, ada perbedaan besar yang dirasakan ketika menjalani Ramadan dari sebelum dan setelah menikah, terlebih ketika sudah mempunyai anak. Perasaan itu hingga kini selalu menjadi sekeping resah dan menghadirkan tanya setiap kali Ramadan tiba.
Pertama, banyak sekali momentum Ramadan yang terlewati setiap kali pengalaman biologis perempuan menghampiri. Seperti menstruasi, melahirkan, nifas dan menyusui. Terlebih ketika jarak antar satu anak dengan anak yang lain berdekatan, praktis Ibu tak pernah punya kesempatan untuk sekedar ikut tarawih berjama’ah. Pun ketika ingin shalat tarawih sendiri, keletihan maha dahsyat lebih menguasai.
Kedua, dari bangun tidur menyiapkan santap sahur, hingga menjelang istirahat, waktu Ibu lebih banyak disibukkan dengan urusan domestik. Atau memastikan urusan ibadah anggota keluarga yang lain berjalan dengan baik, terutama anak-anak yang masih dalam tahap belajar puasa agar mampu menjalani salah satu rukun Islam itu dengan semangat dan bahagia.
Pun saat sepuluh hari terakhir Ramadan tiba, di mana setiap muslim berlomba-lomba I’tikaf, berburu kemuliaan malam Lailatul Qodar, ibu akan lebih disibukkan dengan bagaimana keluarga melewatkan hari raya tanpa kurang suatu apa. Memastikan hidangan yang tersaji, hingga pakaian yang akan dikenakan untuk menyambut hari kemenangan.
Ya, banyak hal yang harus dikorbankan oleh seorang Ibu, hingga tak lagi sempat memikirkan, apakah Ramadan masih sudi menerima dan menyapanya kembali di tahun depan. Karena, yang ia inginkan hanya ketenangan ibadah anggota keluarganya, kebahagiaan menjalani ritual puasa, tarawih, tadarus al-Qur’an dan I’tikaf, hingga suka cita menanti lebaran yang akan segera tiba.
Lalu bagaimana Mubadalah melihat realitas itu?
Dr. Faqihuddin Abdul Kodir dalam salah satu video singkatnya menjelaskan bahwa malam Lailatul Qadar ada pada salah satu diantara malam-malam bulan Ramadan. Tentu saja kemuliaan ini jika kita melakukan banyak kebaikan-kebaikan di malam tersebut, seperti shalat, membaca al-Qur’an, berdzikir, atau ibadah-ibadah lain dalam relasi kita dengan keluarga. Atau dengan masyarakat yang lebih luas.
Dalam perspektif mubadalah, kemuliaan malam ini dimana kita mampu atau bersedia melakukan amal-amal kebaikan, maka kita harus menyadari, ada orang-orang mengkondisikan, sehingga kita mampu melakukan kemuliaan amalan-amalan yang akan dicatat dalam malam Lailatul Qadar.
Lebih lanjut Dr. Faqih mengatakan “Kita bisa menulis misalnya, pakaian kita baik, dan makanan kita tercukupi. Ataupun kita bisa beribadah, I’tikaf di masjid, dan berpuasa satu hari penuh, karena ada orang-orang lain yang melakukan itu semua. Kata Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin, diantara manfaat menikah bagi seorang laki-laki adalah dia mempunyai waktu yang cukup untuk beribadah lebih banyak, lebih khusyu’ karena ada seorang istri yang mencukupkan urusan-urusan domestiknya, makan dan minumnya, sehingga laki-laki punya kesempatan lebih banyak untuk beribadah.” Tuturnya.
Karena itu Imam al-Ghazali mengingatkan pada laki-laki untuk selalu bersyukur dan berterimakasih pada istrinya. Dalam konteks ini, sang istri memperoleh pahala dari apa yang yang dilakukan laki-laki melalui ibadah, dan amal-amalnya karena telah didukung oleh kehadiran perempuan tersebut.
Sedangkan dalam kitab Tahrir al-Mar’ah yang ditulis Abdul Halim Abu Syuqqah seorang ulama dari Mesir, Dr. Faqih menambahkan, juga mengatakan bahwa sebaiknya laki-laki memberi kesempatan pada perempuan yang selama ini disibukkan dengan urusan domestik, agar juga memperoleh amal kemuliaan Ramadan di ruang masjid atau di ruang-ruang publik lain.
Hal itu dilakukan dengan cara laki-laki bersedia mengurus dan bertanggung jawab di ruang domestik. Sehingga perempuan bisa punya kesempatan untuk beribadah, beramal shaleh, dan amal-amal sosial lainnya yang dianggap oleh masyarakat sebagai kemuliaan.
Dalam konteks ini, baik orang yang melakukan kerja-kerja domestik dan mengkondisikan anggota keluarganya mampu beribadah, melakukan kerja-kerja sosial, maka di kedua belah pihak memperoleh kemuliaan yang sama. Kebaikan dan pahala. Karena itu diperlukan satu sama lain saling mendukung.
Bagi orang yang beribadah di masjid, baik laki-laki maupun perempuan, yang memberi kemudahan-kemudahan mereka yang ada di rumah. Begitu pun hal yang sama orang-orang yang di rumah, memberi dukungan terhadap mereka yang beribadah di masjid. Saling mendukung, saling menolong, saling bekerjasama. Pada saat yang sama saling memberi kemuliaan, baik yang berada di masjid atau di rumah, di ruang domestik atau di publik. Adalah cara pandang mubadalah pada malam Lailatul Qadar, yang bisa diraih melalui ibadah-ibadah di masjid, juga ibadah sosial lain termasuk di dalam rumah.
Setelah mengetahui penjelasan tersebut, kini setiap resah yang mengemuka, saya tahu tak perlu lagi ada tanya, selama laki-laki dan perempuan terus menjaga nilai-nilai kesalingan dalam kerangka kebaikan. Baik di masjid ataupun di rumah, sama-sama mulia untuk meraih keberkahan Lailatul Qadar yang hanya bisa ditemui satu tahun sekali di bulan Ramadan. Mari raih kemuliaan Ramadan dengan praktik kesalingan! []