• Login
  • Register
Rabu, 2 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Khazanah Hukum Syariat

Benarkah Perempuan Dilarang Keluar Rumah?

Seruan Khalifah Umar bin Khattab menurut saya adalah seruan yang sarat dengan kesalingan, memberikan kebebasan beribadah pada perempuan dan memberi batasan yang jelas bagi lelaki yang memiliki niat buruk pada perempuan.

Nur Kholilah Mannan Nur Kholilah Mannan
05/07/2021
in Hukum Syariat, Rekomendasi
0
Perempuan

Perempuan

464
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Keluarga saya termasuk penggemar tamasya. Ibu saya yang sudah berusia 60-an tahun setiap hari selalu ada jadwal berkunjung ke rumah saudara untuk menyambung kerabat, menaiki sepeda Bravo peninggalan bapak sendirian. Mbak –ibu 2 anak- juga hampir setiap hari pergi ke pengajian yang ia ampu kecuali hari Jumat dan Ahad, dua hari itu dikhususkan untuk hangout dengan teman sebayanya yang juga emak-emak. Saya meski setiap pagi harus mengajar di sekolah juga menyempatkan diri ke kota untuk sekedar ngopi cari inspirasi atau menghibur diri.

Sampai ada candaan “Gak ada ceritanya mobil keluar rumah tanpa ini dan ini” sambil menunjuk ke saya dan mbak. Kami perlu keluar rumah meski untuk sekedar beli sabun mandi atau pentol tahu, padahal keduanya tersedia di toko sebelah rumah. Hingga pandemi melanda dan kami terpaksa mengurung diri di rumah, keluar hanya membeli sayur di pasar kampung. Ibu tidak bisa menjenguk temannya yang sakit, mbak dan saya tidak bisa melakukan aktivitas biasa.

Baru-baru ini ada seorang teman yang bertanya “bagaimana hukum perempuan keluar rumah? Karena yang saya tahu dari dulu perempuan gak boleh keluar rumah secuali dengan muhrimnya” sebelum menjawab saya membetulkan istilah muhrim (orang yang sedang ihram) yang seharusnya mahram (orang yang haram dinikahi).

Lalu saya tanya tujuan keluarnya “Untuk apa saja” karena tidak ada hukum yang berlaku general.

Pertanyaan teman saya muncul karena khazanah fikih yang ia baca senada. Karenanya  dalam tulisan ini saya menampilkan ragam pendapat ulama mengenai perempuan keluar rumah. Meski sudah banyak ulama yang membahasnya tapi saya niatkan tulisan ini untuk mereka yang luput dari rujukan-rujukan itu.

Baca Juga:

Perceraian dalam Fikih: Sah untuk Laki-Laki, Berat untuk Perempuan

Fikih yang Kerap Merugikan Perempuan

Pergeseran Narasi Pernikahan di Kalangan Perempuan

Kekerasan dalam Pacaran Makin Marak: Sudah Saatnya Perempuan Selektif Memilih Pasangan!

Dalam Shahīh Bukhārī ada 3 redaksi berbeda yang melarang perempuan bepergian, لا تسافر المرأة إلا مع ذي محرم  “Janganlah perempuan bepergian kecuali bersama mahramnya” dari satu redaksi ini sekurang-kurangnya ada 3 pertanyaan yang muncul; berapa jarak batas disebut bepergian? Siapa saja yang disebut mahram? Dan mengapa Nabi melarang itu?

Dua redaksi lain dalam Shahīh Bukhārī ada tambahan يومين, ثلاثة أيام. Ada juga dalam Kasyfu al-Musykil dibatasi dengan sehari sedangkan Imam Nawawi menjelaskan hadis di atas dengan riwayat lain “setengah hari” (بَرِيدًا). Karenanya Imam Nawawi melarang perempuan keluar rumah secara mutlak tanpa mahram, jauh atau dekat, setengah hari apalagi lebih dari tiga hari.

Geser sedikit ke kalangan hanafiyah yang lebih longgar, mereka tetap berpegang pada pendapat yang mengarahkan hadis itu pada perjalanan jauh (safar qaṣr/perjalanan yang membolehkan qaṣr salat yaitu tiga hari) dan sebaliknya perempuan boleh keluar tanpa mahram dalam perjalanan dekat.

Apakah hadis yang mencantumkan batasan hari itu tidak sampai ke kalangan hanafiyah? Sangat tidak mungkin ada hadis yang luput dari imam madzhab dan ulamanya, ini soal pilihan yang berpijak pada argumen masing-masing. Ibn Hajar al-‘Asqalānī menjelaskan perbedaan batas periode perjalanan dalam beberapa redaksi hadis di atas dikatakan oleh Nabi di daerah yang berbeda-beda menyesuaikan pada orang yang bertanya. Maka menurut hanafiyah konsumen hukum mereka adalah perempuan yang bisa menjaga dirinya serta kondisi daerahnya aman, alasan kebolehannya berada pada kemampuan diri dan keamanan kondisi.

Alasan yang mendukung datang dari Abū al-Faraj, perempuan yang jauh dari rumahnya berada dalam kondisi tidak aman (dari fitnah), bisa menjadi objek fitnah atau subjek/sumber fitnah. Dengan demikian diperlukan adanya mahram yang menjaganya.

Mahram adalah orang yang haram dinikahi dari jalur nasab, persusuan (raḍā’ah) atau hubungan perkawinan (muṣāharah). Secara kebiasaan dan akal sehat, dalam hati mahram akan didominasi kasih sayang maka akan menjaga dan menyayangi, secara dzahir atau batin tidak akan menyakiti.

Idealnya begitu namun faktanya masih ada bapak dan saudara faktanya malah menjadi garda terdepan merusak kepercayaan. Bapak memerkosa anak kandung, saudara menganiaya adik dan suami menyakiti istri. Betul dugaan Ibn Sirīn dalam Al-Istidzkār “Banyak orang yang bukan mahram justru lebih baik dari pada mahram” maka intinya adalah kepercayaan menjaga.

Perbedaan ini melebar ke pembahasan haji. Perintah haji yang bersifat umum (QS. Ali ‘Imran [3]: 97) membuat jumhur ulama tidak menjadikan ‘mahram’ sebagai syarat haji seorang perempuan. Imam Abū Hanīfah dan ahlu Kūfah menjadikan mahram sebagai bagian dari “sabīl” yang jika tidak ada mahram (bapak, suami dan seterusnya) maka perempuan tidak wajib haji.

Di sisi yang berseberangan imam asy-Syāfi’ī tidak mensyaratkan mahram, yang terpenting adalah keamanan dan ketenangan diri perempuan. Dengan demikian jika sudah merasa aman dan tenang maka ia boleh pergi sendirian dengan rombongan bisnya (‘Umdatu al-Qārī: 10/220). Artinya dalam satu kloter jamaah haji dipastikan ada jamaah perempuan dan diduga kuat mereka adalah orang-orang baik yang memiliki rasa saling menjaga. Bisa jadi mereka (orang yang saling menjaga) adalah yang dimaksud dalam hadis Nabi itu di atas.

Dari perbedaan-perbedaan di atas terserah kalian mau ikut yang mana. Tujuan tulisan ini agar tidak hanya perempuan yang selalu menjadi objek dari tindakan preventif.

Saya merasa perlu memaparkan seruan khalifah ‘Umar pada masyarakat ketika beliau memberi izin istri-istri Nabi berangkat haji dengan mengutus ‘Uṡman dan Abdurrahman menjaga mereka. ‘Umar berkata “Ingatlah (kalian semua) jangan mendekati mereka (istri-istri Nabi), jangan melihat mereka kecuali sekilas saja…”

Seruan ini menurut saya adalah seruan yang sarat dengan kesalingan, memberikan kebebasan beribadah pada perempuan dan memberi batasan yang jelas bagi lelaki yang memiliki niat buruk pada perempuan. Jika perempuan ingin beribadah (dalam bentuk apapun, sebab ibadah bukan hanya syahadat, salat, zakat dan haji) maka berilah kebebasan, di pihak yang lain semua orang juga memberikan keamanan dzahir batin pada perempuan untuk melakukan kebaikan, tidak mengganggu, cat calling, mendiskriminasi atau memojokkan dengan segala dimensi maknanya. []

 

 

 

 

 

 

Tags: Fiqih IndonesiaFiqih PerempuanHukum SyariatislamMuslimahperempuanSyariat Islam
Nur Kholilah Mannan

Nur Kholilah Mannan

Terkait Posts

Kebencian Berbasis Agama

Egoisme dan Benih Kebencian Berbasis Agama

2 Juli 2025
Anak Difabel

Di Balik Senyuman Orang Tua Anak Difabel: Melawan Stigma yang Tak Tampak

1 Juli 2025
Toxic Positivity

Melampaui Toxic Positivity, Merawat Diri dengan Realistis Ala Judith Herman

30 Juni 2025
Geng Motor

Begal dan Geng Motor yang Kian Meresahkan

29 Juni 2025
Fiqh Al-Usrah

Fiqh Al-Usrah Menjembatani Teks Keislaman Klasik dan Realitas Kehidupan

28 Juni 2025
Sejarah Indonesia

Dari Androsentris ke Bisentris Histori: Membicarakan Sejarah Perempuan dalam Penulisan Ulang Sejarah Indonesia

27 Juni 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Anak Difabel

    Di Balik Senyuman Orang Tua Anak Difabel: Melawan Stigma yang Tak Tampak

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Meninjau Ulang Amar Ma’ruf, Nahi Munkar: Agar Tidak Jadi Alat Kekerasan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Vasektomi, Gender, dan Otonomi Tubuh: Siapa yang Bertanggung Jawab atas Kelahiran?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Demianus si ‘Manusia Pembalut’ dan Perlawanan terhadap Tabu Menstruasi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Gaji Pejabat vs Kesejahteraan Kaum Alit, Mana yang Lebih Penting?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Boys Don’t Cry: Membongkar Kesalingan, Menyadari Laki-laki Juga Manusia
  • Ironi: Aktivis Lingkungan Dicap Wahabi Lingkungan Sementara Kerusakan Lingkungan Merajalela
  • Egoisme dan Benih Kebencian Berbasis Agama
  • Demianus si ‘Manusia Pembalut’ dan Perlawanan terhadap Tabu Menstruasi
  • Vasektomi, Gender, dan Otonomi Tubuh: Siapa yang Bertanggung Jawab atas Kelahiran?

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID