Mubadalah.id – Rapat dengar pendapat umum penyusunan RUU Penghapusan Kekerasan seksual (RUU PKS) yang digelar secara virtual pada dua pekan kemarin, menghadirkan berbagai akademisi, aktifis, hingga tokoh-tokoh professional yang bisa menyampaikan pendapatnya tentang RUU-PKS. Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) yang diawakili oleh Nyai Badriyah Fayumi, menjadi salah satu bagian didalamnya.
Komitmen KUPI dengan asas teologi Islam (ajaran Islam yang menentang terhadap kekerasan seksual), kemanusiaan yang adil beradab menjadi spirit perjuangan para ulama perempuan Indonesia. Ini menjadi warna baru dalam dunia perjuangan perempuan, khususnya perempuan muslim yang selama ini terpinggirkan dan mengalami kekerasan tanpa menerima keadilan dari perspektif hukum.
Urgensitas pembahasan RUU PKS ini, KUPI melihat dari peningkatan kasus kekerasan seksual yang semakin meningkat seiring berjalannya waktu, dengan ketiadaan payung hukum di Indonesia. pun seharusnya, sebagai negara yang berlandaskan hukum, adanya UU PKS menjadi sangat penting keberadaannya dengan fenomena meningkatnya kasus kekerasan seksual.
RUU PKS bagi KUPI, mengambil prinsip dar’ul mafasid dalam hukum Islam, agar setiap warga negara tidak menjadi pelaku dan tidak juga menjadi korban kekerasan seksual. Dalam kaidah fiqh, dar’ul mafasid muqadammun ‘ala jalbul mashalih, atau melindungi warga dari kerusakan lebih diutamakan daripada menghadirkan kebaikan untuk mereka.
Secara teologis, tindakan kekerasan seksual melanggar visi Islam rahmatan lil alamin, misi akhlak karimah, kaidah syari’ah yang menegaskan kemaslahatan umat, dan ajaran-ajaran mengenai kebaikan perilaku, kenyamanan hidup, serta mua’syarah bil ma’ruf bersama pasangan dalam pernikahan. Prinsip lain juga adalah asas kemanusiaan yang termakub dalam (QS. Al-Isra, 17: 70), dan beberapa ayat Al-Quran yang mendukung terhadap pengesahan RUU-PKS.
Dalam RUU-PKS pasal 1 dijelaskan bahwa Kekerasan Seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, menyerang, dan/atau perbuatan lainnya terhadap tubuh, hasrat seksual seseorang, dan/atau fungsi reproduksi, secara paksa, bertentangan 2 dengan kehendak seseorang, yang menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau relasi gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual, kerugian secara ekonomi, sosial, budaya, dan/atau politik.
Berdasarkan pengertian diatas, kiranya cukup jelas untuk menyamarakan pandangan, persepsi kepada masing-masing individu, khususnya perempuan untuk setuju bahwa tindakan semacam ini adalah bentuk kriminalitas, bertentangan secara kemanusiaan, dan bertentangan dengan ajaran Islam. Masih menjadi tanda tanya besar jika mengacu pada pengertian ini, masih ada yang menolak pengesahan RUU-PKS, apalagi sesama perempuan yang kerapkali menjadi korban kekerasan seksual.
Tidak berhenti pada penolakan yang demikian, alasan-alasan lainnya adalah tidak benar jika RUU-PKS melegalkan zina, aborsi, dan kesalahpahaman lainnya yang mengakibatkan penolakan pengesahan RUU-PKS. Dalam persepektif Islam, zina aborsi, dll sudah jelas keharamannya tanpa bisa diganggu gugat.
Ada beberapa kesimpulan yang disampaikan oleh KUPI pada RDPU tersebut, diantaranya:
- UU-PKS penting ada sebagai impelementasi tauhid dan akhlak mulia serta menjadi instrument membangun peradaban bangsa dengan berketuhanan yang maha esa dan kemanusiaan yang adil dan beradab
- UU-PKS harus ada, karena ada kekosongan hukum yang ada di Indonesia dan berkonribusi pada budaya yang adil dan beradab dalam melihat kasus kekerasan seksual, dampaknya bagi korban dan keluarga. Masyarakat dan aparatur hukum dengan budaya baru ini memiliki keberpihakan kepada korban dalam menyikapi kekerasan seksual.
- Hal-hal yang tidak bisa diatur dlam RUU-PKS (Karen keterbatasan setiap undang-undang yang ada) tidak layak menjadi alasan penolakan RUU-PKS karena kebutuhan adanya payung hukum yang mencegah kekerasan seksual, melindungi, memberi keadilan dan pemulihan bagi korban, serta merehabilitasi pelaku sangat mendesak. Hal-hal yang dikahawatirkan harus bisa dijawab melalui rumusan pasal dan norma yang menjamin agar tidak terjadi kekahwatiran yang dimaksud.
- Kehati-hatian dan kejelasan norma perlu dikedepankan agar tidak terbuka pintu multitafsir dan penyalahgunaan dalam implementasi apabila RUU disahkan.
- KUPI meyakini DPR dan anggota dewan yang terhormat, dengan kearifan dan kenegarawanannya akan mampu menghadirkan UU PKS yang adil dan solutif sebagai wujud dari komitmen kebangsaan dan kemanusiaan yang memberi perlindungan kepada segenap warga bangsa dari kekerasan seksual, khususnya kelompok dhuafa (lemah) dan mustadhafin (terlemahkan secara struktural).
Secara umum, kita perlu mengapresiasi komitmen KUPI untuk berjuang bersama perempuan, kaum-kaum lemah yang menjadi korban dan kerapkali tidak mendapatkan keadilan dengan spirit keislaman dan kemanusiaan. []