Mubadalah.id – Hadis ini menjelaskan tentang ayah tidak boleh memaksakan perjodohan untuk putrinya. Ada pernyataan seorang perempuan pada masa Nabi Saw, bahwa ia lebih berhak atas pernikahan drinya sendiri. Pernyataanya ini disetujui Nabi Muhammad Saw.
عَنِ ابْنِ بُرَيْدَةَ عَنْ أَبِيْهِ قَالَ جَاءَتْ فَتَاةٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ إِنَّ أَبِي زَوَّجَنِي ابْنَ أَخِيْهِ لِيَرْفَعَ بِي خَسِيْسَتَهُ. قَالَ فَجَعَلَ الأَمْرَ إِلَيْهَا. فَقَالَتْ قَدْ أَجَزْتُ مَا صَنَعَ أَبِي وَلَكِنْ أَرَدْتُ أَنْ تَعْلَمَ النِّسَاءُ أَنْ لَيْسَ إِلَى الْآبَاءِ مِنَ الْأَمْرِ شَىْءٌ. رواه ابن ماجه.
Terjemahan:
Abu Buraidah menuturkan dari ayahnya yang berkata, “Ada seorang perempuan muda datang kepada Nabi Muhammad Saw., dan bercerita, ‘Ayahku menikahkanku dengan anak saudaranya untuk mengangkat derajatnya melaluiku.’ Nabi Muhammad Saw. memberikan keputusan akhir di tangan sang perempuan. Kemudian, perempuan itu berkata, ‘Ya Rasulullah, aku rela dengan yang dilakukan ayahku, tetapi aku ingin mengumumkan kepada para perempuan bahwa ayah-ayah tidak memiliki hak untuk urusan ini.” (Sunan Ibn Mājah).
Sumber Hadits:
Hadits ini diriwayatkan Imam Ibnu Majah dalam Sunan-nya (no. hadits: 1947) dan Imam Nasa’i dalam Sunan-nya (no. hadits: 3282).
Penjelasan Singkat:
Mungkin saja, untuk situasi kita saat sekarang, kisah-kisah pemaksaan pernikahan seperti kasus Siti Nurbaya zaman dahulu, sudah jarang terdengar lagi. Sebab, secara umum, sudah banyak perempuan yang mandiri, berpendidikan tinggi, memiliki penghasilan cukup, dan mempunyai pengalaman sosial yang cukup untuk membuatnya tidak harus dipaksa dalam urusan pernikahan oleh keluarga. Tetapi, teks hadits ini masih sangat relevan untuk menegaskan kemandirian dan kemanusiaan perempuan. Sebab, tidak sedikit orang yang masih menganggap bahwa perempuan harus tunduk pada keputusan laki-laki. Jika anak perempuan pada ayahnya, dan jika istri pada suaminya. Anggapan ini tentu saja menyalahi kemandirian perempuan sebagai manusia utuh. (Baca: Kabahagiaan Manusia Pada Umumnya Masih di Level Sementara)
Apalagi jika mengingat kondisi budaya Arab saat itu, ketika perempuan hampir tidak memiliki suara sama sekali mengenai dirinya, maka pernyataan Nabi Muhammad Saw. tersebut adalah sesuatu yang revolusioner. Kisah ini menggambarkan keberanian perempuan untuk melaporkan pelanggaran hak yang dialaminya. Ini tidak mungkin terjadi jika suasana sosial politik tidak dikondisikan terlebih dahulu oleh Nabi Muhammad Saw. Suasana sosial ketika perempuan merasa nyaman untuk menuntut hak-haknya dan melaporkan hal-hal yang dianggap melanggar hak-hak tersebut.
Lebih dari itu, seperti yang ditegaskan oleh Nabi Muhammad Saw. dalam teks ini, hak atas pernikahan perempuan adalah perempuan itu sendiri, bukan ayahnya, apalagi keluarga jauh. Ayah tidak boleh memaksakan perjodohan untuk putrinya. Sebab, yang akan hidup berumah tangga adalah perempuan tersebut. Sehingga, ia harus benar-benar merasa nyaman, rela, dan tidak ada unsur paksaan sama sekali. Kerelaan dan kenyamanan adalah pondasi utama dalam mewujudkan pernikahan yang sakīnah, mawaddah, dan rahmah, yang diperintahkan al-Qur’an.