Mubadalah.id – Beberapa hari lalu sempat ramai dibincang sebuah fatwa yang diberitakan dari Arab Saudi yang intinya, memakai BH mengakibatkan bentuk payudara menjadi tampak dan membuat para perempuan tampak lebih muda sehingga mereka menjadi sumber fitnah. Wanita muslim tidak boleh memakai BH di hadapan para lelaki yang bukan mahramnya.
Tidak habis pikir ada fatwa seperti ini. Wajar jika kemudian fatwa ini banyak ditolak dengan berbagai alasan. Di Indonesia sendiri tidak ada yang menyoal hukum memakai bra bagi perempuan. Apakah ia remaja, dewasa, atau lansia. Apakah ia lajang, atau bersuami. Apakah perempuan memakai bra saat di rumah, di luar rumah, bersama mahram, atau ketemu non mahram. Semua tidak dipersoalkan.
Sudah terjadi ijma’ sukuti dan penerimaan yang alamiah, karena sudah menjadi pengetahuan umum pemakaian bra itu baik dan membawa maslahah yang jelas bagi perempuan, serta tidak membawa madharat bagi siapapun sepanjang pikirannya tidak ngeres dan tindakannya tidak ngaco.
Oleh karena itu, ketika tiba-tiba ada fatwa haram memakai bra dengan alasan seperti di atas, dapat dikatakan bahwa fatwa itu bermasalah karena lahir dari cara pandang yang bermasalah.
Fatwa itu bermasalah karena, Pertama, tidak ada tashawwur (deskripsi masalah) yang komprehensif tentang bra, payudara, dan perempuan yang bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Apa manfaat dan fungsi bra bagi perempuan? Apa makna dan fungsi payudara bagi perempuan, anak, kehidupan dan kemanusiaan? Pengorbanan dan perjuangan macam apa yang sudah dibaktikan perempuan untuk keberlangsungan dunia ini dengan payudaranya? Rasanya pertanyaan ini tidak terpikir. Jadi, memahami masalahnya saja sudah gagal.
Kedua, Pengalaman personal yang subjektif dijadikan alasan untuk menghukumi sesuatu yang general tanpa ada tafshil (penjelasan yang rinci menyangkut beragam keadaan dan hukumnya). Ini generalisasi yang tidak dapat dibenarkan, dan dipastikan melahirkan masalah dan kontroversi.
Fikih sangat familiar dengan tafshil ahkam. Untuk hukum yang sifatnya umum saja biasa ada perbedaan hukum dan pengecualian (mustatsnayat) tergantung keadaan, situasi, waktu dan ruang. Apalagi yang khusus.
Jadi, pengharaman pemakaian bra secara umum berdasarkan persepsi subjektif orang tertentu tidak mencerminkan cara berpikir yang fiqhi.
Ketiga, Perempuan tidak didengar dan diperhatikan suara dan pengalamannya oleh pembuat hukum, padahal perempuan yang menjadi sasaran hukum, dan pembuat hukum sendiri tidak pernah mengalami dan merasakan apa yang dialami dan dirasakan perempuan saat mengenakan atau tidak mengenakan bra. Jadi, ada proses dan unsur penting dalam istinbath hukum yang ditinggalkan.
Fatwa bukan pandangan hukum di ruang hampa. Cara pandang orang yang berfatwa jelas berpengaruh terhadap fatwanya. Dalam soal pengharaman bra ini fatwa yang bermasalah itu lahir karena ada cara pandang yang bermasalah di balik fatwa itu.
Cara pandang bermasalah itu adalah, Pertama, Perempuan dianggap hanya sebagai makhluk fisik, objek seksual, sumber fitnah. Akibat dari cara pandang ini adalah, jika ada laki-laki yang karena pikirannya sendiri ngeres maka yang dibebani hukum dan disalahkan adalah perempuan.
Dalam kasus bra, karena perempuan dianggap objek seksual dan makhluk fisik penebar fitnah, maka perempuan yang diharamkan memakai bra, bukan laki-lakinya yang diberi fatwa agar mampu mengendalikan pikiran ngeresnya. Kalau cara pandang ini terus dipelihara, tidak mustahil ada fatwa perempuan hamil haram dilihat oleh lelaki yang bukan mahramnya karena bisa menimbulkan pikiran tentang proses menuju kehamilan itu. Aneh sekali, bukan?
Maka, yang harus diubah adalah cara pandang yang salah tentang perempuan, bukan malah menyalahkan dan mempermasalahkan perempuan yang tidak bersalah dan tidak bermasalah.
Kedua, Suara dan pengalaman perempuan yang khas karena kekhasan biologisnya dianggap tidak penting bahkan tidak ada, sehingga kemaslahatan dirumuskan secara sepihak (oleh laki-laki), tanpa melibatkan pihak yang terkena taklif (perempuan). Akibatnya, pendapat hukum yang dihasilkan jauh dari kemaslahatan dan keadilan bagi perempuan.
Adapun catatan dalam fatwa ini adalah, Pertama, pendapat hukum tentang haram mengenakan bra ini hanya satu contoh betapa cara pandang yang tidak benar tentang perempuan akan melahirkan hukum yang tidak membawa kemaslahatan dan keadilan bagi perempuan.
Kedua, Dalam semua hal yang perempuan terkait langsung, tidak langsung, atau menjadi pihak yang terdampak, seharusnya perempuan dilibatkan dalam proses perumusan hukum dan kebijakan, agar hasilnya memberikan kemaslahatan dan keadilan bagi semuanya. Itu adalah prasyarat mutlak bagi terwujudnya Islam yang rahmatan lil alamin, khususnya dalam konteks relasi laki-laki dan perempuan. Wallahu A’lam. []