Belum lama ini kita digemparkan dengan pemberitaan media, hadirnya Keraton Agung Sejagat (KAS) di Purworejo. Seorang pria paruh baya, dan seorang perempuan yang bukan suami istri mengaku sebagai raja dan ratu, yang meneruskan kemasyhuran legenda kerajaan Majapahit tempo dulu.
Selang tak berapa lama kemudian, muncul pula di Jawa bagian Barat, sebuah komunitas yang mengaku sebagai Sunda Empire State, yang sebenarnya tak beda jauh dengan pengakuan KAS. Yakni hasrat kekuasaan yang tak pernah terpuaskan, fanatisme berlebihan terhadap sesuatu yang berselubung penipuan, hingga klaim sepihak mendapatkan dukungan dunia internasional, seperti penyebutan Pentagon, keanggotaan dari 54 negara dan lain sebagainya.
Fenomena munculnya Negara baru tersebut, mengingatkan saya pada cerita tentang mimpi Negeri Utopia. Kisah ini diawali tahun 1516 ketika terbit buku berjudul Utopia karya Sir Thomas More, seorang filosof dan penulis Inggris. Buku yang masuk kategori karya fiksi dalam filsafat politik ini menggambarkan sebuah masyarakat pulau yang serba tertib dan teratur. Baik dalam kehidupan sosial, politik maupun agama, bebas dari berbagai kelemahan dan kekurangan.
Utopia merupakan sebuah sistem sosial politik yang sempurna, yang hanya ada dalam bayangan (khayalan) dan sulit atau tidak mungkin diwujudkan dalam sebuah kenyataan. Dikatakan sulit dan tidak mungkin, karena sesuatu itu hanya berada dalam angan-angan.
Misalnya seorang pemimpin negara, atau raja sebuah kerajaan, mempunyai cita-cita mewujudkan negara yang adil dan makmur. Namun itu tidaklah mudah jika dalam suatu negara terdapat pemimpin yang cenderung konservatif, artinya selalu menentang segala sesuatu yang tidak sesuai dengan harapan dan keinginanya, serta tidak siap atau tidak menerima dengan perubahan di sekitarnya.
More, dalam Utopia menulis, di pulau impian itu “tidak ada kepemilikan pribadi, barang-barang tersedia di toko dan orang tinggal meminta apa yang mereka butuhkan. Juga tidak ada rumah yang pintunya dikunci, di mana penghuninya dirotasi setiap sepuluh tahun sekali”.
Sementara Plato, dalam karya masterpiecenya Republic, menulis bahwa utopia adalah sebuah bentuk masyarakat yang indah, yang dicirikan oleh kesetaraan dan perilaku warga yang damai. Dalam masyarakat ini, musuh sosial (the evil of society), seperti kemiskinan dan kelaparan tidak akan ada lagi.
Meski dalam Islam kita mengenal istilah “Baldatun Thoyyibatun Wa Rabbun Ghaffur”, namun implementasi untuk menjadi sebuah negara yang adil dan makmur itu tidak semata-mata tunduk pada aturan yang telah disepakati.
Tetapi bagaimana relasi vertikal hubungan dengan Tuhan (tauhid), menjadi basis untuk menjalankan relasi yang adil dengan sesama manusia dan alam sekitar. Lebih jauh, menempatkan perempuan dalam posisi yang mulia, memberi ruang, kesempatan dan mendengarkan suaranya sebagai bagian dari terwujudnya negeri impian.
Sehingga apapun penamaannya, KAS, Sunda Empire State, atau Negeri Utopia, menjadi kritik terhadap pemangku kebijakan, karena terdapat ketidakpuasan kelompok tertentu atas aturan negara yang sudah berjalan selama ini.
Jika dilakukan pembiaran maka ini akan menjadi bola liar dan menimbulkan keresahan di masyarakat. Apalagi jika sudah berkedok penipuan, dengan menghimpun dana yang tidak sedikit dari masyarakat.
Bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia sudah final, dan memang demikian adanya, maka seluruh elemen masyarakat harus menghormati dan mendukung upaya penyelenggara pemerintahan untuk berupaya mewujudkan negara yang adil, makmur, dan sejahtera, sebagaimana yang telah dicita-citakan para pendiri bangsa ini.
Sehingga negeri utopia menjadi mungkin, meski tanpa hadirnya KAS, Sunda Empire State dan sebagainya. Tinggal bagaimana kita menjalankan relasi yang adil dan setara, antara pemimpin dan orang yang dipimpin, dengan prinsip kesalingan di dalam relasi sosial.
Artinya, pemimpin yang sudah bekerja dengan baik, beri apresiasi yang layak ia terima. Sementara bagi yang belum, atau dianggap tak becus mengurus, maka memberikan teguran, kritik serta saran yang membangun menjadi sangat penting.
Keduanya tetap dalam koridor kesalingan untuk kebaikan bersama. Sebagaimana reff lirik lagu Selamat Hari Raya Idul Fitri karya Ismail Marzuki, yang sangat saya sukai di bagian akhirnya. “Selamat para pemimpin rakyatnya makmur terjamin”.[]