Mubadalah.id – Sumber pengetahuan bisa berasal dari mana saja. Buku, internet, percakapan dengan seseorang, sebuah film, sepotong lagu, kehidupan sang idola, peristiwa di suatu tempat, secarik kertas random, apa pun itu. Demikian pula dengan proses belajar tentang kesetaraan. Kesetaraan bisa kita temukan di mana pun, kapan pun, dan dalam hidup siapa pun.
Pengalaman hidup seseorang, pilihannya, pandangannya, tindakannya, adalah sesuatu yang bernilai. Karena itu, sayang sekali rasanya apabila kita mengagumi seseorang hanya dengan kekaguman semu, tanpa mencerap kebaikan dari rasa kagum tersebut. Ketika menggilai personil boyband dan aktor Korea, misalnya, seyogiyanya kita tak terjerumus dalam kekaguman semu semata.
Dampak Drama Korea
Bila gemar menonton Drama Korea (K-Drama), sedikit-banyaknya pasti ada nilai-nilai kehidupan yang bisa dicermati. Saat ini, ada banyak sekali K-Drama yang tidak hanya menampilkan cerita roman picisan. Banyak nilai-nilai kehidupan yang bisa kita pelajari. Misalnya tentang kekeluargaan, pertemanan, pekerjaan, dan sebagainya.
Beberapa di antara K-Drama yang mengangkat tema kedalaman hidup adalah Reply Series (2012 – 2015), Let’s Eat (2014), It’s Okay That’s Love (2014), Misaeng: Incomplete Life (2014), Age of Youth (2016), Fight for My Way (2017), Because This is My First Love (2017), My Mister (2018), dan Prison Playbook (2018).
Ada pula Be Melodramatic (2019), Hospital Playlist (2020), Record of Youth (2020), My Unfamiliar Family (2020), Hometown Cha-Cha-Cha (2021) dan yang paling baru, Our Beloved Summer (2022), serta masih banyak lagi. Selain melalui drama, kita juga bisa belajar tentang hidup dari para aktor Korea, termasuk soal kesetaraan gender.
Penelitian Rahayu Putri Prasanti dan Ade Irma Nurmala Dewi dari Universitas Negeri Surabaya yang berjudul Dampak Drama Korea (Korean Wave) terhadap Pendidikan Remaja, menegaskan bahwa budaya Korea (hallyu) menghasilkan banyak produk seperti film, musik, makanan, drama seri, fashion, dan gaya hidup.
Produk-produk hallyu menyebar ke seluruh penjuru dunia seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi. K-Drama adalah salah satu produk hallyu yang paling digemari oleh remaja Indonesia. Kegemaran terhadap K-Drama tidak terlepas dari ketertarikan penonton terhadap para aktornya.
Dalam penelitian tersebut, dipaparkan bahwa dampak positif dari kegemaran para remaja menonton K-Drama adalah memberi motivasi belajar, mendapat pengetahuan baru, mengenal budaya pendidikan Korea Selatan, dan munculnya semangat untuk mengikuti program beasiswa ke Korea Selatan, serta belajar bahasa baru.
Sementara itu, dampak negatif dari K-Drama adalah malas belajar, menunda pekerjaan, berkurangnya waktu belajar dan istirahat, tidak fokus dalam belajar, kesehatan berkurang dalam menunjang aktivitas sebagai peserta didik, serta adanya adegan dewasa dan kekerasan yang dikhawatirkan akan ditiru oleh remaja.
Dari dampak negatif dan positif dari K-Drama, orang dewasa mestinya mendampingi remaja saat menonton K-Drama dan memilihkan tayangan yang mendidik. Memaksimalkan dampak positif yang ada adalah salah satu cara yang bisa kita lakukan.
Kita bisa memberikan pengertian tentang bagaimana cara mengendalikan waktu menonton agar tidak terus-menerus menatap layar tanpa henti. Atau, dalam setiap episode K-Drama, kita bisa mengajak berdiskusi dan memisahkan hal baik serta hal buruk yang ada.
Cara sederhana lainnya, bisa juga dengan mendalami kehidupan aktor Korea favorit yang tentu saja selalu memiliki sisi hitam dan putih, pahit dan manis yang (lagi dan lagi) selalu bisa kita pelajari.
Relasi dengan Ibu
Aktor-aktor Korea Selatan memang mengagumkan. Banyak prestasi dan rekor dicetak secara masif. Jangan lupa, selain prestasi gemilang, kebijakan wajib militer di Korea Selatan juga membentuk para aktor memiliki mental dan fisik yang kuat.
Dari sekian banyak aktor Korea yang hebat, eksistensi Gong Yoo berada di level yang lain. Ia seperti berdiri sendiri, menempati pijakan khusus, hanya untuknya dirinya sendiri, dan tak bisa digantikan oleh aktor lain.
Dunia hiburan mencatat Gong Yoo sebagai aktor dengan akting memukau. Ia sangat berhati-hati memilih film dan drama. Alasannya sangat selektif dalam memilih peran adalah “pesan” yang ada di dalamnya. Ia menghindari genre komedi romantis karena baginya hanya ada sedikit pesan yang bisa disampaikan dalam genre tersebut.
Ahjussi rasa Oppa yang menua like fine wine ini masih tetap kiyowo meski menginjak usia 43 tahun. Kita bukan akan membicarakan ke-kiyowo-annya. Dalam tulisan ini, saya akan coba memaparkan beberapa hal baik yang bisa kita kagumi sekaligus teladani dari aktor berwajah mungil ini.
Gong Yoo adalah nama panggung. Nama aslinya, Gong Ji-cheol. Gong adalah marga sang ayah sementara Yoo merupakan marga sang ibu. Keputusan menggunakan nama panggung gabungan dari ayah dan ibunya membuat saya mengira-ngira: jangan-jangan, pilihan tersebut adalah tindakan yang disengaja untuk menyetarakan posisi kedua orang tuanya.
Ketika Gong Yoo berhasil meraih penghargaan sebagai Aktor Drama Terbaik atas perannya sebagai Goblin (Kim Shin) dalam K-Drama berjudul Guardian: The Lonely And The Great God (2016-2017) dalam Baeksang Arts Award 2017, ia memberikan sambutan dengan mata yang berkaca-kaca.
Dalam sambutan tersebut, Gong Yoo bicara tentang sang ibu. Ia menyampaikan permintaan maafnya kepada sang ibu karena tidak bisa bertemu setiap waktu. Sebab, jadwalnya terlalu padat.
“Ibuku terkadang merasa kecewa dan berkata padaku bahwa rasanya anaknya sudah menjadi anak orang lain,” kata Gong Yoo. “Ini semua karena aku tidak pernah menjadi anak yang baik untuknya.”
Ia kemudian mengungkapkan rasa syukurnya sebab telah mendapatkan penghargaan dalam event yang disebut-sebut sebagai Golden Globe-nya Korea Selatan tersebut. Ia pun berterima kasih kepada orang-orang yang selalu bisa membuatnya berdiri dan menjadi orang yang lebih baik.
Permintaan maaf tersebut tak membuatnya lemah. Ia justru menjadi kuat karena amat kegagahannya dalam menghargai sang ibu. Mari kita bertanya pada diri sendiri: kapan terakhir kali kita meminta maaf pada ibu karena waktu yang jarang kita habiskan bersamanya?
Memihak Perempuan
Pada 2019, Gong Yoo mengambil peran sebagai suami yang menghadapi seorang istri yang mengalami depresi pasca melahirkan. Film tersebut berjudul Kim Ji-young, Born 1982 yang diadaptasi dari novel berjudul sama. Dampak dari film tersebut, novel karya Cho Nam-joo menjadi novel yang paling banyak dipinjam pada tahun 2019 selama dua tahun berturut-turut di Perpustakaan Nasional Korea Selatan.
Sebagian besar peminjam novel adalah perempuan berusia 40-an. Jumlah pinjaman novel tercatat meningkat sebesar 43% pada bulan Oktober, saat filmnya dirilis. Sungguh dampak yang sangat serius.
Film menduduki puncak box office Korea Selatan pada 27 Oktober 2019. Menurut Pierce Conran dari Dewan Film Korea, ulasan untuk film ini sangat kuat. Sebagian besar penontonnya adalah perempuan dan sekitar 68% penonton memberikan ulasan positif.
Kim Ji-young, Born 1982 adalah film feminis yang berhasil menghidupkan kembali ketegangan di Korea Selatan yang memicu pertempuran seksisme sengit di sana. Bercerita tentang seorang perempuan Korea berusia 30-an yang menghadapi pekerjaan, keluarga, dan diskriminasi gender dalam setiap fase hidupnya.
Sang tokoh utama, Kim Ji-young, adalah perempuan Korea berusia 30-an yang mengira bisa melakukan semua hal dalam hidupnya. Sejak kecil, ia digambarkan tumbuh dengan belajar keras, bekerja keras, dan bermain keras. Tapi, kenyataan muncul saat karirnya karena berhenti bekerja saat menikah.
Perempuan di Korea Selatan hanya mendapatkan 63% dari gaji laki-laki. Hal tersebut adalah salah satu kesenjangan gaji tertinggi di antara negara-negara maju. Bahkan, The Economist menempatkan Korea Selatan sebagai negara berkembang terburuk untuk pekerja perempuan.
Ada jaminan bahwa bila film atau K-Drama telah “lulus sensor” Gong Yoo, maka film atau K-Drama tersebut sudah pasti bagus. Nampaknya, jaminan tersebut benar adanya. Gong Yoo seolah sengaja memilih berperan dalam film dan serial dengan “pesan penting”.
Film Kim Ji-young merekam pengalaman perempuan, menjadikannya sebagai pengetahuan yang sah. Barangkali, Gong Yoo sengaja memilih berperan di film ini untuk memberikan pesan kepada tentang kesetaraan pada para penonton.
Kita hanya bisa mengira-ngira. Di luar jalinan melankolisnya dengan sang ibu, rasa-rasanya, ia juga memerhatikan nasib perempuan, khususnya di Korea Selatan. Barangkali, ia ingin kita lebih peduli pada kesetaraan.
Catatan Lain
Selain Kim Ji-young, Born 1982 yang kontroversial, Gong Yoo juga memprakarsai sebuah film yang diadaptasi dari novel Gong Ji-young, The Crucible. Film ini dirilis secara internasional dengan judul Silenced. Setelah dirilis pada 22 September 2011, film tersebut memicu kemarahan publik.
Dampak Silenced sangat luar biasa. Film ini menjadi penyebab dibukanya kembali penyelidikan atas insiden yang menjadi dasar novel dan film tersebut. Kasus kekerasan seksual yang dialami oleh anak-anak difabel di bawah umur.
Tuntutan publik ditujukan untuk reformasi legislatif. RUU yang direvisi untuk menargetkan kejahatan seks terhadap anak di bawah umur dan penyandang cacat, dijuluki RUU Dogani, berhasil disahkan pada akhir Oktober 2011.
Gong Yoo betul-betul melakukan seleksi ketat. Ia menyaring tema film yang baik, kemudian menyampaikan pesan dalam film tersebut melalui perannya. Pesan yang bisa kita sebut sebagai pesan kesetaraan. Tidak hanya kesetaraan gender, tapi juga kesetaraan di hadapan hukum, termasuk untuk anak-anak difabel.
Ia menggugah kesadaran kita, bahwa belajar kesetaraan bisa dari hal yang sangat sederhana. Baik film Korea maupun K-Drama, mestinya bisa meninggalkan pesan yang menempel dalam diri seseorang. Pesan yang membekas dan sulit untuk dilupakan.
Kesukaan kita terhadap sesuatu mesti bermanfaat sebaik mungkin. Film dan drama Korea seharusnya tak memberikan banyak dampak negatif. Mestinya, dua hal itu memberikan dampak positif yang menjadikan kehidupan kita menjadi lebih baik ketimbang sebelumnya. []