Minggu kemarin, saya bersama kedua orang sahabat saya Deri dan Fajar memutuskan untuk pergi berlibur kesebuah tempat wisata alam yang berada di Majalengka. Kami bertiga berangkat jam 9 pagi agar tiba ditempat tidak terlalu panas dan bisa menikmati alam bisa lebih lama.
Setiba di sana sekitar jam 10.30 an, kami bergegas untuk langsung menuju tempat loket masuk dan mencari tempat yang cocok untuk tempat bersantai. Karena tempatnya perbukitan akhirnya memaksakan kami untuk berjalan naik dan turun tangga terlebih dahulu. Setelah 15 menit berjalan akhirnnya kita menemukan tempat yang pas. Tempatnya sejuk dantidak telalu panas karena dihimpit oleh dua pohon pinus yang besar.
Setelah bersantai sekitar 30 menit, tiba-tiba ada seseorang menepuk pundakku.
“Hai Mas Arul?” tanya seorang laki-laki dengan postur wajah mata sipit dan berkalungkan salib.
“Ehhh, Mas Samuel, ternyata ada di sini juga, sedang liburan ya Mas?” jawabku sambil berjabat tangan dan dengan mimik muka yang masih kaget.
“Hehehe, iya Mas, tadi setelah ibadah, langsung aja ke sini, sekalian nganter ponakan-ponakan liburan juga sih. Oya Mas Arul bagaimana kabar nih ? kayaknya makin seger aja nih,hehehe ” kata dia, sambil menanyakan kabar saya.
“Alhamdulillah Mas, kabar saya baik-baik saja, ya lumayan lah sejuknya udara di sini buat saya makin seger juga Mas, kalau sendirinya sih, bagaimana kabarnya Mas ? makin subur aja nih… hehehe,” jawabku, sembari memujinya.
“Puji Tuhan, kabar saya juga baik Mas. Oya maaf Mas saya duluan ya, soal sedang buru-buru, harus jagain ponakan juga,” ucapnya, sambil menjabat tanganku lagi untuk pamitan.
“Oke baik Mas, jangan lupa nanti kita kumpul-kumpul lagi,” ungkapku.
“Siap,” tegasnya.
Samuel adalah salah satu teman dekat saya yang beragama Kristen,yang tinggal di Majalengka, dulu kita dipertemukan dalam sebuah acara di Cirebon. Dia merupakan sosok yang baik, ramah dan santun. Pernah suatu hari, ketika saya kehabisan bensin di daerah Rajagaluh, karena bingung mau minta bantuan ke siapa, akhirnya saya menelepon dia saja, dan akhirnya ia bisadatang untuk membantu membelikan bensin. Selain itu juga, saya juga pernah mengajak dia dan teman-teman yang lain untuk traveling muter-muter tempat wisata di Majalengka.
Setelah Samuel pergi dengan keponakanya, saya tiba-tiba langsung ditegur oleh si Deri dan si Fajar.
“Lho kok kamu punya teman orang Kristen sih?, jujur saya kaget dan baru tahu lho, Bukannya kamu ini alumni pesantren. Kamu pasti ngerti dong tafsir surat al-Kafirun. Di situkan sudah tertulis dengan jelas bahwa agamaku ya agamaku dan agamamu ya agamamu. Kamu ini bagaimana sih. Lulusan pesantren ko ilmunya tidak dipakai ,” kata Deri, dengan nada cukup tinggi.
Belum juga sempat menjawab, dari samping si Fajar langsung nyambar omongan.
“Ya betul itu Der. Ilmumu luntur semua tah ? ko kamu senekat itu berteman dengan orang Kristen. Awas lho kamu mesti hati-hati. Mereka itu bahaya. Jangan sampai kamu terbawa-bawa pada golongan mereka lho. Mending kamu banyakin syahadat deh, biar salatmu diterima,” tambah si Fajar memberikan komentar.
“Hai bro, biasa saja sih, liat dia (Samuel) seperti yang liat hantu saja, sampai disuruh baca syahadat pula…hehehe. Eh mana ada ding, hantu yang takut dengan syahadat.
Sekarang saya mau tanya, apa sih yang salah dari dia, sebagai orang berbeda agama dengan kita ? apakah tadi saya ditusuk-tusuk, dipukul, atau dicubitsama si Samuel, atau tiba-tiba gara-gara berteman dengan dia, saya jadi murtad gitu ? kan jelas tidak. Sekarang coba pikir secara jernih,bukankah dia juga sama dengan kita sebagai manusia yang hidup di bumi Indonesia,” kataku, coba mengajaknya untuk berdialog.
“Iya, sama lah,” jawab mereka berdua.
“Oke, kalau sama sebagai manusia, kenapa kalian berdua membencinya ? apakah Samuel punya salah kepada kalian berdua,” ucapku, coba menanyakan kepada mereka.
“Ya tidak sih, saya juga boro-boro kenal denganya, tapi bagaimana dengan ilmu yangkamu dapatkan dari pesantren. Kalau prilaku kamu jadi begini, ilmumu sia-sia dong,” kata Deri, mencoba menanyakan kembali tentang pesantren.
Oke, jadi begini ya teman-teman. Memang saya merupakan alumni dari sebuah pesantren. Tetapi selama saya hidup di pesantren, saya tidak hanya diajarkan untuk belajar ilmu agama saja. Melainkan secara tidak langsung, pesantren juga mengajarkan bagaimana mengelola keberagaman dan perbedaan.
Dalam mengelola keberagaman dan perbedaan, pesantren mengajarkan banyak hal baru yang tidak bisa ditemui rumah-rumah, sebagai contoh kecilnya, kalau pesantren dalam masa pembangunan apalagi saat ngecor, maka momen itulah, keberagaman dan perbedaan itu benar-benar bisa dirasakan dan dirayakan dengan indah.
Para santri dari berbagai daerah, suku, bahasa, tradisi kumpul menjadi satu untuk saling bekerjasama untuk mengaduk dan saling estafet membawa ember yang berisi adukan yang kemudian dituangkan ke atas kerangka bangunan.
Momen itu juga sebagai cara dimana pak kiai dan para santrinya bisa roan bersama untuk sama-sama mengerjakannya. Ditambah lagi kalau setelah ngecor, makan bersama. Maka nikmat mana lagi yang kau dustakan… hehehe
Dari sisi kecil ini saja saya sudah bisabelajar bekerjasama dengan orang yang berbeda latar belakang suku, ras, bahasa, sosial, ekonomi, budaya, dan tradisi. Apalagi kalau sisi lainnya. Pasti akan lebih banyak lagi ilmunya.
Maka dengan modal ilmu dan pengalaman tersebut lah membuat diri saya semakin yakin untuk lebih terbuka kepada siapapun dan dengan orang yang beragama apapun. Bagi saya pesantren adalah lembaga pendidikan agama yang memberikan banyak keuntungan termasuk menjadi tempat yang pas untuk belajar mengelola berbagai keberagaman dan perbedaan.
Sekedar contoh, seperti dikutip dalam buku, Memuliakan Keberagaman Pengalaman dari Pesantren yang ditulis Muhammad Mu’tasimbillah, dkk menyebutkan bahwa di daerah Pohuwato Gorontalo ada sebuah pesantren yang bernama Salafiyah Syafi’iyyah, teletak di desa Banuroja, di mana desa tersebut dihuni oleh tiga komunitas agama yang berbeda, Islam, Kristen dan Hindu. Pengasuh pesantren ini seringkali menjadi sumber rujukan bagi umat tiga agama untuk penanganan masalah-masalah sosial yang terjadi di daerah tersebut. Hal ini menunjukan bahwa kehadiran pesantren dan kiai menjadi sebuah institusi yang menjadi rahmat bagi sekelilingnya. (rahmatan lil ‘alamin).
Selanjutnya, terkait soal tafsir surat al-Kafirun, memang betul juga di pesantren saya pernah diajarkan tafsirnya. Tapi sebelum membahas tafsirnya, saya ingin menanyakan kembali, apakah betul, al-Qur’an yang mulia itu, mengajarkan kita untuk menyekat, membatasi tali persaudaraan kepada makhluk-Nya ? kan tidak. Kemudian apakah betul, al-Qur’an yang agung itu mengajurkan kita untuk membenci, menghina atau bahkan merendahkan kepada mereka yang berbeda? kan tidak juga.
Justru al-Qur’an hadir ke muka bumi ini adalah sebagai pentunjuk kepada jalan kebenaran. Al-Qur’an memerintah dan mengajarkan kita untuk banyak sekali melakukan kebaikan, kita dituntut untuk saling menjaga tali persaudaraan, saling kenal mengenal, bertoleransi, menciptakan kedamaian, menebar kasih sayang, berbuat keadilan dan menghormati seluruh makhluk hidup.
Misalnya, salah satu perintah tersebut tertulis dalam al-Qur’an surat al-Hujurat Ayat 13 yang artinya, hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, serta menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kalian saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah ialah orang yang paling takwa. Sesunggguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.
Perintah Allah SWT dalam ayat 13 surat al-Hujurat menurut saya sudah cukup jelas. Dalam ayat ini menjelaskan bahwapada dasarnya Allah memerintahkan kita untuk saling menjaga tali persaudaraan dengan siapapun dan dengan orang yang beragama apapun. Bahkan, selain disuruh saling menjaga tali persaudaraan, Allah sendiri yang meminta kita semua hambanya untuk saling kenal mengenal kepada mereka yang berbeda baik, suku, ras, bahasa, bahkan agamanya.
Islam Berikan Penghormatan kepada Seluruh Manusia
Sebetulnya, sedih juga sih mendengarnya, di zaman yang sudah modern ini, kita masih mempermasalahkan “kita berteman dengan orang yang beragama apa”.
Masalah kita mau berteman dengan siapapun, itu terserah kita dong. Selagi tidak membahayakan dan tidak membawa keburukan, menurut saya itu sah-sah saja.
Saya berteman dengan Samuel, justru saling mendatangkan banyak kebaikan, dan kebahagiaan. Samuel bisa belajar tentang Islam ke saya, begitupun sebaliknya, saya bisa mengetahui banyak hal tentang agama Kristen. Maka menurut saya, dari hal ini penting untuk terus dirawat dan dijaga. Sebab dari sisi inilah membuat wawasan kita lebih terbuka, dan membuat kita sadar bahwa Indonesia itu sangat kaya dengan segala perbedan dan keberagaman.
Saya sebagai muslim, agama saya mengajarkan untuk memberikan penghormatan kepada seluruh manusia. Dalam artian, saya diperintah untuk bersikap menghormati, menghargai, menyayangi, mencintai, menjaga, dan melarang untuk berbuat kezaliman, termasuk menghina, merendahkan, membenci, mendiskriminasi, atau bahkan berbuat kekerasan kepada seluruh manusia, baik kepada siapa pun dan dengan latar belakang apapun.
Lebih lanjut, saya jadi teringat pada perkataan yang sering disampaikan oleh KH. Husein Muhammad. Beliau mengatakanbahwa Islam adalah agama yang hadir untuk menciptakan kedamaian, kasih sayang, keadilan, keselamatan dan mengembalikan eksistensi manusia serta mengatur relasi manusia dengan manusia yang lain.
Maka, kita yang sama-sama sebagai manusia Indonesia sudah sepatutnya untuk menghormati mereka yang berbeda dengan kita, sebab Indonesia dengan segala perbedaan dan keberagaman agama yang dimilikinya adalah sebuah keniscayaan. Kita tentu saja tidak dapat menghilangkannya, yang bisa kita lakukan adalah bagaimana membuat keberagaman yang kita miliki menjadi kekuatan untuk menjaga keutuhan bangsa ini.[]