Mubadalah.id – Dari enam bersaudara di keluarga kami, hanya aku dan abangku yang belum (mau) menikah. Tapi aku banyak belajar dari cerita suka-duka rumah tangga orang-orang terdekatku, berharap pelajaran itu bisa jadi bekal jika suatu saat aku berkeinginan menikah. Masalah rumah tangga di keluargaku terkadang membuat pikiranku berkecamuk mencari jawaban atas satu pertanyaan dasar: apa itu “cinta”?
Perbedaan kepribadian dan pengalaman tiap kepala, kuat-tidaknya komitmen untuk terus bersama, seberapa lama usia pernikahan, menghasilkan lika-liku hubungan yang berbeda level kesulitannya.
Apakah besarnya cinta yang membuat ibuku masih sering merindukan Bapak, meski sudah sewindu beliau pergi meninggalkan kami (setelah berpuluh tahun hidup bersama)? Apakah hilangnya cinta yang membuat bibiku memutuskan berpisah dengan suaminya? Apakah pudarnya cinta yang membuat pernikahan kakakku di ambang perceraian?
Selama ini aku menganggap ‘cinta’ sebagai rasa kasih sayang atau rasa tertarik yang mendalam kepada seseorang atau sesuatu (hewan peliharaan, hobi, benda, dsb). Maka “cinta” bisa datang dan pergi dari hati kita.
Dalam bahasa Inggris, kata “love” dikategorikan sebagai kata benda (noun) atau kata kerja (verb). “Love” sebagai noun berarti “perasaan intens berupa afeksi yang mendalam; ketertarikan dan kesenangan yang besar terhadap sesuatu.” (Dan seterusnya).
Lalu “love” sebagai verb berarti “merasakan suatu ikatan romantis atau seksual kepada seseorang; sangat menyukai atau sangat menikmati (sesuatu).”
Definisi “cinta” dalam bahasa Inggris cocok dengan anggapanku, bahwa cinta adalah sesuatu yang kita rasakan dan ia bisa hilang suatu saat. Tapi, benarkah begitu? Aku belum puas. Apakah cinta itu suatu perasaan atau emosi? Aku pun googling lagi: “is love a feeling or an emotion?”
Di Quora, aku menemukan jawaban yang menarik atas pertanyaan tadi. Ditulis oleh Kenneth Moore, jawabannya yang tak terduga telah mengubah persepsiku tentang cinta selama ini.
Menurut pandangannya, “love” telah sering disalahartikan sebagai suatu perasaan/emosi, sehingga “love” dikategorikan sebagai noun. Menurutnya, “love” seharusnya sejak awal diajarkan sebagai kata kerja (verb) saja, dan bukan kata benda (noun).
Hal ini jadi salah satu penyebab rusaknya banyak hubungan, karena banyak manusia menganggap bahwa cinta itu suatu perasaan/emosi yang suatu saat bisa hilang dari hati kita, hingga itu sering menjadi alasan perpisahan.
“Cinta” menurutnya adalah perbuatan yang kita putuskan dan lakukan sendiri secara konsisten kepada/untuk orang yang kita cintai, yang membuat orang itu merasa senang, berharga, penting, dan merasa dicintai.
Perbuatan yang berarti “mencintai” itu bisa berupa mendengarkan, memeluk, memuji, menulis surat romantis, memberi hadiah, dan sebagainya.
“Mencintai” berarti melakukan segala perbuatan yang membuat orang yang kita cintai merasa bahagia dan berharga, secara konsisten. Mengapa harus konsisten? Karena sekali saja kita memutuskan untuk “tidak cinta”—yang berarti melakukan perbuatan-perbuatan yang membuatnya sedih/kecewa, apalagi sampai berpaling ke lain hati—maka akan sulit bagi kita untuk kembali mencintainya.
Lantas, apa itu perasaan menggebu kepada seseorang/sesuatu yang bisa datang dan hilang begitu saja? Kita biasa menyebutnya “gairah”, “ketertarikan”, “rasa kagum”, atau “birahi”. Tapi bukan “cinta”.
Aku pun mencoba mencari kata “cinta” di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) online. Ternyata dalam KBBI, kata “cinta” tanpa awalan/imbuhan tidak termasuk dalam kategori kata benda. Semakin mantaplah imanku.
Kini aku cenderung memaknai “cinta” sebagai kata kerja, bukan kata benda; bahwa kasih adalah keputusan yang aku lakukan atas kehendak sendiri berupa konsistensi untuk memperlakukan orang yang aku cintai sebaik-baiknya.
Dengan begini aku akan lebih berhati-hati untuk tidak mudah mengumbar kata “cinta”. Karena sekali saja aku mengaku cinta kepada seseorang berarti aku memikul tanggung jawab besar untuk selalu memperlakukannya dengan baik, apapun yang terjadi; meski suatu saat gairah/ketertarikan/kekaguman/birahi kepadanya memudar, karena aku telah memutuskan untuk mencintainya.