Mubadalah.id – Pengasuh Pondok Pesantren Mahasina Darul Qur’an wal Hadits, Nyai Hj. Badriyah Fayumi, Lc. MA menjelaskan bahwa aborsi untuk korban perkosaan merupakan wacana yang sudah bergulir lama, karena fakta di lapangan menunjukkan bahwa korban perkosaan mengalami trauma mendalam.
Bahkan, kata Nyai Badriyah, ada yang ingin bunuh diri karena malu, sedih, kotor, dan merasa tak berguna.
Lebih lanjut, Nyai Badriyah mengungkapkan, ketika di rahimnya tumbuh janin akibat perkosaan, bukan rasa sayang yang muncul, melainkan penderitaan, rasa benci, dan trauma yang lebih mendalam.
Korban tidak bisa menerima kehamilan akibat perbuatan yang sama sekali tidak diinginkannya.
Korban juga, ingin menggugurkan kandungannya, meski dengan risiko kematian akibat aborsi tidak aman.
Selain itu, korban perkosaan yang sudah sangat menderita berpotensi menjadi korban kedua kalinya.
Karena, akibat aborsi tidak aman dan kriminalisasi aborsi yang telah melakukannya.
Fakta di atas, Nyai Badriyah menyebutkan, telah tertulis dalam Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi yang di dalamnya memuat ketentuan tentang pembolehan aborsi bagi korban perkosaan (pasal 31).
Dalam pasal 31 ayat 1 huruf b menyebutkan bahwa kehamilan akibat perkosaan adalah pengecualian atas larangan aborsi.
Dan dalam ayat 2 menyebutkan bahwa aborsi akibat perkosaan hanya dapat melakukannya apabila usia kehamilan paling lama 40 hari sejak hari pertama haid terakhir.
Memang sebagian agamawan tidak setuju dengan pembolehan aborsi korban perkosaan.
Alasannya, aborsi sama dengan mencabut hak hidup manusia, sekalipun belum bernyawa.
Kalangan dokter juga, menurut Nyai Badriyah merasa gamang, apakah aborsi akibat perkosaan merupakan pelanggaran kode etik karena menghentikan kehidupan janin yang ada dalam kandungan. (Rul)