Mubadalah.id – Sayyidah Khadijah terkenal karena perjuangannya dalam membantu Nabi Saw menyebarkan agama Islam. Sayyidah Aisyah terkenal karena dia adalah perempuan yang paling banyak meriwayatkan hadist dari Nabi Saw. Fatimah terkenal karena dia adalah putri kesayangan Rasulullah serta baktinya kepada Nabi. Hampir seluruh perempuan yang harum dan abadi namanya dalam sejarah tidak ada yang bersentuhan (langsung) dengan kecantikan perempuan.
Mereka diingat bukan karena cantik
Perempuan-perempuan hebat ini kita kenang bukan karena kulitnya yang putih, wajah yang menawan, tetapi selalu berhubungan dengan kreativitas. Itulah kenapa cantik bukanlah kriteria utama dalam menetapkan penilaian. Di samping itu, penilaian tidak bisa kita gandengkan dengan hal yang cenderung untuk berubah melalui pengaruh waktu.
Kecantikan perempuan bisa menjadi stimulus yang menarik kecenderungan dari orang lain. Tapi kecantikan bukanlah faktor tunggal bagaimana ketertarikan itu lahir. Ketertarikan terpengaruh oleh kepentingan dari subjek yang tertarik. Kecantikan bisa menimbulkan kesan dan menjadi sebab pertama dalam berelasi.
Platon dalam Lysius menjelaskan kenapa antar-subjek saling berhubungan. Hal ini dikarenakan motif yang ingin dicapai. Kata Aristoteles “Amicus Platon, sed magis amica veritas” (Plato adalah sahabat saya, tapi kebenaran adalah sahabat yang paling besar). Bukan wujud Plato itu yang menjadi utama. Namun kebaikan-kebaikan yang ada pada Plato itu yang menjadi dasar.
Orang-orang besar selalu memiliki nilai-nilai ini yang menjadikan mereka diingat. Islam memerintahkan untuk meningkatkan kualitas melalui kreativitas. Dan itulah yang dilakukan oleh perempuan-perempuan yang telah saya sebutkan—dan juga sederet nama perempuan yang besar dalam sejarah lainnya.
Problema kecantikan perempuan
Pada dasarnya Allah menciptakan semua manusia dalam keadaan yang baik. Allah Swt berfirman “Sungguh, Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk sebaik-baiknya ” [Qs. At-Tin (95): 4]. Setiap ciptaan itu baik pada diri sendiri. Sebenarnya konsep cantik tersendiri bukanlah suatu taken for granted melainkan terkonsepsi. Namun dikotomi yang ada dalam masyarakat melahirkan standar yang tidak adil bagi semua orang.
Yang relatif adalah rupa. Rupa si A tidak sama dengan si B. Namun mengatakan A lebih cantik daripada B, itu balik ke pada subjek yang melakukan penilaian. Menyeragamkan kecantikan itu sendiri pada dasarnya bertentangan dengan nature di mana manusia dilahirkan memang dalam keadaan yang berbeda-beda. Menetapkan standar di tengah perbedaan adalah tindakan yang tidak mudah untuk diambil.
Kecantikan perempuan kalau kita amati dengan cermat bukanlah kebutuhan diri sendiri sebetulnya. Tapi kebutuhan orang lain. Sebab motif di balik orang yang berambisi dan berusaha untuk tampil cantik, agar dilirik dan dipandang di dalam masyarakat. Dan demi kepentingan orang lain ambisi itu timbul. Ini berbeda dengan misalnya motif adalah pengetahuan, itu memang berguna bagi diri sendiri dan orang lain.
Tidak ada standar tunggal kecantikan
Standar tunggal kecantikan yang seharusnya tidak pernah ada sebab setiap kebudayaan memiliki kecantikannya sendiri-sendiri berpotensi untuk menimbulkan diskriminasi. Bagaimana kulit putih kita sebut lebih cantik dari kulit putih? Bagaimana yang berhidung mancung lebih cantik? Akibat yang jelas adalah mereka yang tidak memenuhi standar kecantikan—seperti kulit putih, hidung mancung, langsing—tidak mendapatkan perlakuan yang sama.
Diskriminasi ini timbul misalnya di dunia kerja terdapat privillege yang lebih bagi mereka yang memenuhi standar kecantikan. Lowongan kerja masih belum absen mencantumkan syarat ‘berpenampilan menarik’. Mereka yang tidak memenuhi standar kecantikan mencoba untuk menginternalisasi syarat-syarat kecantikan. Terkadang dilakukan dengan cara yang obsesif dalam mencoba ikut-ikutan demi memenuhi ekspektasi yang bukan dari dalam diri sendiri.
Selanjutnya kecantikan juga menjadi kesempatan bagi pasar untuk menjual produk-produk mereka. Iklan telah memainkan peranan besar dalam membetuk citra kecantikan itu. “Beli ini agar terlihat lebih cantik”, “pakai ini agar kamu dilihat”, “gunakan ini untuk agar lebih cantik” tidak lebih dari sekadar upaya produsen untuk menjual produk-produk mereka. Begitulah, kecantikan telah menjadi momok tersendiri bagi perempuan.
Membunuh ‘hantu’ kecantikan
Kecantikan bukanlah segala-galanya. Bahkan jika beruntung terlahirkan dalam kriteria tersebut, saya melihat sebagai keadaan yang meaningless. Tentu saja efek yang timbul bagi orang-orang yang terlahir ‘kebetulan’ cantik adalah, akan memudahkan untuk mendapat perhatian lebih. Ini berkaitan dengan kecenderungan manusia yang terobsesi kepada sesuatu yang lebih indah.
Perempuan dalam hemat saya tidak boleh berpaku pada faktor kecantikan. Tidak perlu menghabiskan usaha terlalu besar untuk mencapai standar tersebut. Tempatkan ia sebagai prioritas yang lain. Tidak usah terlalu sibuk pada sesuatu yang tidak bisa kita pilih. Apalagi jika ia sampai menjadi hantu, maka ia harus kita bunuh. Maksudnya abaikan saja selama ia tidak menguntungkan.
Barangkali ungkapan ‘jangan hidup untuk menyenangkan orang lain’ cukup memiliki hubungan di sini. Untuk apa membeli produk kosmetik dengan harga selangit? Semua pakaian yang mahal itu? Semua aksesoris itu? Sebaiknya harus kita pikir ulang. Jika ia hanya untuk sekadar membuat orang terpana, lebih baik tidak. Tidak harus memilih jalan yang begitu dalam mengaktualkan diri.
Sekali-kali tutup telinga terhadap semua narasi kecantikan. Alihkan fokus ke arah yang lain. Ke arah yang lebih penting untuk kita pertahankan. Islam mewajibkan umatnya untuk menjadi pribadi yang baik dan berkualitas. Kecantikan tidak memiliki korelasi dengan kualitas diri.
Kualitas bisa ditingkatkan melalui mengasah pengetahuan melalui membaca, menulis, melatih skill sesuai bidang yang kita minati. Menjadi Muslimah yang berkualitas bisa kita lihat dari cara berempati, bertutur kata. Kecantikan tidak pernah menjadi barometer untuk menjadi berkualitas. []