Mubadalah.id – Sebelum saya menuliskan catatan tentang peran mahasiswa di media sosial, terlebih dulu membincang masa silam. Dua belas tahun lalu, sekitar tahun 2010, saya masih menganggap internet sebagai sesuatu yang luar biasa, bahkan amat sangat berharga. Di masa itu, bisa mendapat akses buat internetan bahagianya bukan main. Lah gimana? Wong pada waktu itu internet menjadi suatu hal yang tidak semua orang punya.
Kalau toh pengen internetan harus pergi ke warnet (warung internet), atau minimal punya handphone canggih yang ada kuotanya, bukan hape nokia jadul yang ada games ular tangganya. Tapi jaman itu, tak banyak yang punya ponsel pintar, sehingga ketika ingin internetan, ya harus berusaha sekuat tenaga mendapatkannya.
Tapi kini, barang yang namanya ‘internet’ sudah bukan lagi menjadi sesuatu yang Wow. Sebab, barang itu kini mudah kita cari. Pendek kata, internet kini sudah melekat pada diri setiap orang. Saya yakin semua orang dapat dengan mudah memperoleh akses buat internetan, entah itu lewat jaringan wifi atau paket data, kecuali mereka yang sama sekali tidak mampu.
Saya teringat dengan perkataan salah satu dosen saya, bahwa kehidupan di era modern tak bisa kita lepaskan dari yang namanya internet. Dengan adanya internet, semua orang bisa mengakses sesuatu dengan mudah. Dari muda-mudi sampai kalangan dewasa menggunakan internet sebagai media bantu dalam mengerjakan dan menghubungkan berbagai aktivitas manusia secara efektif, efisien, dan akurat.
Data Pengguna Internet
Pengguna internet di dunia diperkirakan mencapai 4,95 miliar orang pada Januari 2022. Jumlah tersebut meningkat 3,99% dibandingkan pada tahun sebelumnya yang sebanyak 4,67 miliar orang. Sementara di negeri +62, menurut Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), pengguna internet mencapai 210 juta jiwa. Data tersebut menunjukkan bahwa sekitar 75% penduduk Indonesia (total penduduk Indonesia 270,6 juta) adalah pengguna Internet.
Lalu apa yang paling banyak diakses oleh pengguna internet? Jawabannya adalah media sosial. Berdasarkan laporan We Are Social, jumlah pengguna aktif media sosial di Indonesia sebanyak 191 juta orang pada Januari 2022.
Aktivitas medsos hari ini bisa dinikmati oleh berbagai kalangan tak terkecuali oleh mahasiswa. Mereka punya Facebook, Twitter, Instagram, WhatsApp, dan lain-lain. Platform medsos tersebut digunakan sebagai sarana mencari informasi, berkomunikasi, berdakwah, berbisnis, hingga nyetatus.
Dengan adanya medsos, segala sesuatunya jadi terasa lebih ringan. Betul nggak? Tapi pertanyaannya adalah bagaimana mengoperasikan medsos-medsos yang kita punya itu agar menjadi barang yang memberikan value bagi diri sendiri dan lebih penting lagi bagi orang lain. Bagaimana peran mahasiswa dalam merespon perkembangan media sosial yang terus berubah setiap detik?
Mau jadi Konsumen atau Produsen Medsos?
Ada dua pilihan bagi mahasiswa, mau menjadi konsumen atau produsen medsos? Dalam arti, menjadi konsumen medsos berarti kita hanya menerima dan menikmatinya saja tanpa kita bisa memberikan sumbangsih berupa ilmu pengetahuan atau pengalaman kepada khalayak umum, misalnya.
Berbeda halnya ketika menjadi produsen medsos. Perlu saya tekankan dahulu di sini bahwa menjadi produsen medsos bukan berarti membuat medsos baru. Tapi lebih kepada bagaimana memanfaatkan medsos yang kita punya sebagai sarana berbagi informasi. Bahasa sederhananya mungkin begini: kita mau aktif atau pasif dalam bermedsos. Aktif sama dengan menjadi produsen di medsos, sedangkan pasif sama dengan menjadi konsumen di medsos.
Kita perlu menyadari sahabat, dewasa ini, konten-konten yang beredar di internet atau medsos, sungguh sangat mengkhawatirkan. Berita-berita yang tidak jelas daribmana sumbernya, konten prank dari artis ternama yang sama sekali tidak mendidik, dan informasi yang menyesatkan umat, adalah beberapa di antaranya. Sebagai mahasiswa, apakah kita hanya akan diam saja melihat kekacauan ini?
Kita tahu, penyebaran informasi sekarang sudah tidak dapat dibendung lagi. Informasi sudah sangat mudah didapat dan disebarkan. Masyarakat sudah bebas memiliki akun-akun media sosial. Kontrol dari pemerintah ataupun pihak terkait pun tidak mampu lagi membatasi fenomena ini. Lalu bagaimana sikap kita? Apakah kita akan selamanya menjadi konsumen di media sosial?
Kita punya kewajiban moral untuk membagi pengetahuan untuk menangkal racun-racun yang bertebaran di medsos. Jangan cuma jadi konsumen ketika bermedsos, sesekali juga perlu beraksi menjadi produsen. Kita yang memproduksi konten, bukan yang terus-terusan dijejali konten. Masih mending kalau kontennya maslahat, nah kalau tidak? Justru berbahaya.
Memproduksi atau Berbagi Konten Positif
Nah, produksi konten-konten tersebut bisa kita lakukan dengan berbagai cara. Kalau yang punya skill menulis, ya silakan gunakan laptop atau hape kalian sebagai senjata. Tulis apa yang menjadi keresahan atau keinginan kalian. Misalnya, kalian resah soal isu gender, ya silakan di suarakan. Tulisan itu bisa dikirim ke media-media ternama, Mubadalah.id misalnya.
Yang punya skill dalam editing video dan desain grafis, silakan buat video dan gambar menarik. Upload di instagram, Tiktok atau Youtube. Bikin video yang mendidik, yang dapat mencerahkan masyarakat. Atau dapat menangkal berita-berita hoaks. Intinya, silakan maksimalkan potensi Anda untuk menjadi seorang produsen di medsos.
Bagi yang masih malu-malu untuk produksi konten yang bermanfaat, mari bisa kita mulai dari sekarang. Produksilah konten-konten positif, baik lewat caption, tulisan panjang, gambar atau video, untuk menyampaikan, misalnya tentang Islam Rahmatan Lilalamin, Islam Nusantara, Aswaja, pengetahuan gender, ekologi dan wawasan penting lainnya, yang kita paham dan kita punya kewajiban memahamkan kepada yang belum paham.
Media Sosial sebagai Sarana Dakwah
Selain itu, menurut saya, bentuk peran mahasiswa aktif sebagai produsen di medsos adalah dengan aktif membagikan konten-konten yang kita rasa penting dan perlu untuk diketahui khalayak ramai. Ini mungkin lebih baik, daripada kita seharian dari bangun tidur sampai mau tidur lagi hanya menscroll beranda medsos. Ya, tak salah juga yang hobinya begitu, tapi alangkah baiknya perlu melakukan perubahan. Minimal dalam sehari, kita produksi konten sekali, di Instagram misalnya.
Meski kita bukan seorang pebisnis start up atau pemilik akun instagram dengan jumlah followers ratusan ribu, tapi percayalah, setitik informasi yang kita share ke orang lain, insyaallah akan memberikan manfaat. Dan itu akan menjadi amal jariyah kita. Kuncinya adalah memberikan informasi atau pengetahuan yang bermanfaat dan yang lebih penting lagi adalah istiqomah melakukannya. Anggap saja medsos yang kita punya sebagai sarana dakwah. Sebab, dakwah hari ini lagi ngetren via medsos.
Bermedsos itu merupakan sebuah kenikmatan, sepertinya halnya ketika kita bermain games atau saat kita minum es degan di tengah teriknya sinar matahari. Itu sangat nikmat sekali. Nah kalau kita mendapatkan kenikmatan ya harus kita syukuri. Bukan hanya mengucap ‘alhamdulilah bisa internetan’, tidak. Kalau seperti itu merupakan tingkat iman yang paling lemah. Kalau mau tingkat imannya lebih tinggi lagi, ya harus kita syukuri dengan cara menggunakan media sosial yang kita miliki dengan sebaik-baiknya. Wallahualam bisshawab. []