Mubadalah.id – Siti Khadijah Ra adalah perempuan pertama yang menerima berita kewahyuan Nabi Muhammad Saw. Ia tidak saja beriman, tetapi menjadi pendukung utama misi kenabian ini. Ia teguh, yakin, mantap dengan imannya, dan setia sepenuhnya.
Ia adalah yang justru meyakinkan Nabi Muhammad Saw ketika beliau ragu, menenangkan ketika galau, dan melipur ketika sedih. Ia belanjakan seluruh hartanya untuk misi ini. Seluruhnya sampai tanpa sisa.
Bulan-bulan awal kewahyuan, Nabi Muhammad Saw. masih bimbang, dan menceritakan kebimbangan ini kepada Siti Khadijah Ra. “Benarkah aku nabi?”,
“Tidakkah yang datang kepadaku itu sama seperti yang datang kepada para peramal itu?”, demikian kegelisahan Nabi Muhammad Saw.
Dengan intuisi perempuan yang teguh dan yakin, Siti Khadijah Ra. berkata kepada Nabi Muhammad Saw.:
“Tidak (wahai suamiku), berbahagialah, (engkau tidak usah khawatir). Demi Allah, Dia tidak akan mencelakakanmu sama sekali. Karena engkau selalu berbuat baik dengan keluarga, selalu jujur dalam berbicara, membantu orang yang susah, menanggung orang yang papa, menghormati tamu, dan menolong segala kesulitan orang.” (Shahih Bukhari, no. 5005).
Khadijah Ra Yakinkan Nabi Saw
Ungkapan ini, seperti dikisahkan oleh Imam Bukhari, disampaikan oleh Siti Khadijah Ra setelah Nabi Muhammad Saw menerima wahyu pertama dan merasa khawatir dengan apa yang dialami dan diterima beliau.
Siti Khadijah Ra justru yakin dan teguh bahwa ini adalah wahyu dan kebenaran. Untuk lebih meyakinkan lagi, ia menawarkan untuk pergi berkunjung menemui seorang pendeta Kristen yang berilmu, Buhaira. Ia yang menawarkan, mengajak, dan menemani.
Dalam kasus di mana Nabi Muhammad Saw sedang khawatir dan galau, maka yang membesarkan hati dan melindungi adalah justru seorang perempuan, sang istri yang sangat dihormati, dicintai, dan disegani.
Bayangkan, bagaimana Nabi Muhammad Saw mendeskripsikan tentang siapa Khadijah Ra di mata beliau. Inilah kalimat beliau yang sangat inspiratif dalam mendeskripsikan Khadijah Ra:
“Siti Khadijah Ra yang beriman dengan kerasulanku ketika orang-orang justru mengingkarinya, meyakini kejujuranku ketika orangorang menganggapku berbohong, mendukungku dengan semua harta yang ia miliki ketika orang-orang tidak mau memberi, dan melaluinya Allah memberiku anak.” (Musnad Ahmad, no. 25504).*
*Sumber: tulisan Faqihuddin Abdul Kodir dalam buku Qiraah Mubadalah.