Mubadalah.id – Salingers, tentu sudah pada tahu perihal pemberitaan KDRT di kalangan artis yang sedang diperbincangkan? Nampaknya isu ini tidak hanya LK, atau VM yang mengalaminya saja. Namun juga sangat memungkinkan para perempuan yang bukan public figure mengalaminya. Bukti kesalingan dalam arti positif antara suami istri menjadi tak berarti.
Tentu KDRT banyak jenisnya, ada yang berbentuk fisik, psikis, seksual, dan penelantaran (UU PKDRT, pasal 6, 7, 8, dan 9). Bukan oleh orang jauh, kekerasan yang para perempuan alami, yang notabenenya para istri ini justru orang terdekat yang kerap melakukannya. Di mana ia adalah seseorang yang seharusnya berada paling depan untuk melindungi dan menghormati mereka. Yakni para suami (bisa pula terjadi sebaliknya).
Narasi-narasi agama yang misoginis kerap menempatkan perempuan pada posisi tak berdaya. Melayani tanpa jeda, mengikuti tanpa interupsi, dan diam tanpa perlawanan. Padahal sudah jelas, dari sudut manapun agama tidak membenarkan hal tersebut. Agama Islam sendiri menekankan hubungan pernikahan hendaknya kita bangun atas pilar mitsaqan ghalidzan, zawaj, taraadlin, mu’asyarah bi al-ma’ruf, dan musyawarah.
Pilar-pilar pernikahan ini keduabelah pihak merasakan, dan melaksanakannya. Tidak oleh suami saja maupun istri saja. Jika kita memahami kembali pesan kisah yang diceritakan secara turun-temurun dalam kebudayaan kita. Bbudaya yang memasyarakat pada tradisi lembah Sindu (India, Pakistan, Bangladesh, Nepal, Srilanka. Maupun di sebagian Asia Tenggara (Thailand, Vietnam, Kamboja, Indonesia, Malaysia.
Tentunya kisah Ramayana telah mencontohkan dengan baik tentang bagaimana bukti kesalingan suami istri untuk saling menghormati dan mengasihi. Tidak hanya itu, demi kehormatan dan memperjuangkan harga diri seorang istri dan suami, Sri Rama dan Dewi Sita/Sinta dengan bantuan pasukan Hanoman mengobong habis Alengka yang menjadi singasana sang Rahwana yang perkasa.
Menilik Kisah Ramayana
Kisah Ramayana yang Resi Walmiki gubah, sejatinya memiliki nasihat yang dalam untuk para manusia agar dapat menjunjung tinggi nilai-nilai suci dalam kehidupan. Khususnya lembaga perkawinan. Kisah yang tertulis atas perpaduan kisah agung yang terjadi pada masa itu, dengan tingginya spiritualitas yang penulis miliki, membuat kisah ini menjadi abadi atas restu Dewa Brahma.
Kisah yang tidak pernah pudar termakan zaman ini memiliki banyak hikmah kehidupan yang dapat kita pahami dalam berbagai perspektif. Bukankah demikian salah satu tujuan diceritakannya kisah-kisah orang di masa lampau? Ya, untuk kita ambil manfaat dan nilai-nilai makruf di dalamnya.
Adapun dalam konteks hubungan perkawinan, esensi dalam kisah ini tentunya sejalan dengan pilar-pilar pernikahan seperti yang telah saya sebutkan di atas. Namun nampaknya, perjuangan para tokoh agama sejak berabad-abad lalu ini belum sepenuhnya terpahami oleh sebagian masyarakat awam. Atau juga pihak yang berkepentingan terhadap budaya patriarki.
Kisah ini telah ada sejak 1 juta abad yang lalu. Di mana kita yakini sebagai kisah nyata umat Hindu. Hal ini menandakan bahwa sudah sejak lama keberadaan perempuan dalam suatu budaya selalu menjadi objek yang lemah. Meski demikian agama selalu hadir beserta para utusan-Nya untuk menyelamatkan mereka.
Walaupun sudah sejarah perlihatkan berabad-abad lamanya, dan juga Nabi Muhammad SAW teladankan. Di mana orang-orang munafik enggan mengindahkannya, bahkan kesetaraan dan kesalingan ini mereka anggap sebagai suatu kemunduran yang bertentangan dengan nilai-nilai agama. Entah nilai agama mana yang mereka maksudkan. Toh Kanjeng Nabi Muhammad Saw. sangat memuliakan perempuan.
Nabi Isa a.s juga terlahir dari perempuan mulia yang mendapat diskriminasi warga dan terjamin surga. Sri Rama juga entek amek kurang golek menyelamatkan Dewi Sita. Masih banyak tokoh utama dalam nas-nas agama yang sangat memuliakan perempuan. Jika masih ada teori yang menentang posisi perempuan sebagai subjek utama kekhalifahan, maka teori tersebut dapat kita katakan tidak mendasar secara agama, sejarah, maupun budaya.
Takdir sebagai Suami Dewi Sita
Sri Rama terlahir sebagai utusan untuk menyelamatkan alam dari gangguan raksasa yang bernama Rahwana. Ia ditakdirkan menjadi suami Dewi Sita setelah memenangkan sayembara yang Raja Janaka adakan. Ia adalaha ayah Dewi Sita dari Mithila. Walaupun terlahir sebagai pengganti Raja Ayodhya setelah kepemimpinan sang Ayah, Raja Dasarata, Sri Rama tidak pernah merasa haus akan kekuasaan duniawi. Ia merelakan posisinya sebagai putra mahkota untuk memenuhi keinginan ibu tirinya, Kekeyi. Untuk mengikuti perintah sang Ayah mengasingkan diri ke dalam hutan bersama istri dan adik tirinya yang setia, Laksmana.
Sri Rama merupakan sosok yang memiliki tingkat spiritual yang luhur. Adik tirinya yang sebelumnya menggantikan posisinya kembali menyerahkan posisi tersebut padanya saat sang Ayah tiada. Bagi sang adik, Bharata, Sri Rama merupakan pembimbing rohani dan laku spiritualnya. Walaupun secara jasmani Bharata yang memimpin Ayodhia.
Namun hakikatnya Sri Rama-lah yang yang berada di singgasana. Sri Rama berhasil mengembalikan hakikat sosok manusia dengan membuang karakter-karakter raksasa yang terdapat pada jiwa-jiwa manusia saat itu. Ia adalah panutan dari berbagai aspek kehidupan, politik, agama, sosial, maupun perkawinan.
Berdasarkan hubungannya bersama Dewi Sita, keduanya menunjukkan bahwa perkawinan itu merupakan sesuatu yang suci. Patut mereka perjuangkan, dan bukan suatu hal yang boleh kita permainkan. Kedua belah pihak harus berperan aktif dalam mewujudkan tujuan perkawinan yang menenangkan:
Peran Aktif Suami Istri Mewujudkan Tujuan Perkawinan
Pertama, tetap saling mendukung dalam berbagai kondisi. Kehidupan rumahtangga tentu memiliki dinamika yang berbeda-beda. Sebagaimana Sri Rama dan Dewi Sita, seyogyanya setiap pasangan harus selalu ada dan bersama apapun kondisi yang sedang dialami. Berada dalam hutan selama 14 tahun dengan segala keterbatasan bukanlah alasan bagi keduanya untuk saling meninggalkan, termasuk pada kita, keterpurukan hidup hendaknya dijalani bersama dengan penuh kesalingan dan kasih sayang.
Kedua, tetap saling sayang, cinta, menenangkan, dan setia. Faktor yang membuat perkawinan itu bermakna adalah masing-masing pasangan selalu merawat rasa-rasa kasih diantara mereka. Tanpa rasa-rasa tersebut, perkawinan akan terasa hambar dan menjenuhkan. Sebagaimana Sri Rama yang tidak tergoda dengan jelmaan Surpanaka, Sri Rama dapat menjadikan Sita sebagai satu-satunya wanita di sisinya, walaupun penolakan tersebut membuat peperangan pada akhirnya.
Ketiga, saling menjaga, mengisi, menghormati, dan memperjuangkan. Nilai-nilai yang terdapat dalam QS. Al-Baqarah ayat 187 ini juga ditampakkan oleh Sri Rama dan Dewi Sita dalam kehidupan perkawinannya. Mereka berdua menjadi kesatuan yang tak terpisahkan, terutama saat Dewi Sita diculik ke Alengka oleh Rahwana dengan beragam triknya, keduanya saling berjuang dengan caranya masing-masing agar tetap bersama.
Apapun yang sang istri alami, seorang suami harus mampu melindungi dan menjaga kehormatannya dengan segala kemampuan yang ia miliki. Demikian pula sang istri, harus memiliki kemampuan, kecerdasan, dan prinsip hidup yang kuat untuk melindungi kehormatan diri sendiri tanpa bergantung terhadap laki-laki/suami.
Menghamba hanya Pada-Nya
Keempat, bersama-sama menghamba pada-Nya. Kehidupan Sri Rama dan Dewi Sita tidak luput dari laku ibadah dalam keseharian. Atas pertolongan-Nya-lah mereka dapat melewati berbagai cobaan hidup. Saat perjuangan menolong Dewi Sita yang diculik ke Alengka, para anak buah Hanoman mendapat kemudahan untuk membangun Ramsetu yang dapat membawa pasukan Sri Rama menyeberangi lautan dari India ke Alengka di Srilanka untuk mengalahkan Rahwana.
Selama diculik pun Dewi Sita tidak mengalami beragam penyiksaan dan ketakutan yang ia derita. Lagi-lagi karena pertolongan dari-Nya sebagai jawaban atas meditasi yang Dewi Sita lakukan selama berada di Taman Asoka. Tempat di mana Dewi Sita tertawan. Kisah ini lagi-lagi mengajarkan, untuk mencapai semua kemudahan dalam hidup, baik perempuan maupun laki-laki sama-sama berkewajiban untuk menghamba hanya pada-Nya. Bukan kepada sesama manusia, termasuk kepada suami maupun istri.
Kisah ini Waldjinah nyanyikan dalam bahasa Jawa dengan judul lagu Anoman Obong. Menunjukkan bahwa kemaslahatan itu harus kita perjuangkan, dan kemudaratan itu harus kita binasakan. Kapanpun, di manapun dan oleh siapapun. Kisah ini juga sebagai penguat, bahwasanya tidak ada ajaran agama-agama di dunia yang membenarkan penindasan dan diskriminsi kepada kaum perempuan. (bebarengan)