Mubadalah.id – Perempuan dalam paradigma hak asasi manusia adalah makhluk Tuhan yang memiliki seluruh potensi kemanusiaan sebagaimana dimiliki laki-laki.
Sebagaimana halnya laki-laki, perempuan juga memiliki kekuatan fisik, akal-pikiran, kecerdasan intelektual, kepekaan spiritual, hasrat seksual, dan sebagainya.
Potensi-potensi (al-quwa) kemanusiaan tersebut Tuhan berikan kepada semua orang, semua manusia yang hidup di manapun dan kapanpun, agar mereka mampu menyelesaikan berbagai problem sosial, ekonomi, politik, dan sebagainya yang terkait dengan kehidupan manusia.
Atas dasar itulah, perempuan mempunyai hak untuk memilih dan dipilih, memimpin dan dipimpin, berpolitik praktis, berpartisipasi, berorganisasi, berekspresi, memutuskan, dan menentukan arah sejarah kehidupan manusia.
Sejarah kemanusiaan seringkali, meski sering tidak terpublikasikan, mengapresiasi fakta perempuan dengan kapasitas intelektual yang melebihi laki-laki.
Bahkan, fakta sejarah membuktikan keberhasilan beberapa perempuan dalam panggung sejarah, domestik maupun publik.
Dalam sejarah Islam, Siti Khadijah kita kenal sebagai perempuan pengusaha sukses sekaligus penasehat Nabi. Siti Khadijah lah orang pertama yang mempercayai kerasulan Muhammad.
Sementara, Siti Aisyah menjadi bukti sosok perempuan dengan tingkat intelektual yang melebihi kebanyakan laki-laki.
Bahkan, para sahabat laki-laki Nabi sering memuji kecerdasan Aisyah, “kanat Aisyah a’lam al-nas wa afqah wa ahsan al-nas ra’yan fi al-‘ammah”. (Aisyah adalah orang yang terpandai dan paling cerdas, pandangan-pandangannya paling cemerlang).*
*Sumber: tulisan KH. Husein Muhammad dalam buku Ijtihad Kyai Husein, Upaya Membangun Keadilan Gender.