Mubadalah.id – Ada yang menarik di Ramadan tahun 2023 ini. Ramadan dan Hari Raya Nyepi jatuh pada hari yang bersamaan. Ramadan yang identik dengan semarak berjumpa dengan Hari Raya Nyepi yang syarat akan kesunyian. Dua hal kontras yang sejatinya fenomena baru, namun sudah tidak lagi kita perdebatkan. Dalam hal ini kita benar-benar sedang belajar toleransi.
Fenomena “kekontrasan” dalam ranah agama seperti ini menjadi isu yang potensial, bagaimana menakar sejauh mana kedewasaan beragama kita. Konsep moderasi beragama yang selama ini kita suarakan sudah barang tentu harus bisa menjawab fenomena ini. Bagaiamana eksekusinya? tentu peran semua kalangan di antaranya pemerintah, tokoh agama, tokoh masyarakat hingga masyarakat itu sendiri sangat kita perlukan.
Dan benar, beberapa hari yang lalu, seorang pejabat di lingkungan Kementerian Agama salah satu Kabupaten di Bali menceritakan bagaimana persiapan menjelang Ramadan yang berbarengan dengan Hari Raya Nyepi. Dalam cerita tersebut tergambar bagaimana kesigapan seluruh elemen dalam mempersiapkan momen besar ini dengan tenang dan terarah.
Seoalah menjadi keniscayaan bahwa perbedaan-perbedaan semacam itu sudah hal biasa diajarkan oleh pendahulu. Yakni bagaimana cara mengatasinya. Sehingga konsep moderasi beragama dan tradisi pendahulu menjadi kunci dalam menghadapi sebuah perbedaan di kalangan mereka.
Tidak dalam rangka membesar-besarkan dua momen besar umat Hindu dan umat Muslim yang jatuh secara bersamaan. Namun momen ini seolah me-notice kita untuk menyadari bahwa setiap yang berbeda akan menemukan titik harmoninya. Belajar toleransi lagi-lagi menjadi kata kuncinya. Toleransi bukan persoalan siapa yang harus mengalah dan siapa yang harus kita utamakan. Namun bagaimana keduanya menemukan jalan tengah dengan mendialogkan konsep ajaran agama masing-masing secara terbuka.
Ramadan Semarak atau Ramadan Sunyi?
Ramadan menjadi bulan istimewa di antara bulan lainnya karena adanya ibadah-ibadah tambahan dalam konteks ibadah wajib dan sunnah. Puasa sebagai suatu ibadah wajib khas Ramadan bersanding dengan ibadah sunnah salat tarawih yang khas pula di bulan Ramadan.
Dalam riwayat A’isyah r.a. menceritakan bahwa ada alasan mengapa Rasulullah tidak keluar menunaikan salat tarawih berjamaah, adalah kekhawatiran akan diwajibkannya salat tarawih bagi umatnya. Setelah Rasulullah wafat, dalam rangka menyemai semangat muslim, Khalifah Umar bin Khattab kembali menghidupkan salat tarawih berjamaah. Hal ini memungkinkan terjadi karena Rasulullah telah selesai menanamkan bahwa salat tarawih adalah shalat sunnah bukan suatu hal yang wajib.
Di masyarakat kita sendiri, Ramadan semakin semarak dari tahun ke tahun. Hanya dua tahun belakangan saja yang sunyi sebab dihantam pandemi Covid-19. Semarak Ramadan yang menggema di berbagai pelosok sudah menjadi sebuah tradisi di tengah masyarakat kita. Rangkaian acara menjelang, saat berlangsung hingga akhir Ramadan terus berjalan. Hal ini barangkali semacam ekspresi kegembiraan sebagaimana motivasi yang tertuang dalam Kitab Durratun Nasihin “Barangsiapa bahagia dengan datangnya Ramadan, maka Allah akan mengharamkan jasadnya tersentuh api neraka.”
Namun demikian, Aisyah r.a meriwayatkan bahwa Ramadan sunyi juga ternyata Rasulullah praktikkan saat memutuskan untuk menunaikan tarawih di rumah. Tujuannya dalam upaya meminimalisir anggapan saalat tarawih menjadi ibadah wajib. Dalam kasus-kasus tertentu, Ramadan sunyi disarankan dan perlu untuk kita prakteikan.
Menilik Pengalaman di Masa Pandemi
Di masa Covid-19 misalnya, semarak Ramadan yang mensyaratkan kebersamaan, perlu kita tahan dalam upaya menekan penyebaran virus Corona saat itu. Maka adalah keputusan tepat jika pemerintah bersama masyarakat sepakata meniadakan aktivitas-aktivitas berkumpul selama Ramadan. Dalam extraordinary case yang sama, maka Ramadan sunyi perlu juga dipraktikkan masyarakat kita yang bersentuhan langsung dengan umat Hindu. Sekaligus juga bagaimana kita belajar toleransi secara langsung.
Ramadan semarak adalah suatu ekspresi dari banyak ekspresi kebahagiaan akan datangnya bulan Ramadan. Sedangkan ritual nyepi umat Hindu adalah bagian yang tak terpisahkan dengan ritual peribadatan yang perlu untuk ditunaikan. Maka be-ramadan sunyi tahun ini bagi muslim yang bersentuhan langsung dengan umat Hindu yang sedang melakukan Nyepi adalah bentuk toleransi yang indah.
Sekali lagi, momen-momen langka seperti ini, barangkali memang sengaja Tuhan ciptakan agar kita terus mengasah kepekaan kita terkait relasi kita kepada mereka yang berbeda. Sebagaimana tutur Khalifah Ali bin Abi Thalib r.a. bukankah kita yang bukan saudara seagama adalah saudara dalam kemanusiaan? Maka sudah sepantasnya kita menghargai saudara kemanuasiaan kita dalam keperluan mereka menjalankan ibadahnya. []