Mubadalah.id – MENGAPA MUBADALAH HADIR? Dalam pandangan-pandangan agama, kita diajarkan secara umum bahwa, sesungguhnya Allah tidak melihat fisik kalian dan rupa kalian akan tetapi Allah melihat hati kalian. (HR. Muslim).
Akan tetapi, pada praktiknya perempuan dan laki-laki sebagai jenis kelamin (biologis) sering dilihat untuk dijadi pertimbangan, boleh atau tidak, masuk atau tidak, dapat atau tidak, kerja atau tidak, ikut berpolitik atau tidak. Padahal, Nabi mengatakan, perempuan adalah saudara kandung laki-laki (HR. Sunan Abu Daud).
Hadis lainnya, bahwa relasi antara laki-laki dan perempuan adalah kesalingan dan kerjasama. Ada lagi, sesama orang beriman satu sama lain harusnya saling mencintai, menduukung, bekerjasama, dan tidak merendahkan. Semua hadis tersebut, tentu bisa berlaku bagi kedua jenis kelamin. Dalam konsep kesalingan, tidak mungkin yang terjadi adalah dependen, tapi harus interdependen.
Secara tegas al-Qur’an dalam surat an-Nahl ayat 97, Allah mengatakan, Laki-laki dan perempuan, yang beriman dan beramal shalih, akan memperoleh kehidupan yang baik dan sejahtera, serta pahala terbaik dari apa yang mereka lakukan.
Lalu apa itu amal shaleh? Kiai Faqih memaknai bahwa amal shaleh adalah bekerja. Karena bekerja adalah setiap hak orang yang beriman. Bekerja tidak harus yang menghasilkan uang, karena mendatangkan uang sekedar untuk kemandirian ekonomi. Realitasnya memang sulit. Realitas seringkali tidak nyambung dengan idealitas. Supaya nyambung, maka kitalah yang harus memastikannya.
Dalam setiap relasi, yang harus dipikirkan adalah tentang kesetaraan kemanusiaan. Sepertihalnya dalam konteks majikan dan buruh. Buruh memiliki kewajiban untuk profesional dalam melakukan pekerjaannya, dan majikan memiliki kewajiban untuk memberikan upah yang layak. Buruh memiliki hak untuk mendapatkan jaminan hidup (ekonomi, kesehatan, dsb) dari apa yang telah dikerjakannya. Majikan mendapatkan hak hasil produksi yang berkualitas. Jika dalam relasi buruh dan majikan ini terjadi ketimpangan, misalnya mengeksploitasi tenaga buruh untuk akumulasi kapital, tetapi tidak memberikan upah yang layak. Nah ini masalah yang timpang.
MENCARI DAN MENEMUKAN MAKNA
Metode mubaadalah mencari dan menemukan makna dari sebuah teks yang bisa kita bisa aplikasikan pada kedua jenis kelamin, dengan ditambah makna atau mencari ayat untuk disandingkan. Jika kita ketemu teks, maka harus memastikan teks untuk kedua belah pihak. Jika belum mubadalah, maka cari makna yang memungkinkan untuk bisa menyapa kedua jenis kelamin.
Sepertihalnya hadis, ‘barang siapa yang telah memiliki istri shalehah, maka dia memeproleh separo agama’. Barang siapa di sini tentu ditujukan kepada laki-laki. Maka, laki-laki yang punya istri shalehah, ia akan mendapat separo agama.
Pertama, jika dimaknai dengan timpang, hadis ini tentu akan melahirkan ketidakadilan. Contoh pemaknaan yang timpang seperti ini: jika memiliki istri shalehah laki-laki mendapat separo agama, maka untuk mendapatkan agama sepenuhnya harus memiliki istri (shalehah) lebih dari satu.
Kedua, jika kata ‘barang siapa’ dimaknai untuk laki-laki dan perempuan, maka jauzah (yang dimaknai istri shalehah), bukan lagi dimaknai istri shalehah, tapi sebagai pasangan, bisa istri maupun suami. Jika ingin tetap dimaknai sebagaimana awalnya (jauzah: istri shalehah), maka kita juga bisa memaknai laki-laki shaleh.
Contoh pemaknaan yang mubadalahnya seperti ini: jika memiliki istri shalehah, maka laki-laki mendapat separo agama. Dan jika ingin mendapatkan agama secara utuh, maka suaminya juga harus shaleh, sehingga istri mendapat separo agama. Suami-istri sama-sama mendapatkan separo agama dari keshalehan pasangannya, maka akan mendapatkan agama sepenuhnya.
Lalu apa maksud dari kata ‘separo agama’ ini? Kiai Faqih menjelaskan, bahwa separo agama di sini merupakan akhlak, komitmen, kiasan (simbolik). Diin, merupakan komitmen dari ‘Dainun’ yang berarti hutang, dan atau tanggung jawab. Jadi, laki-laki ketika punya istri shalehah sudah mendapatkan separo agama, yakni tanggung jawab dan komitmen untuk mengelola kehidupan. Agar memiliki sepenuhnya agama keduanya tentu shalehah dan shaleh.
Shalehah dan shaleh, berarti melayani. Suami shaleh kepada istri, dan istri shalehah kepada suami. Taatnya suami kepada istri bukanlah kemunduran. Atau seringkali distigmatisasi sebagai ‘susis’ alias ‘suami takut istri’. Mentaati istri bukan kiamat, akan tetapi syariat. Ini sungguh sangat Islami. Keduanya harus ‘an taraadlin, saling ridlo satu sama laun untuk komitmen keluarga.
Jadi, metode mubadalah berupaya menemukan makna dari sebuah teks, yang bisa jadi teks ini digunakan oleh orang untuk melakukan diskriminasi dan ketidakadilan. Maka kita mengajak pada makna inspiratif yang memungkinkan orang menggunakan teks tersebut untuk kerjasama dan kemitraan. Sehingga relasi suami-istri memungkinkan untuk terjadinya kemaslahatan, kebaikan, dan keadilan.[]