Dengan melihat banyaknya dampak buruk dari praktik khitan perempuan, maka anak-anak perempuan itu sebaiknya untuk tidak kita khitan. Hal ini, guna menyelamatkan mereka dari berbagai gejala penyakit yang akan mereka rasakan nanti.
Mubadalah.id – Seminggu yang lalu, tepatnya pada tanggal 4 hingga 10 Juli 2023, saya bersama teman-teman Mahasantriwa Sarjana Ulama Perempuan Indonesia (SUPI) Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) Cirebon melakukan mini riset di Desa Paniis.
Program mini riset ini bertujuan untuk memberikan ruang bagi Mahasantriwa SUPI untuk belajar hidup bersama masyarakat.
Selama satu minggu saya di Desa Paniis, saya menemukan banyak hal untuk dibahas. Salah satunya adalah tentang praktik khitan perempuan yang masih berkembang di sebagian masyarakat Desa Paniis.
Sebagian masyarakat di sana, masih menganggap bahwa khitan perempuan dilakukan untuk menghindari anak-anak dari berperilaku menyimpang.
Bahkan, sebagian dari mereka juga beranggapan jika anak perempuan tidak dikhitan, maka ia akan menjadi hiperseks saat dewasa nanti.
Beberapa jawaban tersebut saya dapatkan ketika saya melakukan wawancara bersama Ibu Ina (nama samaran), salah satu warga di Desa Paniis.
Bu Ina menyebutkan, dalam praktiknya, khitan perempuan ini biasanya dilakukan saat anak perempuan baru lahir.
“Jadi ketika ada ibu-ibu yang melahirkan anak perempuan, mereka langsung mengkhitan anaknya,” kata Ibu Ina.
Setelah saya melakukan penelusuran lebih jauh soal kenapa warga di Desa Paniis seolah-olah mewajibkan khitan perempuan. Ternyata salah satu sumbernya ada tenaga kesehatan yang berada di Desa Paniis.
Sebagian dari tenaga kesehatan (bidan) di sini, selain membantu proses melahirkan anak, ia juga kerap menyampaikan kepada si ibu untuk segera mengkhitan anak perempuannya.
Karena menurut si bidan, kalau anak perempuan tidak dikhitan, perempuan akan sulit mengendalikan nafsunya, lalu menyimpang, bahkan menjadi hiperseks. Oleh sebab itu, anak perempuan di sini, kata mereka, wajib untuk dikhitan.
Padahal, jika kita atau si bidan mau belajar lebih jauh, sebetulnya khitan perempuan itu akan memberikan dampak buruk bagi perempuan.
Lima Dampak Buruk Khitan Perempuan
Melansir dari Halodoc.com, setidak ada lima dampak buruk dari khitan perempua. Lima dampak buruk itu sebagai berikut:
Pertama, khitan perempuan akan berdampak nyeri di area vagina. Hal ini disebabkan karena kerusakan jaringan parut. Sehingga ujung saraf terperangkap atau tidak terlindungi, dan akan berdampak pada kematian.
Kedua, terjadinya infeksi genital kronis. Ketiga, terjadinya masalah di area vagina. Misalnya mereka akan mudah keputihan, gatal, vaginosis bakteri, dan infeksi lainnya.
Keempat, akan terjadi masalah pada saat menstruasi. Hal ini terjadi karena adanya penyumbatan lubang vagina, yang dapat menyebabkan nyeri haid, haid tidak teratur, dan kesulitan mengeluarkan darah haid.
Kelima, terjadinya masalah kesehatan seksual. Misalnya, mereka yang melakukan khitan akan memengaruhi sensitivitas atau kenikmatan seksual, nyeri saat berhubungan seks, kesulitan penetrasi, dan penurunan jumlah produksi pelumas alami.
Dari lima dampak buruk khitan perempuan di atas, betapa sakit, ngilu, dan kejamnya ketika ada seseorang yang mewajibkan mengkhitan anak perempuan.
Bisa kita bayangkan, bahwa anak perempuan akan mengalami banyak penderitaan dan beberapa gejala penyakit saat ia melakukan khitan.
Oleh sebab itu, dengan melihat banyaknya dampak buruk dari khitan perempuan, maka anak-anak perempuan itu sebaiknya untuk tidak kita khitan. Hal ini, guna menyelamatkan mereka dari berbagai gejala penyakit yang akan mereka rasakan nanti.
Hukum Khitan dalam Pandangan Ulama KUPI
Jika kita merujuk pandangan ulama KUPI II tentang khitan perempuan atau P2GP (Pemotongan dan Pelukaan Genitalia Perempuan) yang dilakukan tanpa alasan medis. Maka menurut ulama KUPI hukumnya haram.
Dalam fatwa KUPI ini, khitan perempuan hanya dapat dilakukan jika adanya alasan medis yang jelas dan dibutuhkan. Hal ini bertujuan untuk melindungi fisik, psikis, dan jiwa perempuan dari segala bentuk bahaya.
Dengan begitu, dengan merujuk fatwa KUPI tersebut setidaknya bisa menjadi acuan kita dalam melindungi jiwa anak perempuan dari berbagai ancaman bahaya kesehatan. []