Mubadalah.id – Jika merujuk pandangan Abdul al-Karim Zaydan dalam Ahkam al-Mar’ah wa al-Bait al-Muslim fi al-Syari’ah al-Islamiyyah (jilid 6, hal. 151-161), menyatakan bahwa hikmah utama dari kesunahan walimah ini adalah untuk mengumumkan mengenai akad pernikahan dan terbentuknya keluarga baru.
Akad nikah tidak boleh ditutupi atau hanya diketahui kedua mempelai dan keluarganya. Pernikahan harus diumumkan kepada masyarakat, setidaknya di lingkungan kedua mempelai tinggal dan teman-teman kedua mempelai/orangtua mempelai.
Tidak ada batas kadar banyaknya makanan dalam acara walimah. Satu kali walimah untuk tetangga cukup dengan makanan yang paling sederhana sekalipun.
Namun, jika keluarga mempelai mampu, boleh memperbanyak makanan dan memperluas undangan yang hadir untuk memperluas jangkauan pengumuman akad dalam pesta pernikahan tersebut.
Sekalipun demikian, Abdul Karim Zaydan juga menyebutkan adab dan hukum-hukum lain terkait walimah ini:
Pertama, tidak melampaui kadar kemampuan mempelai. Kedua, tidak untuk popularitas, riya, dan persaingan dengan yang lain.
Ketiga, undangan harus bersifat umum dan tidak mengkhususkan bagi orang-orang tertentu saja. Misalnya hanya orang kaya atau kelompok elite: dan tidak ada hura-hura dan kemaksiatan.
Dalam berbagai riwayat, Nabi Saw. mengadakan walimah dengan menyembelih kambing hanya satu kali.
Selain itu, Nabi Saw. hanya menyuguhkan makanan sederhana yang terbuat dari kurma, kadang dari gandum, kadang juga makanan (hadiah) yang dikirim para sahabatnya.
Jadi, “pesta” pernikahan yang sunah adalah sebatas walimah (berupa makanan) dengan mengundang keluarga, tetangga, dan teman-teman.
Adapun pesta pernikahan yang meriah dan banyak hiburan, hanya sebatas boleh. Jika sebagai doa dan ungkapan rasa syukur, bukan pamer kemewahan, dan tentu juga selama tidak bercampur dengan kemaksiatan. []