Mubadalah.id – Ibnu Asakir, sejarawan Damaskus terkemuka dan bergelar “Hafizh al-Ummah”, adalah murid atau mahasiswa dari banyak ulama, dan delapan puluh lebih di antaranya ialah perempuan.
Lalu, Syuhdah binti al-Abri merupakan perempuan ulama sekaligus guru yang memiliki sejumlah murid ulama besar, antara lain Ibnu al-Jauzi dan Ibnu Qudamah al-Hanbali. Keduanya ahli hadits terkemuka.
Ummu Habibah al-Ashbihani adalah salah seorang guru dari Al-Hafizh Ibnu al-Mundzir. Fatimah binti Alauddin as-Samarqandi ialah Faqahah Jalilah, ahli fiqh besar, istri dari Syekh Alauddin al-Kasani, penulis kitab Al-Badai’ ash-Shanai’.
Kemudian, tokoh cemerlang lain dalam dunia keilmuan Islam ialah Ibnu Hazm dari Andalusia. Para ahli fiqh mengenalnya sebagai ahli fiqh literalis (zhahiri). (Baca juga: Ibnu Arabi: Sufi Terbesar yang Banyak Menimba Ilmu kepada Perempuan Ulama)
Bukunya yang terkenal tentang fiqh zhahiri ialah Al-Muhalla. Namun, sesungguhnya ia juga seorang teolog, pemikir bebas, dan sastrawan besar. Ia sangatlah produktif. Karyanya konon mencapai 400 judul buku.
Pengetahuan Ibnu Hazm yang multidimensi itu ia peroleh pertama-tama dari para perempuan. Dari mereka, ia belajar membaca al-Qur’an sekaligus menghafalnya, menulis, dan memperoleh sejumlah ilmu pengetahuan dasar. Dalam bukunya, Thauq al-Hamamah (Kalung Merpati), ia menceritakan:
“Aku sering bertatap muka dengan para perempuan dan aku mengetahui banyak rahasia mereka, karena aku dididik di pangkuan mereka.”
“Kemudina, aku tumbuh besar di tangan mereka. Aku tak mengenal laki-laki kecuali setelah aku menjadi dewasa. Para perempuanlah yang mengajariku al-Qur’an, puisi-puisi, dan kaligrafi.” []