Mubadalah.id – Maria Josephine Catherine Maramis. Namanya, sangat jarang diketahui oleh banyak orang karena mungkin hanya kita kenal sebagai pahlawan daerah. Tapi lebih dari itu, Maria Josephine Catherine Maramis atau yang sering kita sebut dengan Maria Walanda Maramis adalah tokoh emansipasi wanita yang berani mendobrak adat demi memperjuangkan pendidikan dan kesetaraan perempuan.
Mengenal Maria Lebih Dekat
Maria lahir di Desa kecil bernama Kema, yang berada di Kabupaten Minahasa Utara, Sulawesi Utara. Beliau merupakan anak bungsu dari tiga bersaudara. Maria menjadi yatim piatu sejak umur enam tahun setelah ayah dan ibunya meninggal dunia karena sakit.
Oleh karenanya, Maria kecil dan dua saudaranya diasuh oleh pamannya yang saat itu menjabat sebagai distrik Maumbi dan ikut pindah ke sana. Maria dan kakaknya masuk ke sekolah melayu yang ada di Maumbi. Mereka belajar membaca, menulis dan sedikit tentang sejarah. Sekolah melayu adalah satu-satunya pendidikan formal yang Maria tempuh.
Meskipun Maria tidak menempuh jenjang pendidikan tinggi. Tetapi, cita-cita dan tekadnya dalam menyuarakan kesetaraan perempuan tidak berpatok dari sejauh mana pendidikan yang maria peroleh. Melalui Sekolah Melayu, Maria mulai membuka mata akan pentingnya pendidikan bagi perempuan.
Pada tahun 1890, ketika umurnya masih 18 tahun. Maria menikah dengan guru sekoah dasar. Hal ini tidak menjadikan Maria berhenti berjuang akan pentingnya hak memperoleh pendidikan bagi perempuan. Nah, nama tengah “Walanda” ia dapatkan dari nama suaminya, Joseph Frederick Calusung Walanda.
Awal Perjuangan Dimulai
Setelah menjadi seorang istri, Maria mendapat dukungan suaminya untuk menulis. Dalam tulisannya, Maria menjelaskan betapa pentingnya pendidikan bagi seorang perempuan agar bisa menjadi istri yang baik dan dapat melahirkan serta mendidik generasi bangsa dengan baik pula. Tulisan itu Maria kirim melalui surat kabar di Sulawesi Utara.
Hingga puncaknya pada tahun 1917. Maria dan beberapa sahabat sesama cendekiawan berhasil mendirikan organisasi yang bernama “Percintaan Ibu kepada Anak Temurunnya” atau PIKAT. Di dalamnya, membahas mengenai pengalaman dan masalah dalam pendidikan anak. Tetapi, lebih dari itu, Maria mempunyai visi kebih luas untuk memajukan perempuan di Minahasa.
Maria menginginkan agar para perempuan Minahasa bisa lebih luas dan bebas dalam mengeluarkan dan merumuskan pikiran-pikiran mereka tanpa terpengaruh dengan doktrinasi yang kurang berpihak pada perempuan.
Organisasi ini berhasil berkembang di seluruh Daerah di Sulawesi Utara hingga ke Pulau Jawa. Bahkan, Maria juga telah membangun Sekolah Kejuruan Putri lengkap dengan asrama dan tanpa memungut biaya.
Pengabdian Maria Sampai Ia Menutup Mata
Peran Maria tidak berhenti di situ. Ia terus memperjuangkan hak-hak perempuan yang sebelumnya tidak pernah mendapat pengakuan. Terbukti pada tahun 1919, saat di Minahasa mengadakan pemilihan perwakilan rakyat. Maria berhasil memperjuangkan perempuan agar mempunyai hak pilih yang sama seperti laki-laki.
Sampai sebelum Maria menutup usia pada 22 April 1924, Maria tetap aktif dalam PIKAT. Maria telah mendedikasikan seluruh hidupnya untuk kemajuan perempuan di Indonesia khususnya di Minahasa. Maria kemudian mendapat penghargaan sebagai Pahlawan Pergerakan Nasional. Maka, tak elok rasanya jika para generasi muda sekarang tidak merawat dan mempertahankan hasil perjuangan pahlawan terdahulu.
Pemahaman tentang kesetaraan harus kita pahami sejak saat ini. Tidak ada sekat atau pembeda antara perempuan dan laki-laki terutama dalam hal menyuarakan pendapat dan menerima pendidikan. Keduanya sama-sama harus terdidik agar bisa berjalan beriringan menciptakan generasi emas untuk masa mendatang. []