Mubadalah.id – Sembari mencari-cari data untuk penelitian dalam kitab tafsir, penulis menemukan sebuah penjelasan menarik tentang relasi antar manusia. Penjelasan ini berasal dari tafsir HAMKA dalam tafsir Al-Azhar ketika menjelaskan surah al-Nisā’ [4]: 1 berikut ini,
يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوْا رَبَّكُمُ الَّذِيْ خَلَقَكُمْ مِّنْ نَّفْسٍ وَّاحِدَةٍ وَّخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيْرًا وَّنِسَاۤءً ۚ وَاتَّقُوا اللّٰهَ الَّذِيْ تَسَاۤءَلُوْنَ بِهٖ وَالْاَرْحَامَ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيْبًا
Artinya: “Hai sekalian manusia! bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakanmu dari diri yang satu diri dan dari padanya dijadikan-Nya isterinya . Dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Bertakwalah kepada Allah yang dengan nama-Nya kamu saling meminta dan (peliharalah) hubungan kekeluargaan. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasimu.”
Mungkin bagi sebagian orang ketika membaca ayat ini pikirannya tertuju langsung pada perdebatan mengenai penciptaan Hawa dari Adam. Perdebatan tersebut juga HAMKA jelaskan, namun esensi yang ingin ia sampaikan olehnya bukan persoalan tersebut. Mari kita simak bersama penjelasan HAMKA berikut.
Penjelasan Buya Hamka
HAMKA memulai penjelasannya dengan fokus pada redaksi “Hai sekalian manusia! bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakanmu dari diri yang satu diri”. Menurut HAMKA ayat ini sebagai bentuk seruan kepada manusia tanpa melihat asal, negara dan warna kulit. Di mana ayat ini merupakan bentuk penegasan akan dua hal, yaitu ketakwaan kepada Allah dan manusia di mana pun ia bertempat tinggal mereka satu. Intinya, Allah adalah satu dan kemanusiaan juga satu.
Kemudian HAMKA melanjutkan penafsirannya pada bagian yang sering kita perdebatkan. Yaitu “dan dari padanya dijadikan-Nya istrinya” yang artinya adalah dari diri yang satu itu jugalah ditimbulkan pasangannya, istrinya.
Sebagaimana beberapa kitab tafsir lainnya, ketika menjelaskan maksud dari potongan ayat tersebut memiliki berbagai ragam pandangan, begitu pula HAMKA. Pandangan yang mungkin sering tersebutkan bahwa Hawa tercipta dari tulang rusuk Adam, dan tulang rusuk yang diambil adalah bagian kiri paling bawah.
Namun HAMKA tidak setuju dengan pandangan-pandangan yang sudah ada. Ia menjelaskan bahwa arti kata “diri yang satu” memiliki arit Adam dan istri atua jodoh yang dijadikan dari padanya itu adalah Hawa. Tidak menjelaskan tentang masalah tulang rusuk.
Di posisi lain ia pun menjelaskan bahwa mengenai masalah ini, tidak hanya ada satu pendapat yang menjadi acuan yang mutlak. Sebab bagi HAMKA tidak ada dalam Al-Qur’an yang menjelaskan dengan tegas dan hadis yang menjadi landasan boleh dipahami secara berbeda.
Maka ia pun menyimpulkan ragam pendapat yang sudah ada selama ini merupakan bagian dari bentuk ijtihad yang ada dalam Islam. Maka segala bentuk ijtihad selagi tidak keluar dari ruang lingkup yang sudah ada maka tidak dapat kita hukumi keluar dari ajaran Islam.
Memelihara Ketakwaan
Kemudian ia melanjutkan penjelasan pada bagian “Dia telah menjadikan kamu dari satu diri”. Maksudnya adalah seluruh manusia yang ada baik laki-laki dan perempuan di mana pun berasal dan memiliki warna kulit yang berbeda. Namun semuanya adalah diri yang satu.
Maksud dari ayat ini menurut HAMKA adalah bahwa manusia sama-sama berakal dan menyukai kebaikan dan tidak suka dengan perkara keburukan. Kemudian dari diri yang satu ini terbagi menjadi dua dan dijadikan sebagai jodohnya. Sehingga dari hasil pernikahan laki-laki dan perempuan akan melahirkan keturunan sebagaimana penjelasan pada bagian ayat “Dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak.”
Dalam pada itu, Ia menjelaskan bahwa perkembangan manusia di dunia yang pada mulanya berasal dari yang satu dan yang satu itu adalah kemanusiaan. Melalui unsur kemanusiaan ini Tuhan takdirkan mana yang laki-laki dan perempuan, hingga tersebar ke seluruh penjuru muka bumi.
Setelah tersebarnya manusia namun ada suatu hal yang perlu kita jaga, dan senantiasa kita pelihara yaitu ketakwaan. Sebagaimana penjelasan dalam bagian akhir dari ayat ini adalah “Bertakwalah kepada Allah yang dengan nama-Nya kamu saling meminta dan (peliharalah) hubungan kekeluargaan”.
Berkenaan dengan ayat ini, HAMKA memulai dengan menjelaskan tentang manusia yang selalu menyebut-nyebut Tuhan. Juga Tuhan selalu menjadi buah pertanyaan antar satu sama lain. Hal ini berdasarkan perkembangan dari akal dan kehidupan bermasyarakat. Maka melalui ayat ini sebagai penjelas bahwa Tuhan jangan hanya sekadar menjadi buah pertanyaan melainkan ditanamkan di dalam jiwa rasa takwa kepada-Nya.
Tali Keturunan Manusia
Hal lain yang menjadi fokusnya adalah kata al-Arham yang merupakan jamak dari kata rahim yang artinya kasih-sayang. Kata tersebut berkaitan dengan keluarga yang berhubungan darah. Melalui kata tersebut, menurut HAMKA sebagai pengingat Tuhan kepada manusia untuk sadar akan kesatuan tali keturunan manusia.
Melalui ayat ini jika kita renungi kembali oleh HAMKA sebagai bentuk perikemanusiaan dalam ajaran Islam. Di mana jika manusia datang dari satu keturunan telah bertakwa kepada Allah maka keamanan jiwa akan timbul dengan sendirinya.
Pada bagian terakhir dalam ayat ini yaitu “sesungguhnya Allah pengawas atas kamu.” Kita pahami sebagai bentuk keadilan. Di mana perbedaan warna kulit, iklim, tempat tinggal tidak menjadi bentuk perbedaan. Sebab semuanya berasal dari yang satu yaitu sama-sama manusia yang dipertemukan oleh akal budi. Dan yang menjadi pengawasnya adalah Allah.
Di akhir penjelasannya, HAMKA menyimpulkan bahwa yang menjadi perenungan dalam ayat ini. Pertama adalah percaya dan takwa kepada Allah menjadi dasar yang pertama. Kemudian dalam ketakwaan kepada Tuhan kita bina silaturahmi antara sesama manusia. Karena pada hakikatnya kita ini sejak semua adalah dari jenis yang satu. []