Mubadalah.id – Pada tanggal 11 Desember 2023 lalu, saya dan teman-teman Mahasantriwa Sarjana Ulama Perempuan Indonesia (SUPI) Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) Cirebon ditugaskan untuk melakukan studi lapangan kedua tempat yang berbeda yaitu Jemaat Ahmadiyah dan Masyarakat Adat Karuhun Urang (AKUR) Sunda Wiwitan di Cigugur, Kuningan.
Namun dalam hal ini, saya ingin menuliskan tentang pengalaman saya dan teman-teman SUPI saat berdialog dengan Jemaat Ahmadiyah.
Pada saat itu, tepatnya sebelum saya dan teman-teman berangkatan ke sana, dalam benak saya muncul beberapa pertanyaan terkait stigma masyarakat dan fatwa MUI Pada Tahun 2005 terhadap Ahmadiyah yang dianggap sesat. Muncul sebuah pertanyaan dalam diri saya “Apakah Ahmadiyah se-mengerikan yang orang katakan?.” Karena jauh sebelum kuliah di ISIF, saya pernah melihat berita terkait pembakaran dan penggerebekan terhadap Jemaat Ahmadiyah.
Namun pikiran buruk terhadap Jemaat Ahmadiyah itu tiba-tiba hilang. Terutama saat saya dan teman-teman disambut dengan ramah oleh para Jemaat Ahmadiyah. Mereka menjamu kami dengan baik dan ramah.
Berdiskusi
Selama berada di sana, saya dan teman-teman berdiskusi dengan para Jemaat Ahmadiyah Manislor. Dalam diskusi ini, kami diarahkan oleh Dosen Studi Hak Asasi Manusia (HAM) Ibu Alifatul Arifiati untuk membaginya menjadi dua sesi.
Sesi pertama ini disampaikan oleh Bapak Maulana Tatang. Pada sesi ini, kami diperkenalkan apa itu Ahmadiyah beserta Ajaranya.
Bapak Maulana Tatang juga menyampaikan bahwa Jemaat Ahmadiyah Manislor ikut serta terlibat dalam kegiatan kemanusiaan. Salah satunya adalah rutin melakukan kegiatan Donor darah 3 bulan sekali.
Selain donor darah, Jemaat Ahmadiyah Manislor juga tercatat dalam rekor muri sebagai organiasai keagamaan yang anggotanya menjadi pendonor kornea mata terbanyak di Indonesia.
Tentunya apa yang Jemaat Ahmadiyah lakukan ini merupakan suatu kegiatan yang sangat bermanfaat bagi kemanusiaan. Banyak sekali orang yang terbantu oleh kegiatan ini. Sehingga menurut saya kegiatan seperti ini perlu juga organisasi kegamaan lainya lakukan.
Kemudian pada sesi kedua, kami mendapat pengetahuan tentang beberapa bentuk pelanggaran hak kewarganegaraan dan pelanggaran ham yang pernah Jemaat Ahmadiyah Manislor alami.
Sesi ini disampaikan oleh Bapak Yusuf Ahmadi yang pernah menjabat sebagai kepala desa Manislor. Beliau menyampaikan bahwa jemaat Ahmadiyah Manislor pernah mengalami beberapa bentuk pelanggaran terhadap hak Kewarganegaraan. Misalnya, tidak memiliki KTP dan tidak pernikahan tercatat oleh KUA.
Jemaat Ahmadiyah juga pernah mengalami beberapa pelanggaran HAM seperti pengrusakan, pembakaran masjid hingga penganiayaaan.
Penyerangan Ahmadiyah
Seperti yang telah saya bahas pada sesi kedua, lalu kami diajak untuk melihat sebuah masjid Ahmadiyah yang dibakar oleh beberapa oknum yang mengatasnamakan ormas Islam pada tahun 2000.
Selain pembakaran masjid, Jemaat Ahmadiyah Manislor juga pernah mengalami beberapa bentuk penyerangan. Salah satu penyerangan yang terjadi pada tahun 2010 adalah ulah oknum yang mengatas namakan ormas Islam.
Merujuk dari website Fahmina.or.id, pada tahun 2010, Jemaat Ahmadiyah Manislor mengalami tindak penyerangan dan rencana pentupan masjid oleh ratusan masyarakat dari ormas Islam gabungan.
Rencana penutupan masjid itu berawal dari surat rekomendasi yang Bupati Kuningan keluarkan. Hal ini tentu saja menjadi sebuah keanehan, karena seharusnya pemerintah dapat melindungi rakyatnya dalam melaksanakan praktik agama, ini justru terlibat sebagai pelaku perampasan hak beribadah dan tinggal dengan rasa aman.
Gusdur dan Ahmadiyah
Segala rentetan penyerangan, pengrusakan, dan perampasan hak berkeyakinan yang Jemaat Ahmadiyah alami tak lepas dari Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang melarang praktik ajaran Ahmadiyah. Namun dalam hal ini, KH. Abdurahman Wahid atau kita kenal dengan sebutan Gus Dur justru memiliki pandangan lain terkait dengan Ahmadiyah.
Sebagai bapak pluralisme dan toleransi, Gus Dur justru membela Jemaat Ahmadiyah dari berbagai stigma buruk dan berbagai penyerangan yang mereka alami.
Melansir dari NU Online, Gus Dur mempersilahkan siapapun untuk mengampanyekan atau menganggap bahwa Ahmadiyah itu salah, tetapi untuk membubarkan Ahmadiyah itu sudah melanggar konstitusi 1945. Karena menurut Gus Dur, keberadaan Ahmadiyah perlu kita indungi dan ia juga berhak untuk hidup dan berkembang di Indonesia di bawah hukum UUD 1945.
Membela Kebenaran
Selain itu, dalam rangka membela Ahmadiyah dari diskriminasi yang dirasakan para jemaatnya. Gus Dur juga bertekad akan tetap membela Ahmadiyah hidup di Indonesia selama dirinya masih hidup. Sebab, hal yang dilakukannya untuk membela kebenaran dan menegakkan UUD 1945.
Gus Dur juga menyatakan bahwa ia siap menjadi saksi ahli, apabila Ahmadiyah benar-benar pemerintah bubarkan dan kasusnya akan Gus Dur angkat ke pengadilan.
“kalau nanti sampai dinyatakan bubar, saya bersedia menjadi saksi di pengadilan dan kalau perlu, menjadi pembela Ahmadiyah karena ini menyangkut kemampuan kita membela warga negara Indonesia,” ucap Gus Dur
Apa yang Gus Dur lakukan, dalam hemat saya merupakan sebuah bentuk dari pentingnya menghargai perbedaan yang ada. Karena berangkat dari semboyan bangsa kita sendiri yaitu “Bhineka Tuggal Ika.” Gus Dur juga berupaya menegakkan konstitusi tertinggi yaitu UUD 1945 dan melindungi Hak para Jemaat Ahmadiyah.
Saat pemerintah dan MUI ingin melarang praktik ajaran Ahmadiyah karena ia anggap sesat, Gus Dur justru berani bertentangan dan membela Ahmadiyah. Perbedaan yang oleh mereka anggap sebuah keanehan, oleh Gus Dur hal itu justru menjadi sebagai tonggak toleransi untuk saling menghargai. Apapun agamanya, bagaimana pun prakiknya, jika tidak melanggar UUD 45 maka keberadaanya negara lindungi.
Toleransi dalam Islam
Ajaran tentang toleransi yang Gus Dur sampaikan terkait perbedaan yang ada pada Jemaat Ahmadiyah selaras dengan apa yang agama Islam ajarkan.
Dalam agama Islam itu sendiri, kata toleransi disebut dengan tasamuh yang memiliki arti kemudahan. Dengan demikian dapat diartikan bahwa agama Islam memberikan kemudahan bagi siapapun untuk menjalankan apa yang telah diyakini sesuai dengan ajaran masing-masing tanpa adanya tekanan atau tidak mengusik kepercayaan yang telah dijalani orang lain.
Islam datang sebagai rahmatan lil alamin yang artinya sebagai rahmat untuk semua alam. Islam juga menghargai perbedaan kepercayaan yang ada. Termasuk di dalamnya adalah perbedaan aliran kepercayaan dan praktik keagamaan Islam itu sendiri.
Oleh sebab itu, seyogyanya sesama umat Islam harus saling menghargai perbedaan dan tidak mengusik. Apalagi sampai melakukan kekerasan dan perampasan hak kepada sesama umat Islam hanya karena perberaan aliran dan paham. []