Mubadalah.id – Ada sedikitnya dua jenis zakat. Zakat fitrah dan zakat mal. Zakat fitrah sendiri lazim ditunaikan manakala bulan Ramadan sampai jelang shalat Idulfitri. Sementara zakat mal kita tunaikan setahun sekali, tidak mesti di saat Ramadan, meskipun kerap kali menunaikan zakat mal banyak di antara umat Muslim yang membayarnya di saat Ramadan.
Baik zakat fitrah dan zakat mal merupakan ajaran Islam yang utama, telah lama Nabi Muhammad Saw praktikkan. Zakat terbukti membantu keberadaan umat Muslim yang membutuhkan sampai kemudian targetnya adalah agar umat Muslim menjadi berdaya.
Setiap Ramadan, biasanya polemik ihwal pemaknaan zakat menyeruak. Soal besaran zakat, siapa penerima yang berhak mendapatkan zakat, praktik bayar zakat kepada tokoh agama dan masih banyak lagi. Dalam kesempatan ini, saya akan mencoba mengkaji urgensi zakat, baik zakat fitrah mau zakat mal, untuk pemberdayaan umat Muslim.
Tak terkecuali membahas fenomena menjamurnya berbagai lembaga zakat yang kerap kali menemukan ketidakprofesionalan (tidak amanah) dalam tata kelolanya. Ambil contoh lembaga zakat yang kena getahnya pernah terjadi pada lembaga zakat nasional Aksi Cepat Tanggap.
Kesadaran Berzakat
Saya merasa bahwa zakat itu sangat penting untuk terus kita sosialisasikan sampai kapan pun. Sampai kesadaran menunaikan zakat di kalangan umat Muslim semakin meningkat. Kepentingan ini tidak bisa kita ganggu gugat. Karena itulah kemudian Pemerintah membentuk Badan Zakat Nasional (Baznas) dengan struktur yang disesuaikan dengan wilayah dari tingkat Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota.
Keberadaan Baznas malah dilengkapi oleh keberadaan berbagai Lembaga Zakat Nasional (Laznas) lainnya, beberapa Laznas yang bisa saya sebut di sini di antaranya Lazisnu, Lazismu, PPPA Daarul Qur’an, Daarut Tauhiid Peduli, Dompet Dhuafa, Rumah Zakat dan masih banyak lagi.
Sekadar untuk pengetahuan, untuk pendirian dan legalitas Laznas sendiri sungguh tidak mudah. Ada banyak persyaratan yang sangat ketat. Sehingga lembaga zakat sendiri ada beberapa levelnya: level nasional, Provinsi dan level Kabupaten/Kota.
Oleh karena itu, jangan hanya karena kasus ACT, anggapan kita terhadap Laznas secara umum menjadi sempit dan pukul rata. Saya pikir tidak senaif itu. Mengelola lembaga zakat bukan pekerjaan mudah, termasuk menjadi amil yang bersertifikat. Berbagai Laznas itu pun ada forum silaturahimnya skala nasional yakni Forum Zakat. Forum Zakat ini sebagai wadah berbagai Laznas yang telah mendapatkan legalitas dari Pemerintah.
Distribusi Zakat
Atas kewajiban zakat ini saya meyakini bahwa selain penting melakukan sosialisasi, ada hal yang juga tidak kalah penting lainnya, terutama dalam hal pendistribusian. Pemaknaan klasik kita selama ini terhadap penerima zakat, harus kita kontekstualisasikan maknanya.
Selain zaman terus berubah, juga problem kemiskinan umat Muslim dewasa ini semakin rumit dan kompleks. Di sinilah Islam melalui zakat hadir untuk mengatasi dan memberi jalan keluar. Sudah seharusnya zakat menjadi solusi atas problem sosial yang selama ini membelit rakyat kecil.
Ada fakir dan miskin yang berhak menerima zakat. Saya pikir ini tidak ada perdebatan. Berikutnya amil. Amil ini mesti kita pahami sebagai profesi, karena mengelola zakat memerlukan profesionalitas. Ada sistem keuangan dan akuntansi di dalam tata kelolanya.
Oleh karena amil harus kita beri gaji yang pantas, yang sumbernya memang kita ambil dari zakat. Besaran nominalnya dari setiap daerah memungkinkan berbeda-beda. Kalau tidak keliru, secara formal besaran untuk amil prosentasenya 12,5 persen. Orang yang mengalami KDRT, korban perdagangan manusia, janda-janda yang tidak berdaya dan lainnya, termasuk yang mesti mendapatkan bantuan zakat.
Penerima Zakat
Mualaf. Orang yang baru masuk Islam. Bagi saya mualaf tidak mutlak mesti mendapatkan zakat. Kita perlukan pemaknaan terhadap mualaf ini sebuah pemaknaan yang kontekstual. Apabila mualafnya seorang yang kaya raya, buat apa kita beri zakat. Terkecuali mualafnya memang orang yang membutuhkan, maka wajib diberi zakat. Para pembantu rumah tangga atau asisten rumah tangga juga harus diberi zakat.
Sebab secara umum, ART ini dalam kondisi yang ekonominya menengah ke bawah. Orang yang terjerat hutang, bukan dalam makna pengusaha besar yang punya hutang. Melainkan contoh konkretnya ada banyak warga Desa yang terjerat “bank emok” atau “bank Batak” atau serupanya. Pemberian zakat kepada orang yang terjerat hutang pun mesti diimbangi dengan edukasi.
Sementara fisabilillah adalah orang-orang yang dalam keadaan ekonomi lemah dan tengah dalam kebaikan dakwah di jalan Allah. Termasuk orang tengah dalam perjalanan lalu kehabisan bekal, orang-orang ini pun wajib diberi zakat. Distribusi zakat ini bukan perkara mudah, para ulama dan amil mesti cermat mengklasifikasikan para penerima zakat dengan seobjektif mungkin.
Terakhir yang tak kalah penting, saya merasa pemberian zakat kepada para penerima di zaman ini, mestinya tidak bersifat konsumtif sekali habis. Melainkan ada unsur pemberdayaan yang produktif disertai bimbingan dari para amil. Saya lebih condong untuk memahami fikih zakat secara kontekstual dan sesuai kebutuhan objektif, bukan pendekatan fikih yang saklek dan apalagi tidak memberdayakan. []