Mubadalah.id – Pernikahan adalah suatu hal yang dianjurkan oleh agama islam terutama bagi yang mampu, baik lahiriah maupun batiniyah. Terutama kesalingan membangun keluarga yang sakinah dan mawaddah. Adapun tujuan menikah salah satunya sebagaimana yang disebutkan di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) di Indonesia yang tertuang dalam UU RI No 1 Tahun 1974. Yaitu bab 1 pasal 1 yang menyatakan bahwa:
“Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri. Dengan tujuan membentuk rumah tangga, keluarga bahagi,a dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Kesalingan dalam Membangun Keluarga
Manusia diciptakan Allah berpasang-pasangan agar dapat saling menyayangi, saling menerima dan memberi antara satu dengan yang lainnya. Untuk memperoleh ketentraman jiwa dalam rangka menunjang penghambaan kepada Allah Swt. Untuk mewujudkan adanya kesalingan dalam membangun keluarga ialah dengan melaksanakan pernikahan.
Melaksanakan pernikahan adalah melaksanakan perintah agama dan sekaligus mengikuti jejak dan sunnah para Rasul Allah Swt. Karena itu, jika seseorang sudah mencukupi persyaratan untuk menikah maka dia wajib untuk melaksanakannya, karena dengan menikah hidupnya akan lebih sempurna. Hal tersebut termaktub dalam Hadis Tarbawi.
Tujuan Pernikahan ialah Sakinah dan Mawaddah
Sementara dalam pandangan al-Qur’an, salah satu tujuan pernikahan adalah terbentuknya kesalingan dalam membangun keluarga. Untuk menciptakan sakinah, mawaddah, dan rahmah, antara suami, istri dan anak-anaknya. Hal ini tertegas dalam QS. Ar-Rum ayat 21:
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
Artinya:
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri. Supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya. Dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.”
Ayat ini mengamanatkan kepada seluruh umat manusia khususnya umat islam, bahwa adanya seorang istri bagi suami adalah agar suami bisa hidup tentram bersama. Guna menciptakan kesalingan dalam membangun keluarga. Ketentraman seorang suami dalam membina bersama istri dapat tercapai apabila di antara keduanya terdapat kerjasama timbal-balik yang serasi, selaras, dan seimbang.
Kesalingan Suami Istri
Dalam buku Membimbing Istri Mendampingi Suami, Fuad Kauma dan Nipan menyebutkan. Masing-masing tidak bisa bertepuk sebelah tangan. Sebagai laki-laki sejati, suami tentu tidak akan merasa tentram, jika istrinya telah berbuat sebaik-baiknya demi kebahagiaan suami. Tetapi suami tidak mampu memberikan kebahagiaan terhadap istrinya.
Demikian pula sebaliknya, suami baru akan merasa tentram, jika dirinya mampu membahagiakan istrinya. Dan istri pun sanggup memberikan pelayanan yang seimbang demi kebahagiaan suaminya. Kedua pihak bisa saling mengasihi dan menyayangi, saling mengerti antara satu dengan yang lainnya sesuai dengan kedudukannya masing-masing. Demi tercapainya kesalingan dalam membangun keluarga yang sakinah, mawaddah, wa rahmah.
Keterasingan dalam Rumah Tangga
Moh. Zahid, dalam Dua Puluh Lima Tahun Pelaksanaan Undang-undang Perkawinan juga mengatakan. Keluarga merupakan lembaga sosial bersifat universal. Terdapat di semua lapisan dan kelompok masyarakat di dunia, di samping agama. Keluarga merupakan miniatur masyarakat, bangsa dan negara.
Kedua lembaga, keluarga dan agama merupakan lembaga yang paling berat terterpa oleh arus globalisasi dan kehidupan modern.
Dalam era globalisasi, kehidupan masyarakat cenderung materialistis, individualistis. Kontrol sosial juga semakin lemah, hubungan suami istri semakin merenggang, hubungan anak dengan orang tua bergeser. Membuat kesakralan keluarga semakin menipis. Sehingga tidak mengherankan muncul beberapa peristiwa dalam institusi rumah tangga yang menyebabkan persoalan kesalingan dalam membangun keluarga.
Seperti seseorang yang merasakan sesuatu yang aneh, merasa terasing dengan diri sendiri. Seolah-olah dia merasakan ada sesuatu yang belum terpenuhi, seperti kehilangan eksistensi diri.
Padahal nampak dari luar hubungan dengan keluarga harmonis. Dan secara biologis juga materi tidak ada kebutuhan yang tidak terpenuhi. Orang seperti ini mungkin yang sedang terasing dengan dirinya sendiri. Khoirul Rasyadi telah menyinggung hal ini dalam Cinta dan Keterasingan.
Beberapa persoalan di atas menganjurkan kepada kita untuk mengingat kembali makna dan tujuan dari sebuah pernikahan yang telah tertegas dalam QS. Ar-Rum ayat 21.
Bagi orang awam kebanyakan banyak yang belum paham bagaimana cara mencapai tujuan dari pernikahan, khususnya kesalingan dalam membangun keluarga yang sakinah dan mawaddah. Sehingga yang terjadi kemudian pernikahan tidak memiliki esensi yang seperti yang termaksudkan oleh al-Qur’an itu tersendiri. []