Mubadalah.id – Belakangan ini kita cukup dikejutkan data bahwa menurunnya angka pernikahan di Indonesia menunjukkan angka yang paling rendah dalam satu dekade terakhir. Rendahnya minat untuk melakukan pernikahan barangkali terpengaruhi oleh banyak faktor. Salah satunya yakni ‘trust issue’ karena banyaknya kasus perceraian yang terjadi di kalangan orang terdekat maupun publik figur yang tersorot media.
Semakin ke sini juga semakin tercerahkan pula pikiran anak muda akan kehidupan setelah pernikahan yang tak cukup hanya bermodal cinta. Menariknya, menikah dengan cinta ternyata menurut sejarah merupakan fenomena baru. Jika bukan karena cinta, lalu apa yang kita butuhkan dalam pernikahan?
Seperti yang kita tahu, pada zaman dulu orang-orang melakukan hubungan pernikah dengan alasan aliansi politik, ekonomi, ataupun agama, bukan semata-mata karena cinta. Di India kuno, jatuh cinta sebelum menikah justru dianggap sebagai kekacauan sosial.
Demikian pula di Indonesia, pada zaman dulu kebanyakan orang menikah karena perjodohan. Di mana tak sedikit dari mereka justru menemui kehidupan rumah tangga yang langgeng. Pingkan Rumondor, seorang psikolog hubungan romantis yang juga dosen Fakultas Psikologi Universitas Bina Nusantara Jakarta, menegaskan bahwa bukan cinta yang membuat pernikahan langgeng atau bertahan hingga puluhan tahun, tetapi komitmen.
Cinta dan Pernikahan
Saat jatuh cinta seseorang tentu akan merasa berdebar, butterfly in stomach, berbunga-bunga, nyaman, dan selalu memikirkan orang terkasihnya. Ketika jatuh cinta, bagian otak yang mengatur emosi akan aktif. Sebaliknya otak yang mengatur logika justru tidak aktif.
Namun ternyata, masa yang penuh bahagia tersebut sampai dengan terbangunnya keintiman emosional atau kedekatan fisik dan seksual hanya akan bertahan sekitar dua sampai tiga tahun. Selepasnya, kemungkinan besar rasa ketertarikan akan turun hingga cinta pun terasa hambar.
Secara ilmiah, terbatasnya waktu untuk bertahannya sebuah rasa cinta terpengaruhi oleh kerja neurotransmiter dopamin di otak. Yakni zat yang terkait dengan pencarian apresiasi atau kepuasan. Menurut Sebastian Ocklenburg, ahli biopsikologi di Institut Neurosains Kognitif, Universitas Ruhr, Jerman, kerja dopamin ditentukan oleh besar kecilnya apresiasi tak terduga yang diberikan.
Oleh sebab itu, banyak pasangan yang merasa hubungan yang mereka jalani jauh lebih indah ketika masih sedang berpacaran daripada setelah mereka menikah.
Dalam konteks pernikahan atau relasi berkomitmen jangka panjang, saat seseorang mengenal pasangannya luar dalam, baik tentang penampilan, perasaan, atau tindakan pasangannya dalam kehidupan sehari-hari. Tentu apa yang dilihatnya menjadi hal biasa saja. Sehingga, keterkejutan yang muncul menjadi sangat jarang.
Akibatnya, dopamin yang otak lepaskan pun menjadi lebih sedikit hingga cinta pun menurun dari waktu ke waktu. Pudarnya cinta akan membuat kepuasan pasangan terhadap pernikahan menjadi rendah hingga membuat komitmen terhadap perkawinan pun turun. Akibatnya, risiko perselingkuhan atau perceraian meningkat.
Membincang Komitmen Pernikahan
Komitmen sendiri merupakan sebuah proses yang berkelanjutan. Menurut Michael Johnson, profesor sosiologi di Universitas Negeri Pennsylvania, menyatakan bahwa ada tiga jenis komitmen dalam pernikahan. Yaitu komitmen pribadi, moral, dan struktural.
Komitmen pribadi, atau secara sederhana tergambarkan dengan kalimat, ”saya ingin”, merupakan komitmen yang berdasarkan atas pikiran sendiri yang membuat seseorang ingin mempertahankan pernikahan. Sementara komitmen moral, atau yang secara sederhana kita gambarkan dengan kalimat, ”saya seharusnya”, merupakan komitmen yang muncul karena seseorang meyakini kebenarannya, seperti karena sudah berjanji di hadapan Tuhan.
Adapun komitmen struktural, atau yang sederhana kita gambarkan dengan kalimat, ”saya harus”, merupakan komitmen yang terbangun untuk mempertahankan pernikahan. Baik karena anak, tingginya biaya perceraian, atau khawatir dengan omongan masyarakat sekitar.
Meski demikian, di negara-negara Barat saat ini, komitmen saja sepertinya tidak cukup untuk menjaga awetnya perkawinan. Selama tiga dekade terakhir, perceraian pada pasangan berusia lebih dari 50 tahun atau disebut perceraian abu-abu (gray divorce) di AS justru naik dua kali lipat. Sementara perceraian pada pasangan berumur lebih dari 65 tahun pada periode yang sama meningkat tiga kali lipat.
Komunikasi, Saling Memahami dan Memaafkan
Selain komitmen, menurut Ismatul Izzah, seorang dosen Psikologi Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, dalam Jurnal Psikologi Integratif, menyebut kunci kebahagiaan pasangan suami-istri yang menikah lebih dari 50 tahun adalah adanya komunikasi yang saling memahami dan memaafkan.
Selain itu terjaganya romantisisme dengan memberi perhatian dan memperlakukan pasangan dengan baik dan hormat, serta pemanfaatan waktu bersama.
Sementara itu, dalam konteks masyarakat Indonesia yang religius, nilai agama juga memiliki peran penting dalam memperkuat pernikahan. Kebahagiaan dan kelanggengan pernikahan dianggap tidak lepas dari campur tangan Tuhan. Keyakinan ini rupanya memberi dampak positif yakni menimbulkan rasa syukur dan ikhlas atas semua hal yangg terjadi selama pernikahan.
Dalam Islam sendiri kita dianjurkan untuk memilih pasangan yang sekufu. Yakni yang tujuan pernikahannya selaras untuk kebahagian tak hanya di dunia namun juga di akhirat. Tak ada yang salah dengan perasaan cinta, pun alasan menikah karena cinta.
Namun, hidup harus rasional, sehingga cinta saja barangkali tidak cukup sebagai bekal berumah tangga. Hidup menua dengan pasangan hingga maut memisahkan adalah idaman semua orang yang nyatanya tidak mudah untuk kita wujudkan.
Selain rasa cinta yang harus tetap kita jaga, komitmen juga harus kita pegang erat. Kebutuhan masing-masing individu untuk berkembang pun perlu kita perhatikan. Dan yang pasti, semua itu butuh investasi pikiran, tenaga, hingga biaya. []