• Login
  • Register
Jumat, 23 Mei 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Personal

Fenomena Menurunnya Angka Pernikahan, Benarkah Bukan Cinta yang Diperlukan?

Hidup harus rasional, sehingga cinta saja barangkali tidak cukup sebagai bekal berumah tangga

Belva Rosidea Belva Rosidea
03/04/2024
in Personal, Rekomendasi
0
Menurunnya Angka Pernikahan

Menurunnya Angka Pernikahan

747
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Belakangan ini kita cukup dikejutkan data bahwa menurunnya angka pernikahan di Indonesia menunjukkan angka yang paling rendah dalam satu dekade terakhir. Rendahnya minat untuk melakukan pernikahan barangkali terpengaruhi oleh banyak faktor. Salah satunya yakni ‘trust issue’ karena banyaknya kasus perceraian yang terjadi di kalangan orang terdekat maupun publik figur yang tersorot media.

Semakin ke sini juga semakin tercerahkan pula pikiran anak muda akan kehidupan setelah pernikahan yang tak cukup hanya bermodal cinta. Menariknya, menikah dengan cinta ternyata menurut sejarah merupakan fenomena baru. Jika bukan karena cinta, lalu apa yang kita butuhkan dalam pernikahan?

Seperti yang kita tahu, pada zaman dulu orang-orang melakukan hubungan pernikah dengan alasan aliansi politik, ekonomi, ataupun agama, bukan semata-mata karena cinta. Di India kuno, jatuh cinta sebelum menikah justru dianggap sebagai kekacauan sosial.

Demikian pula di Indonesia, pada zaman dulu kebanyakan orang menikah karena perjodohan. Di mana tak sedikit dari mereka justru menemui kehidupan rumah tangga yang langgeng. Pingkan Rumondor, seorang psikolog hubungan romantis yang juga dosen Fakultas Psikologi Universitas Bina Nusantara Jakarta, menegaskan bahwa bukan cinta yang membuat pernikahan langgeng atau bertahan hingga puluhan tahun, tetapi komitmen.

Cinta dan Pernikahan

Saat jatuh cinta seseorang tentu akan merasa berdebar, butterfly in stomach, berbunga-bunga, nyaman, dan selalu memikirkan orang terkasihnya. Ketika jatuh cinta, bagian otak yang mengatur emosi akan aktif. Sebaliknya otak yang mengatur logika justru tidak aktif.

Baca Juga:

Pola Relasi Suami-Istri Ideal Menurut Al-Qur’an

5 Kewajiban Suami untuk Istri yang sedang Menyusui

Tidak Ada Cinta bagi Arivia

Menguatkan Peran Suami dalam Menjaga Kesehatan Kehamilan Istri

Namun ternyata, masa yang penuh bahagia tersebut sampai dengan terbangunnya keintiman emosional atau kedekatan fisik dan seksual hanya akan bertahan sekitar dua sampai tiga tahun. Selepasnya, kemungkinan besar rasa ketertarikan akan turun hingga cinta pun terasa hambar.

Secara ilmiah, terbatasnya waktu untuk bertahannya sebuah rasa cinta terpengaruhi oleh kerja neurotransmiter dopamin di otak. Yakni zat yang terkait dengan pencarian apresiasi atau kepuasan. Menurut Sebastian Ocklenburg, ahli biopsikologi di Institut Neurosains Kognitif, Universitas Ruhr, Jerman, kerja dopamin ditentukan oleh besar kecilnya apresiasi tak terduga yang diberikan.

Oleh sebab itu, banyak pasangan yang merasa hubungan yang mereka jalani jauh lebih indah ketika masih sedang berpacaran daripada setelah mereka menikah.

Dalam konteks pernikahan atau relasi berkomitmen jangka panjang, saat seseorang mengenal pasangannya luar dalam, baik tentang penampilan, perasaan, atau tindakan pasangannya dalam kehidupan sehari-hari. Tentu apa yang dilihatnya menjadi hal biasa saja. Sehingga, keterkejutan yang muncul menjadi sangat jarang.

Akibatnya, dopamin yang otak lepaskan pun menjadi lebih sedikit hingga cinta pun menurun dari waktu ke waktu. Pudarnya cinta akan membuat kepuasan pasangan terhadap pernikahan menjadi rendah hingga membuat komitmen terhadap perkawinan pun turun. Akibatnya, risiko perselingkuhan atau perceraian meningkat.

Membincang Komitmen Pernikahan

Komitmen sendiri merupakan sebuah proses yang berkelanjutan. Menurut Michael Johnson, profesor sosiologi di Universitas Negeri Pennsylvania, menyatakan bahwa ada tiga jenis komitmen dalam pernikahan. Yaitu komitmen pribadi, moral, dan struktural.

Komitmen pribadi, atau secara sederhana tergambarkan dengan kalimat, ”saya ingin”, merupakan komitmen yang berdasarkan atas pikiran sendiri yang membuat seseorang ingin mempertahankan pernikahan. Sementara komitmen moral, atau yang secara sederhana kita gambarkan dengan kalimat, ”saya seharusnya”, merupakan komitmen yang muncul karena seseorang meyakini kebenarannya, seperti karena sudah berjanji di hadapan Tuhan.

Adapun komitmen struktural, atau yang sederhana kita gambarkan dengan kalimat, ”saya harus”, merupakan komitmen yang terbangun untuk mempertahankan pernikahan. Baik karena anak, tingginya biaya perceraian, atau khawatir dengan omongan masyarakat sekitar.

Meski demikian, di negara-negara Barat saat ini, komitmen saja sepertinya tidak cukup untuk menjaga awetnya perkawinan. Selama tiga dekade terakhir, perceraian pada pasangan berusia lebih dari 50 tahun atau disebut perceraian abu-abu (gray divorce) di AS justru naik dua kali lipat. Sementara perceraian pada pasangan berumur lebih dari 65 tahun pada periode yang sama meningkat tiga kali lipat.

Komunikasi, Saling Memahami dan Memaafkan

Selain komitmen, menurut Ismatul Izzah, seorang dosen Psikologi Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, dalam Jurnal Psikologi Integratif, menyebut kunci kebahagiaan pasangan suami-istri yang menikah lebih dari 50 tahun adalah adanya komunikasi yang saling memahami dan memaafkan.

Selain itu terjaganya romantisisme dengan memberi perhatian dan memperlakukan pasangan dengan baik dan hormat, serta pemanfaatan waktu bersama.

Sementara itu, dalam konteks masyarakat Indonesia yang religius, nilai agama juga memiliki peran penting dalam memperkuat pernikahan. Kebahagiaan dan kelanggengan pernikahan dianggap tidak lepas dari campur tangan Tuhan. Keyakinan ini rupanya memberi dampak positif yakni menimbulkan rasa syukur dan ikhlas atas semua hal yangg terjadi selama pernikahan.

Dalam Islam sendiri kita dianjurkan untuk memilih pasangan yang sekufu. Yakni yang tujuan pernikahannya selaras untuk kebahagian tak hanya di dunia namun juga di akhirat. Tak ada yang salah dengan perasaan cinta, pun alasan menikah karena cinta.

Namun, hidup harus rasional, sehingga cinta saja barangkali tidak cukup sebagai bekal berumah tangga. Hidup menua dengan pasangan hingga maut memisahkan adalah idaman semua orang yang nyatanya tidak mudah untuk kita wujudkan.

Selain rasa cinta yang harus tetap kita jaga, komitmen juga harus kita pegang erat. Kebutuhan masing-masing individu untuk berkembang pun perlu kita perhatikan. Dan yang pasti, semua itu butuh investasi pikiran, tenaga, hingga biaya. []

 

 

 

 

 

 

 

 

Tags: Angka PernikahanCintaistriJodohPerjodohansuami
Belva Rosidea

Belva Rosidea

General Dentist

Terkait Posts

Memahami Disabilitas

Belajar Memahami Disabilitas dan Inklusivitas “Hanya” Dengan Naik Transjatim

23 Mei 2025
Narasi Gender dalam Islam

Melampaui Batasan Tafsir: Membebaskan Narasi Gender dalam Islam Menurut Mernissi dan Wadud

22 Mei 2025
Buku Disabilitas

“Normal” Itu Mitos: Refleksi atas Buku Disabilitas dan Narasi Ketidaksetaraan

22 Mei 2025
Jalan Mandiri Pernikahan

Jalan Mandiri Pernikahan

22 Mei 2025
Age Gap

Berhenti Meromantisasi “Age Gap” dalam Genre Bacaan di Kalangan Remaja

22 Mei 2025
Catcalling

Catcalling Masih Merajalela: Mengapa Kita Tidak Boleh Diam?

21 Mei 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Hj. Biyati Ahwarumi

    Hj. Biyati Ahwarumi, Perempuan di Balik Bisnis Pesantren Sunan Drajat

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Belajar Memahami Disabilitas dan Inklusivitas “Hanya” Dengan Naik Transjatim

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Benarkah KB Hanya untuk Perempuan?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Perempuan Bisa Menjadi Pemimpin: Telaah Buku Umat Bertanya, Ulama Menjawab

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Membaca Bersama Obituari Zen RS: Karpet Terakhir Baim

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Filosofi Santri sebagai Pewaris Ulama: Implementasi Nilai Islam dalam Kehidupan Sosial
  • Perempuan Bisa Menjadi Pemimpin: Telaah Buku Umat Bertanya, Ulama Menjawab
  • Membaca Bersama Obituari Zen RS: Karpet Terakhir Baim
  • Yuk Belajar Keberanian dari Ummu Haram binti Milhan…!!!
  • Belajar Memahami Disabilitas dan Inklusivitas “Hanya” Dengan Naik Transjatim

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Go to mobile version