Mubadalah.id – Sehubungan dengan upah, ada hal menarik yang dikemukakan Imam Syafi’i. Ia membolehkan aktifitas sewa-menyewa manfaat dengan beberapa syarat. Ibnu Rusyd menggambarkan pandangan Imam Syafi’i tersebut dengan kalimat:
“Imam Syafi’i mensyaratkan supaya manfaat itu sendiri mempunyai nilai harga. Dengan demikian tidak boleh menyewakan buah apel untuk dicium, atau makanan untuk pajangan toko, karena manfaat-manfaat itu sendiri tidak memiliki nilai harga.”
Pendapat Imam Syafi’i ini secara tidak langsung mengisyaratkan pentingnya mutu dan kualitas barang yang kita sewa. Meski analogi yang dipakai Imam Syafi’i apel dan makanan, bukan berarti tidak sesuai dengan perburuhan. Substansi pandangan Imam Syafi’i terletak menjadi musuhku, maka aku akan memusihinya:
Pertama, seseorang yang mengucapkan sumpah karena aku kemudian ia curang. Kedua, seseorang yang menjual seorang merdeka lalu ia makan harganya.
Ketiga, seseorang yang mempekerjakan seorang buruh lalu sang buruh mengerjakan tugas dengan sempurna, namun ia tidak memberinya upahnya.
Dengan tegas Allah akan menjadikan tiga pihak tersebut sebagai musuh-Nya di hari kiamat kelak. Salah satunya adalah golongan orang yang tidak membayar gaji pekerjanya.
Hal ini membuktikan bahwa Islam sangat memperhatikan proses kemitraan yang terjadi dalam hubungan kerja sama, terutama yang berkaitan dengan buruh dan majikan. Islam membangun fondasi kemitraan ini dengan relasi yang berlandaskan pada nilai keadilan dan kelayakan, khususnya bagi buruh.
Konsep upah dalam fikih Islam juga tidak melulu menekankan pada aspek manfaat semata, tapi juga aspek efisiensi waktu.
Salah satu contoh kasusnya adalah penjelasan Syeikh Zaenuddin mengenai upah untuk ibadah-ibadah yang tidak wajib niat seperti adzan dan iqamah. Beliau menulis dalam kitabnya:
“Adapun ibadah-ibadah yang tidak memerlukan niat, seperti adzan dan iqamah. Maka dianggap sah menyewa tenaga buruh untuk melakukannya, dan upah dalam hal ini sebagai imbalan kemanfaatan semacam efisiensi waktu.” []