Mubadalah.id – Dua organisasi Islam terbesar dj Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhamadiyah sejak awal kemerdekaan sudah menyepakati secara bulat Pancasila sebagai dasar negera yang final.
Dalam muktamarnya di Pondok Pesantren Salafiyyah Syafi’iyyah Situbondo, Jawa Timur, pada tahun 1984, NU menekankan kembali komitmen kenegaraan dan kebangsaan tersebut dan menegaskan Pancasila sebagai dasar negara secara final berdasarkan syari’ah (baca: agama).
Salah seorang ulama terkemuka dan kharismatik, KH. Achmad Siddiq, mengemukakan tiga gagasan persaudaraan (al-ukhuwwah), yakni ukhuwwah Islamiyyah (persaudaraan umat Islam), ukhuwwah wathaniyyah (persaudaraan bangsa), dan ukhuwwah insaniyyah (persaudaraan kemanusiaan).
Hal ini menunjukkan bahwa pluralisme telah diterima para ulama dan para pengikutnya atas dasar agama. Demikian juga dengan Muhamadiyah.
Akan tetapi, dalam sepuluh tahun terakhir konsensus nasional tersebut menghadapi gugatan, bahkan ancaman dari kelompok Islam garis keras. Mereka mengusung gerakan untuk mengubah dasar negara dan konstitusi negara Republik Indonesja untuk selanjutnya mendirikan negara agama atau memformalkan syari’at Islam.
Menurut mereka, hanya hukum Tuhan atau syariah Islamiyah sajalah yang harus diikuti dan ditaati. Argumen nya adalah firman Allah:
“Barang siapa tidak berhukum dengan apa yang Allah turunkan. Maka dia kafir, zalim dan fasik” (Baca: QS. al-Maidah ayat 44, 45, 47).
Berdasarkan firman Allah pula mereka mengatakan:
اَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُوْنَۗ وَمَنْ اَحْسَنُ مِنَ اللّٰهِ حُكْمًا لِّقَوْمٍ يُّوْقِنُوْنَ ࣖ
“Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik dari pada hukum Allah bagi orang-orang yang yakin.” (QS. al-Maidah ayat 50).
Dari beberapa ayat al-Qur’an tersebut, mereka meyakini bahwa tidak boleh menerima keyakinan dan pikiran lain kecuali Islam.
Dengan begitu, menurut mereka, pluralisme adalah ide yang terlarang dalam Islam. Para pengusung dan pendukung ide pluralisme juga harus dilawan. []