Mubadalah.id – Langkah advokasi menuju kesetaraan laki-laki dan perempuan secara penuh bukanlah langkah yang tepat dan bijak. Karena hal ini akan menimbulkan revolusi sosial yang tidak terorganisir secara rapih dan boleh jadi, justru dapat menggagalkan misi profetik Nabi Muhammad.
Strategi yang al-Qur’an anjurkan adalah mereduksi hak-hak otoritatif laki-laki di satu sisi, dan mengangkat atau mengembalikan hak-hak perempuan di sisi yang lain. Pola mereduksi dan mengangkat ini harus kita lakukan secara gradual (bertahap).
Meski begitu, isyarat ke arah kesetaraan tetap menjadi semangat utama kenabian, dan karenanya, tetap Nabi sampaikan. Terkait hal tersebut, al-Qur’an memberi contoh sebagai berikut:
“Dan bagi mereka (perempuan) mempunyai hak yang setara dengan laki-laki mennurut cara yang baik, dan laki-laki mempunyai satu tingkat di atas mereka. Dan Allah Maha Perkasa lagi Bijaksana.” (QS. al-Baqarah: 228)
Ayat tersebut menarik untuk kita simak, karena Allah memperlihatkan pernyataan kontradiktif dalam satu nafas (kalimat). Laki-laki dan perempuan setara, tetapi segera disebut laki-laki setingkat lebih tinggi. Ini jelas menunjukkan adanya proses dialektika dan negosiasi sosio-kultural.
Kehendak untuk merealisasikan kesetaraan perlu menunggu waktu, karena realitas sosial belum mau memihak kepada perempuan. “Allah Maha Perkasa lagi Bijaksana,” tegas al-Qur’an.
Mengomentari kalimat ini, Asghar Ali mengatakan, “… pernyataan terakhir ini menunjukkan Allah sebenarnya bisa saja memberikan status setara antara mereka tanpa proses graduasi. Tapi kebijaksanaan-Nya diberikan dalam rangka mengakui realitas sosial tertentu dan bertindak sesuai realitas tersebut”. []