Keluarga adalah madrasah al-ula; tempat mengadu paling nyata ketika hidup terasa begitu tak adil; tempat paling aman dari segala bentuk kejahatan. Di dalamnya ada ibu, orang yang bersusah payah menjaga keseimbangan rumah; ada ayah, orang yang “memaksa diri” berada di garis terdepan ketika ancaman datang; ada saudara-saudari yang saling menguatkan dengan bahasa kasih-sayang.
Bangun pagi lalu saling mengingatkan sarapan. Baju sekolah yang sudah “disiapkan” oleh ibu. Segala kebutuhan keluarga sudah “dipenuhi” oleh ayah. Sebagai anak hanya bertugas bersekolah, belajar, dan berbakti.
Tatanan keluarga ideal, aman, dan harmonis seperti itu tidak akan ditemukan di dalam kehidupan Samantha C. Weaver. Ia membukukan pengalamannya dengan judul Saving Samantha (2007). Hanya akan menemukan dunia yang disusun dari kekerasan, siksaan, kesakitan, dan pelecehan ketika membacanya.
Samantha adalah seorang anak perempuan yang diseret menjadi dewasa oleh keluarganya. Ia dipaksa kuat menghadapi kejamnya dunia yang diciptakan orang tuanya sendiri, secara khusus ayahnya. Sejak kecil, Samantha tidak pernah mendapatkan pelukan, ucapan kasih sayang ataupun sedikit pujian atas apa yang dilakukannya. Hanya ada wajah ayah yang beringas dan ibu yang terpaksa mengimitasi sikap ayahnya karena takut.
Semakin hari, ibu yang pengasih hanya diyakini Samantha sebagai kisah dari negeri dongeng; setelah ibunya memilih zona amannya sendiri daripada memberontak dan melindungi anak-anaknya. Bahkan, tamparan dan amukan mudah sekali mendatangi Samantha (h. 71).
Ayah sebagai pelindung keluarga?
Samantha akan jijik dan mual sekaligus kesal jika harus mengingat wajah ayahnya, apalagi dibubuhi “sebagai pelindung”. Sebaliknya, ayahnya lebih menyerupai algojo abad ke-19 yang digambarkan oleh Foucault daripada seorang pelindung.
Cekikan dan bantingan adalah hal “lumrah” yang diterima Samantha dari ayahnya. Bahkan ayahnya tidak pernah meragukan kredibilitas atas kesalahan yang dituduhkan orang lain kepada Samantha. Berbeda jika Samantha mencoba menjelaskan, semua akan dianggap kebohongan; lebih tepatnya, ayah Samantha tidak pernah memiliki rasa percaya pada anaknya (67).
Jijik dan mual, adalah ekspresi natural Samantha jika harus mengingat pelecehan yang dilakukan oleh ayahnya—yang disadari Samantha di kemudian hari.
Barangkali beberapa hal yang dialami Samantha berikut akan masuk dalam term “mahram”, sehingga bukan menjadi masalah. Seperti menarik handuk yang dililitkan ditubuh Samantha; atau memeluk dan memegang dada Samantha (h. 61); atau juga ketika ayahnya memaksa Samantha untuk membuka sweater dan singlet dan menggeranyangi dadanya, karena harus memastikan benjolan (penyakit) yang tumbuh di sana.
“Aku menghadap ke luar jendela, marah karena benjolan itu bukan kanker, dan aku tidak akan mati,” ucap Samantha yang berharap itu adalah kanker dan membuatnya mati untuk lepas dari semua siksaan keluarga (h. 64).
Kekerasan dalam lingkaran setan keluarga barangkali membuat orang menyeletuk, “Kenapa tidak lapor?” atau, “Kenapa tidak mengadu?” mungkin juga, “Kenapa tidak melarikan diri?”—paling tidak, penanya masih mengakui korban, tapi tidak mentolelir sikap abainya terhadap relasi kuasa.
Keluar dari lingkaran kekerasan di dunia Samantha bukanlah perkara mudah. Apalagi hidup terisolasi dan belajar di lingkungan sekolah yang tak kalah kejamnya dengan keluarga. Jarang ada orang yang ke rumah, baik teman ibunya atau ayahnya untuk menengok keadaan rumah Samantha. Aduan yang berhasil diterima guru Samantha hanya dimentahkan oleh ibunya, ketika Jocelyn, kakak Samantha, didapati bekas lecutan ditubuhnya. Oleh karena itu, Dinas Sosial tidak pernah melanjutkan kasusnya (h. 38).
Ada banyak hal yang membuat kita sadar melalui pengalaman Samantha, anak di bawah 16 tahun, bahwa keluarga tidak mutlak menjadi tempat aman dan nyaman. Ada berbagai faktor yang berkelindan yang membuat anak menjadi korban kekerasan dan memilih kematian sebagai jalan keluar. Pertama, karena orang tua yang kaku dan mewarisi kekerasan dari orang tuanya dulu (h. 1)—tapi ini bukan melegitimasi bahwa kekerasan layak diwariskan.
Kedua, maskulinitas akut dari diri orang tua. Seperti, menundukkan anak—yang lebih mirip perbudakan—karena merasa membiayai hidupnya. Dan ini lebih sering menjadi legitimasi kekerasan. Kemudian memaksa anak untuk mensyukuri apa yang telah dimiliki dengan mengutip nasib orang lain yang kurang beruntung (h. 45). Ini yang membuat Samantha selalu pesimis untuk keluar dari rumah, karena pikirannya sudah tertanam dogma bahwa di luar lebih keras dari pada di dalam keluarga.
Ketiga, membatasi ruang sosial anak dan merasa keluarga adalah satu-satunya kebenaran. Kondisi ini yang membuat Samantha terisolasi di lingkaran setan, dan berasumsi: bercerita kepada orang lain tentang pengalaman pribadi hanya akan menimbulkan masalah baru.
Ketiga masalah tersebut berkelindan dan membuat Samantha tumbuh bersama depresi (bukan psikosis)—dengan gejala-gejala seperti, kemerosotan semangat dalam waktu cukup lama, susah berkonsentrasi, tidak ada yang membuat bahagia, merasa tidak berharga dan mencoba bunuh diri (h. 91).
Samantha dewasa telah tumbuh dan berhasil meloloskan diri dari sergapan pelaku kekerasan. Lalu, ia menuliskan kisahnya dalam buku Saving Samantha agar anak atau orang-orang yang senasib bisa keluar dari lingkaran setan kekerasan. Bagi orang tua atau yang terindikasi sebagai pelaku kekerasan, pengalaman Samantha perlu dibaca untuk berelasi secara seimbang dan menghargai kedirian orang lain—terkhusus orang tua kepada anak, hak mereka harus dipenuhi.
Ruang privat (keluarga) sering dinomor-sekiankan dalam list “ruang kekerasan”, karena romantisasi orang tua sebagai penyayang dan harus dihormati. Ortodoksi semacam itu akan menendang keluar keluarga dalam list ruang kekerasan, bahkan sebelum list itu disusun.
Pembentuk list (stakeholder) perlu untuk mengurai relasi kuasa yang bersemayam di dalam keluarga. Karena dengan itu, kesangsian terhadap kekerasan di dalam keluarga bisa “didepak” terlebih dahulu ketika menyusunnya; kemudian memasukkan keluarga dalam list ruang kekerasan. Dengan begitu, menolong korban-korban yang tersekap dan dibisukan oleh tembok keluarga bisa berjalan. []