Mubadalah.id – Ada satu hal yang sering terlupa dalam kerja-kerja media: manusia yang menjadi inti dari setiap cerita. Iya, manusianya. Dalam hiruk-pikuk mengejar klik, rating, dan viralitas, martabat manusia kerap terabaikan di balik narasi sensasional. Padahal, seharusnya setiap pemberitaan berangkat dari kesadaran bahwa manusia—dengan seluruh kerentanan, pengalaman, dan keberagamannya—layak diperlakukan secara setara. Di sinilah jurnalisme inklusi menjadi penting untuk dipahami bersama.
Dalam realitanya, banyak di antara kita percaya bahwa selama niatnya baik, maka hasilnya pasti baik. Namun kenyataannya tidak sesederhana itu. Kadang, niat baik justru berujung pada hal yang tidak baik. Bukan karena kita jahat, tapi karena kita tidak punya wawasan yang cukup. Atau tidak tahu konteks dan sudut pandangnya. Bahkan tidak mengerti bahwa manusia punya pengalaman hidup yang berlapis-lapis, terutama mereka yang hidup dengan disabilitas.
Dalam urusan kemanusiaan (apalagi yang menyangkut kelompok yang selama ini terpinggirkan) niat baik saja tidak cukup.Berkali-kali kita melihat pemberitaan mengenai difabel yang justru merendahkan martabat mereka. Bukan karena wartawannya berniat jahat, melainkan karena wawasan yang kurang memadai. Entah karena tidak memahami konteks hidup narasumber, gagal melihat sudut pandang lain selain yang dianggap “normal”, atau karena lupa bahwa seseorang tidak hanya terdiri dari label yang menempel padanya.
Padahal jurnalisme semestinya menghadirkan empati. Bukan empati yang sekadar rasa kasihan, tetapi empati yang lahir dari keterampilan: mau mendengar, mau belajar, dan mau menulis dengan penuh kehati-hatian. Sebab fungsi media bukan hanya mengangkat suara, tetapi juga memastikan bahwa cara mengangkatnya tidak menyakiti siapapun.
Suara Difabel Bukan Pelengkap Berita
Dalam praktik jurnalisme hari ini, isu disabilitas kerap dijadikan pemancing klik. Judul-judul sensasional yang menonjolkan kondisi fisik seseorang jauh lebih sering muncul ketimbang pembahasan serius mengenai ketidakadilan yang mereka hadapi. Akhirnya, bukan masalahnya yang menjadi sorotan, melainkan tubuhnya. Bukan perjuangannya yang penting, melainkan label yang melekat.
Sebagai contoh, masih segar di ingatan kita bagaimana media menggunakan istilah seperti “Agus buntung” untuk menarik perhatian pembaca. Penyebutan yang merendahkan ini menggeser fokus publik dari isu inti menjadi sekadar sensasi tubuh yang berbeda. Identitas seseorang direduksi menjadi “kondisinya”, seolah kehidupan dan aspirasinya tidak lebih berharga dari headline yang mengundang rasa iba atau penasaran.
Cara pemberitaan yang sempit ini mencetak cara pandang masyarakat bahwa difabel hanya terlihat sebagai objek belas kasihan atau bahan konsumsi berita, bukan sebagai warga negara yang memiliki pengetahuan, keberanian, dan hak untuk bersuara. Selama media masih menganggap narasi difabel sebagai bumbu pelengkap, kita patut bertanya, “sampai kapan martabat manusia boleh kita tukar dengan angka pembaca?”
Padahal difabel bukan pelengkap berita. Mereka adalah subjek penting yang kisahnya layak kita ceritakan dengan hormat, dengan ruang yang adil, dan dengan narasi yang menegaskan kemanusiaan mereka sepenuhnya.
Prinsip Peliputan Disabilitas
Dalam webinar Jurnalisme Inklusi, Mbak Anita Dhewy menegaskan pentingnya membekali diri dengan pengetahuan sebelum melakukan peliputan isu disabilitas. Ada beberapa prinsip dasar yang perlu terus diingat:
- Memahami Bahasa dan Terminologi
Penggunaan bahasa bukan sekadar teknis, tapi menentukan bagaimana publik melihat realitas. Menyebut “orang dengan disabilitas” jauh lebih manusiawi daripada melabeli seseorang dengan kondisi tubuhnya. Karena fokus utama tetap individu, bukan perbedaan atau hambatan fisiknya.
- Representasi yang Bermartabat
Media punya kuasa besar dalam membentuk opini publik. Karena itu, representasi kelompok minoritas, termasuk difabel, harus kita lakukan secara benar dan hormat. Libatkan mereka sebagai subjek di berbagai isu. Entah ekonomi, pendidikan, olahraga, teknologi, dan lainnya. Mereka bukan hanya ada ketika topik disabilitas mulai viral, tetapi selalu menjadi bagian dari masyarakat.
- Bahasa Inklusif
Bahasa yang mengedepankan individu dapat menghapus stereotip yang menempel selama ini. Dengan begitu, publik akan lebih mudah melihat potensi dan pengalaman seseorang sebagai manusia seutuhnya.
Jalan Panjang Menuju Jurnalisme yang Inklusif
Membangun jurnalisme inklusif adalah perjalanan panjang. Butuh melatih apa yang disebut Mbak Anita sebagai “otot empati”. Otot ini hanya akan kuat jika terus kita pakai dengan rendah hati, dengan kesadaran bahwa setiap orang punya otoritas atas kisah hidupnya.
Mbak Anita mengutip Lauren Kessler yang mengatakan: “Kita melakukan penelitian setelah riset yang tekun, tetapi kita tidak mendekati subjek kita seolah-olah kita adalah ahlinya. Merekalah ahlinya.” Pengakuan sederhana tapi penting: narasumber adalah pakar atas hidupnya sendiri.
Itulah kunci utama dalam jurnalisme empati. Jangan sampai pertanyaan yang ada justru menambah luka. Pun jangan sampai tulisan yang kita sebar luaskan justru memperpanjang diskriminasi. Iya, tidak boleh ada kekerasan, eksploitasi, apalagi sensasionalisme dalam kerja jurnalistik, baik di lapangan maupun saat menulis.
Pada akhirnya, jurnalisme inklusi bukan semata-mata soal isi berita, tetapi tentang keberpihakan kepada kemanusiaan. Ini tentang memastikan bahwa siapa pun—termasuk orang dengan disabilitas—memiliki ruang aman untuk bersuara. Ruang yang benar-benar mendengar, bukan sekadar memanggungkan. []












































