Mubadalah.id – Bila kita perhatikan, ada satu anggapan yang berakar kuat di tengah masyarakat bahwa suatu perceraian bagi pasangan muslim hanya bisa terjadi melalui talak oleh suami. Karenanya tidak sedikit suami yang tidak terima ketika pengadilan menceraikan Ia dengan istrinya. Kekesalan ini bahkan berujung pada pelabelan pengadilan. Khususnya pengadilan agama sebagai ‘dasim’ alias balatentara iblis yang bertugas mengganggu keharmonisan rumah tangga.
Padahal dalam fikih memang terdapat cara lain untuk memutus perkawinan, tidak hanya bergantung pada penjatuhan talak oleh suami. Kita dapat menemukan dalam kitab Fathul Mu’in misalnya. Di situ menjelaskan adanya lembaga fasakh yang dapat istri ajukan kepada Qadhi pada saat suami tidak mampu untuk memberikan nafkah minimum kepada istri.[1]
Kalau kita boleh menerka, salah satu sebab kokohnya anggapan bahwa talak adalah satu-satunya jalan memutus perkawinan, mungkin juga berasal dari satu pandangan bahwa suami atau laki-laki cenderung memiliki akal dan sifat yang lebih sabar. Sehingga tidak akan mudah menjatuhkan talak, dus laki-laki memiliki kepribadian yang lebih baik dari perempuan.
Sejarah Perceraian
Wewenang suami untuk menceraikan istri sejatinya dapat kita telusuri hingga jauh ke masa Sumeria. Hukum Sumeria memberi wewenang kepada suami untuk menceraikan istri dengan mengucapkan kalimat “kamu bukanlah istriku” sembari membayar sejumlah perak.[2]
Dalam perjanjian lama, perceraian suami lakukan dengan bantuan Rabbi. Perceraian suami lakukan dengan surat cerai (bill of divorce) yang ia serahkan ke tangan perempuan/istri.[3] Dokumen ini pada pokoknya memuat pernyataan suami bahwa Ia menceraikan istrinya, melepas dan mempersilahkannya untuk menikah dengan laki-laki lain.[4]
Ketentuan berbeda dapat kita temukan dalam Kode Hammurabi yang memberikan kewenangan kepada istri untuk meminta cerai kepada suami. Istri harus menyatakan “kamu (suami) tidak berhak atasku” (thou shalt not have me) kepada suami.[5]
Akan tetapi istri yang meminta cerai harus terbukti telah berperan sebagai istri yang baik dan suaminya memang telah memperlakukannya dengan tidak baik. Jika setelah terselidiki ternyata istri justru terbukti mengabaikan dan meremehkan suami, maka Ia akan terlempar ke sungai.[6]
Pada wilayah Arab, sebelum kedatangan Islam, perceraian sudah menjadi suatu institusi yang terkenal dan masyarakat praktikkan dan tidak hanya dapat terjatuhkan oleh suami. Misalnya, bagi suami dan istri yang tinggal di kemah, istrinya dapat menceraikan suami dengan mengubah arah pintu masuk kemah.[7]
Ayat-ayat Perceraian
Meski telah terkenal dan mereka praktikkan sebelum Islam datang, akan tetapi ada perbedaan praktik antara satu kasus perceraian dengan kasus lainnya. Perbedaan ini nampaknya menimbulkan ketidakpastian yang akhirnya seringkali merugikan perempuan. Seperti kekaburan mengenai adakah batas waktu tunggu (iddah) bagi perempuan yang bercerai dari suaminya, kalaupun ada, tidak jelas berapa lama waktunya.[8]
Dalam Sunan Abi Daud mengisahkan Asma’ binti Yazid diceraikan oleh suaminya dan saat itu wanita tidaklah memiliki masa iddah. Kondisi ini dinyatakan sebagai Asbab Nuzul dari Al-Baqarah: 228 yang mengatur waktu iddah untuk merespon ketiadaan aturan hukum yang pasti soal masa tunggu istri. [9]
Meskipun telah diberi masa iddah, seorang suami tetap berhak merujuk istrinya meski telah menalaknya seribu kali. Sehingga ada lelaki yang sengaja membuat istrinya menderita dengan selalu merujuk sebelum masa iddah habis untuk kemudian menjatuhkan talak kembali. Karenanya melalui Al-Baqarah: 229 terbatasi penjatuhan talak hanya sebanyak dua kali (At-Thalaq Marrotani).[10]
Dalam konteks sebab turunnya Al-Mujadalah: 1-4, dikisahkan seorang istri yang didzihar (menyamakan punggung istri dengan punggung ibu suami) datang menemui Rasulullah memohon solusi atas kondisinya yang didzihar oleh suami.
Perempuan tersebut menyatakan “sesungguhnya Aku memiliki anak-anak yang masih kecil. Jika Anda menyerahkan mereka kepadanya (suami), mereka akan terlantar. Jika menyerahkan mereka kepadaku, mereka akan kelaparan”. Hingga Ia akhirnya mengangkat kepalanya ke langit dan berkata “Ya Allah, hamba mengadu kepada Engkau, ya Allah maka turunkahlah melalui lisan Nabi-Mu”.[11]
Laki-laki yang Zalim
Dengan memperhatikan sebab-sebab turunnya ayat-ayat perceraian atau putusnya perkawinan di atas, dapat kita lihat bahwa ketentuan perceraian dalam Islam turun justru untuk melindungi perempuan dari tindakan zalim yang dilakukan oleh laki-laki atau suami. Asbab nuzul tersebut seolah-olah menunjukkan bahwa laki-laki lebih cenderung untuk melakukan kezaliman sementara perempuan cenderung menjadi pihak yang terzalimi.
Sejatinya sumber kezaliman dalam rumah tangga bukan terletak pada jenis kelamin. Kezaliman cenderung terjadi ketika salah satu pihak lebih punya kuasa dan pihak lainnya dianggap lebih inferior. Dalam konteks perceraian, kewenangan suami untuk menjatuhkan talak tergambarkan sedemikian rupa seakan-akan meniadakan jalan lain bagi putusnya ikatan perkawinan hingga membuat laki-laki di dalam rumah tangga menjadi sangat superior.
Rasanya tidak sedikit kisah di mana seorang istri yang mengalami KDRT oleh suami, kebingungan untuk memutuskan perkawinan. Alasannya karena suami tak kunjung mengucapkan talak. Ia juga tak berani menggugat cerai, karena sepengetahuannya, istri yang bercerai tanpa talak dari suami kerap terlabeli belum bercerai secara sah. Sehingga jika di kemudian hari Ia menikah dengan laki-laki lain, maka hubungannya dengan sang suami baru dapat tergolongkan sebagai perzinahan.
Oleh karenanya, adalah hal yang penting dan mendesak bagi para pemuka agama Islam untuk menjelaskan bahwa di dalam khazanah fikih, terdapat berbagai sebab lain yang mengakibatkan putusnya perkawinan selain dari dijatuhkannya talak oleh suami. Jangan sampai informasi mengenai fasakh, ta’lik talak hingga tafriq al-qadha’i tidak tersampaikan kepada masyarakat dan menjadi jalan suburnya kezaliman di dalam rumah tangga. []
Referesi:
[1] Nailul Huda, Muthi’ullah, and Fathulillah, FATHAL MU’IN: Terjemah & Kajian Paling Lengkap Jilid 2 (Kediri: Santri Salaf Press, 2021). Hlm. 393
[2] I. Mendelsohn, “The Family in the Ancient Near East,” The Biblical Archaeologist 11, no. 2 (May 1948): 24–40, https://doi.org/10.2307/3209201. Hlm. 31
[3] Donald W. Shaner, A Christian View of Divorce (Leiden: E.J.Brill, 1969). Hlm. 3
[4] Samuel Daiches, “Divorce in Jewish Law,” Journal of Comparative Legislation and International Law 8 (1926): 215–24.
[5] Robert Francis Harper, The Code of Hammurabi King of Babylon About 2250 B.C. (Chicago: The University of Chicago Press, 1904). Hlm. 51
[6] Harper. Hlm. 31
[7] Cahya Buana, Citra Perempuan Dalam Syair Jahiliyah (Yogyakarta: Mocopat Offset, 2010). Hlm. 203
[8] Asghar Ali engineer, The Right of Women in Islam, Second (New Delhi: New Dawn Press, 2004).Hlm 30-37
[9] Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, Asbabun-Nuzul: Kronologi Dan Sebab Turun Wahyu Al-Qur’an, ed. Muchlis M. Hanafi (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, 2017). Hlm. 126
[10] Az-Zuhaili Wahbah, Tafsir Al-Munir Vol 1 (Jakarta: Gema Insani, 2013). Hlm. 545
[11] Az-Zuhaili Wahbah, Tafsir Al-Munir Vol. 14 (Jakarta: Gema Insani, 2013). Hlm. 385











































