Mubadalah.id – Statemen Al-Qur’an tentang hak milik istri seperti tercatat dalam ayat di atas memang tampak sederhana. Tapi sesungguhnya dengan adanya pengakuan ini, al-Qur’an telah membuka peluang kepada para istri untuk memiliki akses ekonomi.
Dengan harta yang dimilikinya, istri boleh mentasharrufkan (mempergunakan dengan baik) harta itu sesuai dengan keinginannya. Apakah untuk modal usaha, untuk bersedekah, atau aktivitas sosial.
Dengan demikian, ketergantungan secara ekonomi kepada suami yang seringkali menjadi biang keladi terjadinya kekerasan, marginalisasi, dan subordinasi terhadap perempuan dalam rumah tangga dapat diminimalisir.
Meskipun hak milik pribadi perempuan mendapat jaminan dari al-Qur’an. Namun, bukan berarti bahwa Islam membuat garis pemisah yang tajam antara hak milik suami dan istri.
Dalam kerangka mu’asyarah bil ma’ruf dan ta’awun ala al-birri wa at-taqwa (tolong-menolong dalam kebaikan dan ketaqwaan). Maka istri yang memiliki kekayaan dan kemampuan ekonomi yang lebih harus membantu suaminya. Hal ini seperti apa yang Siti Khadijah lakukan kepada Nabi Muhammad SAW dan Zainab kepada suaminya, Ibnu Mas’ud.
Demikianlah hak milik pribadi itu Islam akui tanpa mengorbankan prinsip tolong-menolong antara suami istri.
Pengakuan hak milik pribadi bagi perempuan adalah wujud keadilan Islam yang memuliakan perempuan dan memberikan mereka kesempatan untuk berdaya secara ekonomi.
Dengan memiliki kemandirian finansial, perempuan dapat berkontribusi lebih besar bagi keluarga dan masyarakat, serta terhindar dari berbagai bentuk kekerasan dan penindasan. []








































