Mubadalah.id – Admin Media Sosial Mubadalah.id, Fitri Nurajizah menyampaikan bahwa dalam ajaran Islam, Nabi Muhammad Saw telah menunjukkan keberpihakannya dengan jelas terhadap perempuan. Salah satu buktinya adalah khutbah terakhir Nabi, untuk muliakan perempuan dan menghentikan kekerasan.
“Dalam khutbah terakhirnya, Nabi secara khusus berpesan agar umat Islam muliakan perempuan,” tegas Fitri, di aula Dinas Sosial Kabupaten Majalengka, pada Jumat, 5 Desember 2025.
Pesan ini, menurutnya, menjadi penegasan bahwa tidak boleh ada perilaku yang merendahkan perempuan dalam bentuk apa pun.
Maka, ketika ada laki-laki yang masih memperlakukan buruk pasangannya, atau merendahkan perempuan di sekitar mereka, pertanyaannya, apakah perilaku itu mengikuti ajaran Nabi, atau justru bertentangan?
“Siapa pun yang merendahkan perempuan sebenarnya sedang merendahkan nilai-nilai yang diajarkan Nabi. Dan dalam batas tertentu, itu bisa mendekati bentuk kemaksiatan,” kata Fitri.
Penegasan ini menggeser cara pandang banyak peserta. Kekerasan terhadap perempuan bukan hanya isu sosial, bukan hanya pelanggaran hukum, tetapi pelanggaran terhadap nilai inti keislaman.
Menegakkan Martabat Manusia
Fitri juga mengajak peserta melihat persoalan relasi laki-laki dan perempuan dalam kerangka yang lebih teologis.
Ia menegaskan bahwa Allah adalah Zat yang paling tinggi. Karena itu, manusia tidak boleh menundukkan diri secara total kepada manusia lain, baik laki-laki kepada perempuan, perempuan kepada laki-laki, atau jamaah kepada pemuka agama.
“Jika seseorang tunduk secara buta kepada manusia lain, itu bisa menjadi bentuk kemusyrikan kecil,” ujarnya.
Menurut Fitri, bahkan seorang ustaz atau tokoh agama tidak boleh menuntut ketaatan. Ketaatan mutlak hanya untuk Allah. Kepada sesama manusia, kita hanya mengikuti ajaran kebaikan, bukan menyembah atau menempatkan mereka pada posisi absolut.
Selain menjadi kritik terhadap budaya patriarki, pernyataan ini juga menjadi koreksi bagi relasi kuasa dalam komunitas keagamaan bahwa tidak ada ruang bagi dominasi yang menindas perempuan, bahkan atas nama agama.
Pengalaman Perempuan Tidak Bisa Dinilai dengan Standar Laki-Laki
Salah satu bagian penting dari pemaparannya adalah ajakan untuk memahami keadilan gender melalui kacamata pengalaman perempuan, bukan pengalaman laki-laki.
“Tidak bisa kita menilai keadilan bagi perempuan dengan menjadikan pengalaman laki-laki sebagai standar,” kata Fitri.
Ia menjelaskan bahwa perempuan memiliki pengalaman biologis yang tidak dialami laki-laki seperti menstruasi, kehamilan, melahirkan, menyusui. Semua proses itu membawa beban fisik, emosional, dan sosial yang tidak kecil.
Namun pengalaman biologis hanyalah satu lapis. Ada pengalaman sosial yang sejak lama melekat pada perempuan seperti marginalisasi, pembatasan ruang gerak, subordinasi, hingga beban ganda.
Sejak kecil, perempuan diajarkan untuk lebih berhati-hati: tidak boleh pulang terlalu malam, tidak boleh bermain terlalu jauh, harus menjaga diri. Sementara laki-laki mendapatkan ruang kebebasan yang lebih besar.
Dalam keluarga pun, bias terlihat jelas. Ketika seorang ibu hendak mengikuti kegiatan, ia kerap ditanya: “Anak dititipkan ke siapa?” Tetapi ketika laki-laki keluar hingga larut malam, pertanyaan yang sama hampir tidak pernah muncul.
“Banyak perempuan bekerja penuh waktu, tetapi tetap memikul pekerjaan rumah sebagai tanggung jawab utama. Ini tidak dialami laki-laki dalam porsi yang sama,” jelas Fitri.
Ragam Bentuk Kekerasan
Pengalaman kekerasan yang para perempuan alami juga berbeda-beda. Mulai dari kekerasan fisik, mental, psikis, hingga kontrol sosial yang membatasi pilihan dan kebebasan mereka.
Fitri menegaskan bahwa semua itu harus masuk dalam penilaian kita ketika membicarakan keadilan gender.
“Karena itu, ketika membahas keadilan, kita harus melihat pengalaman perempuan secara utuh. Baik secara biologis dan sosial,” katanya.
“Lalu bertanya: apakah perempuan sudah mendapatkan keadilan atau belum? Jika belum, perubahan apa yang harus kita lakukan?”
Ruang Belajar untuk Mengubah Cara Pandang
Rangkaian 16 HAKTP yang Jaringan Cirebon untuk Kemanusiaan gelar telah lama menjadi ruang refleksi di wilayah Cirebon dan sekitarnya.
Tahun ini, melalui paparan Fitri, peserta diajak menggali lebih dalam akar kekerasan, bukan hanya perilaku individual. Tetapi struktur sosial dan tafsir keagamaan yang kadang dibiarkan bias.
Dalam suasana diskusi itu, terlihat jelas harapan bahwa kegiatan seperti ini bukan sekadar rutinitas tahunan. Melainkan jalan panjang untuk menata ulang cara masyarakat memahami relasi antara laki-laki dan perempuan dengan berbasis nilai keadilan, kemanusiaan, dan prinsip yang Nabi tinggalkan.
Pesan Fitri menutup sesi tersebut “Jika kita benar mengikuti ajaran Nabi, maka muliakan perempuan bukanlah pilihan. Itu adalah kewajiban.” []








































