Mubadalah.id – Sebelum internet dan media sosial semasif saat ini, sejak kecil saya sudah suka menonton berita melalui televisi. Menunggu informasi terkini yang disajikan dalam program-program berita di layar kaca. Mulai dari Liputan 6, Seputar Indonesia, Sport7, Buletin Siang, dan lain sebagainya.
Kemudian di malam hari saya juga sering menyimak acara televisi On The Spot, yang menyajikan informasi dengan kemasan ringan dan unik. Dewasa ini saya menyadari, dulu saya selalu mengira bahwa berita adalah acara televisi yang menyajikan informasi objektif, aktual dan faktual. Seperti yang termuat dalam pelajaran Bahasa Indonesia semasa sekolah.
Kala itu dalam kepala saya penuh dengan pertanyaan “akan ada berita apa lagi ya di belahan dunia ini, terutama di Indonesia?” Hingga sampai pada pertanyaan “mengapa setiap hari headline berita selalu saja cepat berganti?” Namun, di titik ini saya belum merasa adanya banjir informasi. Belum terbesit sedikit pun dalam dalam pikiran saya bahwa berita yang disajikan di layar kaca adalah hasil proses sedemikian rupa dari berbagai pihak.
Banjir Informasi di Era Media Sosial
Kemudian saat ini ketika kita telah melewati era 3.0 yang identik dengan perkembangan internet, informasi dapat kita akses dari manapun dan kapanpun. Hanya dengan gawai yang bisa kita bawa kemana-mana, bahkan telah menjadi bagian dari hidup, kita bisa mendapatkan banyak sekali informasi.
Melalui berbagai arah, 24/7 tanpa jeda, bahkan tanpa adanya filter. Saking derasnya kita seperti terjejali informasi yang begitu banyak dan silih berganti. Mulai dari konten yang memuat berita terkini, gosip, hingga prank.
Banjir informasi ini tentu menjadi semacam racun ketika kita belum siap dengan arus yang begitu cepat ini. Pengalaman yang saya rasakan ketika melakukan scrolling di media sosial, secara fisik kepala terasa berat, lebih dari itu otak sulit sekali fokus dan terasa penuh.
Literasi digital yang seharusnya telah kita dapatkan sebelum gelombang ini terjadi, sayangnya hingga saat ini belum juga terpenuhi. Padahal literasi digital seharusnya menjadi pondasi untuk bekal kita menjadi digital native.
Dengan pemahaman tersebut kita tidak akan begitu saja menerima dan membagikan informasi sebelum melakukan checking lebih lanjut. Memastikan informasi tersebut valid atau hanya buatan media semata. Arus deras informasi ini menjadi tantangan kita untuk memilih dan memilah informasi.
Jangan-jangan informasi tersebut malah menjadi boomerang di kemudian hari. Karena semakin banyak mendapatkan berita dan informasi, maka semakin sulit pula menemukan “kebenaran” yang utuh.
Ramainya Suara Boikot Trans7
Termasuk banjirnya informasi adalah ketika beberapa hari lalu, bahkan hingga hari ini, media penuh dengan berita tentang gelombang boikot kepada Trans7 oleh santri-santri dan keluarga pesantren. Kala itu saya cukup terkejut ketika pagi hari mendapati media sosial saya penuh dengan konten tentang protes dan boikot Trans7.
Ketika berselancar lebih dalam saya baru menemukan bahwa gelombang tersebut berasal dari program Xpose Uncensored Trans7. Lebih spesifik lagi dalam tayangan yang berisi kritik terhadap pesantren dengan menggunakan judul yang provokatif dan menggiring opini negatif. Yakni, “Santrinya Minum Susu Saja Kudu Jongkok, Memang Gini Kehidupan Pondok?”.
Tentu saja judul ini cukup, bahkan sangat, menyentil warganet yang latar belakangnya adalah pesantren. Lebih lanjut tayangan ini berisi potongan-potongan video guru dan para santri yang dicomot begitu saja. Kemudian ditambah dengan voice over bernada julid ala konten gosip.
Tayangan ini berisi tiga kritik, beberapa juga berpendapat ini adalah bentuk framing negatif, terhadap budaya pesantren menggunakan satu sudut pandang saja. Antara lain tentang jalan jongkok yang mereka anggap sebagai manifestasi feodalisme, kemudian memberikan amplop kepada kiai yang membuat gaya hidup hedon. Lalu hal yang mereka tayangkan lagi adalah ketika santri melakukan pekerjaan rumah kiai tanpa bayaran.
Logika Media Televisi
Barangkali inilah gambaran berita yang tidak menelisik dan mencari data dari sumber yang lebih luas. Padahal budaya pesantren tidak sedangkal itu. Alih-alih memakai etika jurnalisme, kumpulan video comotan dalam tayangan Xpose Uncensored memperlihatkan bahwa media Trans7 membaca budaya pesantren secara sempit.
Saya menjadi ingat gagasan seorang teoritikus media Marshall McLuhan, yakni the medium is the massage. Artinya media membawa karakter atau logika dan cara kerja tertentu yang tidak dapat kita pisahkan dengan pesan yang disampaikannya.
Dalam konteks tayangan Xpose Uncensored, produser tentu mengikuti logika media televisi. Yakni mengemas tayangan dengan dramatis, baik secara visual maupun audio visual untuk menarik perhatian audiens. Sehingga format siaran turut membentuk “kebenaran” informasi. Media bukan hanya sebatas wadah netral, tetapi turut membentuk cara kita memahami realitas.
Reaksi Kalangan Pesantren dan Nahdlatul Ulama
Tidak perlu menunggu waktu lama, reaksi kalangan pesantren dan Nahdlatul Ulama langsung mengemuka di mana-mana. Media sosial kemudian penuh dengan konten yang menanggapi tayangan Xpose Uncensored. Terlebih salah satu potongan video yang digunakan adalah video Mbah Kiai Anwar Manshur, Mahaguru masyarakat pesantren dari Lirboyo.
Template Boikot Trans7 menyebar secara cepat setelah potongan tayangan Xpose Uncensored masuk ke media sosial. Ketua PBNU, Yahya Cholil Staquf menyatakan keberatannya secara resmi melalui Instagram @nuonline_id. Bahkan ia mengatakan bahwa itu adalah bentuk serangan terhadap nilai-nilai pesantren.
Tentu saja banyak beragam tanggapan, karena media sosial adalah ruang untuk berdialog para warganet. Beberapa ada yang menilai bahwa tayangan tersebut telah mencederai martabat pesantren. Boikot kemudian menjadi bentuk protes secara simbolik atas tayangan tersebut. Hingga hari ini sejumlah santri dan organisasi masih melaksanakan aksi.
Di samping itu ada pula warganet yang mengamini tayangan Xpose Uncensored. Melihat budaya pesantren dengan kacamata relasi kuasa yang tidak setara. Menghadirkan video yang memperlihatkan seorang gus (putra kiai) yang membagikan buah jeruk dengan cara melemparkannya, bahkan menendang seperti permainan sepak bola.
Hari Santri sebagai Momentum Refleksi
Sebagai seseorang yang pernah nyantri, hal ini tentu menjadi semacam pukulan menjelang peringatan satu dekade Hari Santri. Hari yang menjadi bentuk penghormatan atas perjuangan para ulama dan santri dalam menjaga kemerdekaan bangsa.
Namun, reaksi berlebihan dari beberapa masyarakat pesantren yang mengutamakan emosi membuat hati saya mencelos. Mereka tak segan melakukan segel di sana sini. Bahkan menyanyikan yel-yel dengan membawa diksi-diksi kasar. Bukankah aksi yang seperti ini secara tidak langsung malah merusak nilai-nilai pesantren dari dalam?
Barangkali, momen peringatan Hari Santri yang telah di depan mata sebaiknya menjadi ruang untuk kita semua berefleksi dan berbenah diri. Alih-alih hanya memunculkan terbakarnya emosi, lebih baik kita melakukan autokritik.
Di tengah banjir informasi negatif tentang pesantren inilah waktunya kita membangun counter narasi melalui media. Menunjukkan bahwa nilai-nilai yang ada di dalam pesantren lebih mengutamakan kebijaksanaan dan kehati-hatian.
Dengan begitu, Hari Santri ke-10 ini bukan hanya dimaknai sebagai peringatan dan perayaan semata. Tetapi sebagai momentum untuk memperkuat citra pesantren dari dalam, kemudian menegaskan pesan moralnya terhadap khalayak luas. []