Mubadalah.id – Perempuan adalah makhuk yang sangat rentan menjadi korban kekerasan seksual. Bagaimana cara mengatasi kekerasan terhadap perempuan dan anak?
Perempuan memang rawan menjadi korba kekerasan. Data Komnas Perempuan pada tahun 2021 mencatat kasus kekerasan terhadap perempuan sebanyak 338.496 kasus.
Menurut Komnas Perempuan, data tahun 2021 menjadi paling tertinggi dalam 10 tahun terakhir.
Dengan terus meningkatnya angka kekerasan terhadap perempuan, menegaskan bahwa masih belum banyak ruang yang aman bagi perempuan.
Perempuan masih terbelenggu dalam rantai kekerasan, pelecehan, diskriminasi, marjinalisasi dan ketidak adilan.
Bahkan saat menjadi korban kekerasan, perempuan justru akan disalahkan oleh keluarga, atau bahkan masyarakat.
Artinya, perempuan korban kekerasan kerap kali mendapatkan peminggiran berlapis dari lingkungan sekitarnya.
Oleh sebab itu, dalam menghadapi perempuan korban kekerasan, bisa melakukan empat hal di bawah untuk menghindari peminggiran perempuan korban kekerasan.
Bagaimana cara mengatasi kekerasan terhadap perempuan?
Empat hal ini, seperti dikutip dari buku Nalar Kritis Muslimah yang ditulis Nur Rofiah bisa digunakan dalam menghadapi perempuan korban kekerasan dalam perspektif perempuan.
1. Mendengar suara korban. Hindari asumsi, juga pra-asumsi negatif pada perempuan. Langkah ini menjadi sangat penting, khususnya ketika masyarakat masih menjadikan kekerasan, terutama kekerasan seksual sebagai candaan.
Syarat laki-laki untuk menjadi saksi dalam kasus pidana semakin menyulitkan perempuan korban kekerasan untuk menjadi saksi korban.
2. Mendengar bentuk keadilan yang diharapkan korban. Kita sering ingin melindungi korban tapi lagi-lagi dengan asumsi kita sendiri yang seringkali justru memberatkan korban.
Suara korban penting didengarkan. Tentu saja bukan dalam makna abaikan suara lainnya. Dengarkan suara pihak lain, tapi jangan lupa dengarkan dan pertimbangkan suara korban.
3. Mewaspadai tafsir bias gender yang ada. Penulis memiliki keyakinan bahwa al-Qur’an secara objektif atau sebagai dirinya adalah kitab suci yang sangat adil termasuk pada perempuan.
Karena al-Qur’an adalah firman Dzat Yang Maha Adil. Sementara tafsir adalah pemahaman manusia atas al-Qur’an.
Mereka tak satu pun Maha Adil. Maka, al-Qur’an yang pasti adil belum tentu ditafsirkan dengan cara yang adil.
Ayat tentang pemukulan istri, misalnya, bisa dimaknai dengan dua cara: pembolehan (bahkan perintah) memukul istri, atau sebaliknya, yaitu larangan main pukul istri sehingga diberi cara lain, yaitu nasihat dan pisah ranjang, plus Hadis bahwa Rasul Saw. tidak pernah memukul istrinya dan Hadis yang melarang memukul perempuan.
Seperti ayat tentang perbudakan yang mungkin ditafsirkan dengan dua cara berbeda: membolehkan (tekstual), dan sebaliknya, yaitu melarang keras (substansial).
4. Mewaspadai tradisi yang bias gender. Tradisi bisa jadi sudah ada sebelum ajaran agama sampai. Tidak sedikit orang santai meninggalkan kewajiban agama, tapi meninggalkan tradisi lebih takut. Lebih-lebih melanggar tradisi berbalut tafsir agama.
Dengan empat hal di atas setidaknya menjadi jalan bagi kita yang sedang menanangi perempuan korban kekerasan.
Sehingga para perempuan korban kekerasan bisa bangkit dan mempunyai kekuatan untuk menjalani kehidupan yang lebih cerah. []