Mubadalah.id – Pesantren didirikan memiliki rangka untuk mendidik, melatih, dan menanamkan nilai-nilai luhur (akhlakul karimah) kepada para santri.
Hal itu, menurut KH. Husein Muhammad dalam buku Islam Tradisional yang Terus Bergerak pesantren bertujuan untuk melatih dan mendidik para santri untuk hidup sederhana, ikhlas, mandiri, bertoleransi, menerima keberagaman dan lain-lain.
Atas dasar tujuan seperti di atas, tentu saja, pesantren sebagai lembaga pendidikan agama Islam memiliki proses pembelajaran yang berbeda dengan lembaga pendidikan lainnya.
Dalam proses pembelajaran di pesantren mungkin kita mengenal dengan istilah halaqah (lingkaran), yaitu suatu forum di mana para santri duduk melingkar sambil membawa kitab pelajaran, sedangkan kiai berada di tengah-tengah mereka. Metode pengajarannya mengambil bentuk-bentuk bandongan, sorogan, dan hafalan.
Bandongan adalah istilah bagi metode pengajaran dengan guru (kiai) membaca, mendiktekan makna-makna kitab secara harfiah.
Kemudian menjelaskan isinya secara luas, sedangkan para santri mendengarkannya, membuat catatan, baik makna kata-kata maupun penjelasan kiai.
Sedangkan sorogan adalah metode pengajaran dengan santri membaca kitab di hadapan guru (kiai). Sedangkan guru mendengarkan, memberikan koreksi jika terjadi kesalahan, dan menanyakan maksudnya.
Metode Musyawarah dan Munazharah
Di samping ketiga metode ini, Buya Husein Muhammad juga menjelaskan bahwa ada juga metode diskusi yang dalam istilah pesantren mengenalnya dengan musyawarah atau munazharah.
Metode ini, hampir semua pesantren menyelenggarakannya, terutama di pesantren-pesantren besar, yakni pesantren yang telah memiliki jumlah santri yang banyak dan mata pelajaran yang tinggi.
Metode munazharah (diskusi) pada umumnya terselenggara antara para santri sendiri, bukan antara kiai dan santri.
Kiai dalam hal ini, kata Buya Husein, berperan sebagai pengawas, pengarah, dan rujukan (marji) paling akhir apabila semua persoalan menjadi buntu atau sulit memahaminya.
Perdebatan santri terhadap kiai jarang terjadi, bahkan cara semacam ini menyebutnya sebagai kurang sopan (su-ul adab).
Terlepas dari kemungkinan terdapat kelemahan pada dua metode yang pertama, yakni bandongan dan sorogan. Namun cara ini dipandang sangat memungkinkan bagi kiai untuk dapat menilai dan membimbing secara langsung kemampuan personal para santri.
Lebih dari itu, melalui metode yang bersifat individual ini, sang kiai dapat mengenal dari dekat pribadi santrinya.
Mengenai metode hafalan, sering dikuatkan oleh adagium al-hafizh hujjah ‘alaa man laa yahfazh (orang yang hafal adalah argumen bagi yang tidak hafal).
Oleh karena itu, kita melihat banyak santri yang hafal beberapa kitab kuning. Terutama yang sudah dalam bentuk syair, seperti Amrithi, Awamil, Alfiyah Ibnu Malik (dalam gramatika Arab). Lalu, matan Az-Zubad (fiqh Mazhab Syaffi), Al-Jauharul Maknun (sastra Arab), Nazham Waraqat (ushul fiqh), dan lain-lain.
Pada kesempatan lain, acap kali para kiai menyatakan, “wa jami’ul fahm maaal hifzhu yafi” (gabungkan pemahaman dan hafalan, niscaya cukup). (Rul)