Mubadalah.id – Amina Wadud, tokoh perempuan ulama ini, mengambil langkah kontroversial saat ia menjadi imam shalat bagi makmum laki-laki dan perempuan.
Peristiwa ini terjadi pada 2005. Ia menjadi imam shalat Jum’at di sebuah bangunan Gereja Anglikan, New York. Shalat tersebut diikuti lebih dari seratus pria dan wanita. Ia menjadi khatib sekaligus imam.
Akibatnya, ia mendapatkan stigma buruk. Ia caci-maki, disumpah-serapahi dan dikutuk oleh banyak pihak di seluruh dunia. Karakter Amina dibunuh. Namun, ia tetap berjalan membela temuan ilmiahnya.
Ketua Dewan Fatwa Eropa dan Ketua Persatuan Ulama Sedunia, Syekh Yusuf al-Qaradhawi, mengecam tindakan Amina Wadud tersebut. Bahkan, ia menganggap tindakan tersebut sebagai suatu penyimpangan dalam agama. Sementara itu, di Indonesia, Sidang Komisi C Bidang Fatwa MUI akhirnya mengeluarkan fatwa mengenai hal tersebut. Bunyi fatwanya ialah:
“Dengan bertawakkal kepada Allah Swt., MUI memutuskan bahwa wanita menjadi imam shalat berjamaah yang di antara makmumnya terdapat orang laki-laki, hukumnya haram dan tidak sah. Adapun wanita yang menjadi imam shalat berjamaah yang makmumnya wanita, hukumnya mubah.” Fatwa ini mereka tetapkan di Jakarta pada 21 Jumadil Akhir 1426 H atau bertepatan dengan 28 Juli 2005 M.
Amina Wadud bukan tanpa argumen keagamaan ketika mengambil langkah menjadi imam shalat tersebut, sebagaimana mereka tuduh dan mengecamnya.
Kemudian, ia mengambil dasar legitimasi hadits Ummi Waraqah yang ia pandang memiliki tingkat validitas yang lebih kuat daripada hadits yang melarangnya. Kualitas individulah yang menjadi ukuran seseorang menjadi pemimpin, bukan jenis kelamin.
Amina Wadud telah berkali-kali datang dan tinggal untuk beberapa waktu Indonesia untuk memberikan kuliah di berbagai universitas dan komunitas-komunitas intelektual di Indonesia. Saya beberapa kali bersamanya dalam seminar nasional maupun internasional.
Bahkan, ia pernah menemui saya di Fahmina Institute, dan kami juga menyampaikan ceramah bersama di Pondok Pesantren Kebon Jambu, Babakan Ciwaringan, Cirebon. Lebih dari itu, ia bersama Dr. Farid Esack, seorang intelektual terkemuka dari Afrika Selatan, berkesempatan menghadiri pemberian anugerah Doktor Honoris Causa kepada saya, dari Universitas Islam Negeri Walisanga, Semarang, Jawa Tengah, pada 2019 yang lalu. []