“Pas umur 21, itung-itung udah 100. (Gue) bukan ganteng, gue selalu bilang, orang ganteng selalu kalah sama orang lucu. Mungkin karena kenyamanan di atas segalanya. Semua dalam konteks mau sama mau, itu penting,” terang Gofar Hilman, saat ditanya mengenai kisah hubungannya dengan banyak perempuan dalam channel YouTube Loriana Armanasco.
Mubadalah.id – Alih-alih malu karena aibnya meniduri banyak wanita terbongkar, Gofar Hilman saat wawancara justru menjawab dengan nada ringan dan bangga meski ia telah berkali-kali berhubungan badan tanpa ikatan pernikahan.
Pengakuan blak-blakan mantan penyiar radio tersebut tentu menambah catatan negatif dirinya usai ia dilaporkan seorang perempuan yang menyampaikan cerita kelamnya ketika menjadi korban pelecehan seksual Gofar Hilman tiga tahun lalu di Malang.
Terlepas dari klarifikasi Gofar Hilman yang menyatakan bahwa ia tak bersalah, cara pandangnya mengenai kejantanan lewat jokes-jokes seksis yang ia lontarkan, memperlihatkan bagaimana mitos maskulinitas telah menjadi suatu kepercayaan yang salah kaprah dan tak bisa dibenarkan.
Tabu Seks dan Maskulinitas Salah Kaprah
Data dari Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) menunjukkan aktivitas seks usia remaja dan muda menunjukkan angka yang tinggi dalam beberapa tahun terakhir. Secara empiris pun, ketika laki-laki sedang berpacaran, ada saja sahutan iseng yang bertanya, “udah ngapain aja?” Atau pun dalam kondisi nongkrong santai, topik mengenai pengalaman melepas keperjakaan, bahkan berbagi video porno sudah menjadi hal umum yang tak dilakukan secara malu-malu.
Bagi yang ‘lurus-lurus’ saja seperti tak berani berpegang tangan dan berpelukan, akan segera dilekatkan dengan label “cupu” dan dimotivasi untuk mendapatkan pengalaman seksual sebelum menikah. Dalam kasus lain, anak muda yang berpacaran tak jarang didesak untuk buru-buru naik pelaminan dengan alasan menghindari zina, tanpa ada edukasi yang mumpuni dari orang tua maupun tenaga pendidik di lingkungan kampus/sekolah. Hal ini kemudian berefek domino pada pelanggengan budaya pemerkosaan dan nikah dini yang marak terjadi di lingkungan sekitar kita.
Terlebih sebagian besar anak muda kini mengetahui informasi mengenai seksualitas bukan dari institusi yang mendidik, melainkan dari industri pornografi. Padahal konten pornografi yang beredar di pasaran, bukanlah suatu pengalaman seksualitas yang nyata, melainkan hanya narasi palsu yang berorientasi rating dan profit semata. Yang lebih miris, seks digambarkan sebagai bentuk ‘agresi’ pria kepada wanita.
Tak jarang, dalam banyak film baik genre porno atau bukan, misalnya dalam karakter James Bond, stigma pria sejati dilekatkan dari seberapa banyak perempuan yang mau berhubungan intim dengannya. Kejantanan si pria bahkan dipertanyakan bila perempuan tak mau takluk serta lebih memilih ‘jual mahal’. Lantas jika pihak laki-laki masih kesulitan mendapatkan cinta perempuan, adegan pemaksaan seperti melalui pembiusan dan mabuk-mabukkan kerap diperagakan secara gamblang.
Dan disadari atau tidak, imajinasi yang dipertontonkan dalam banyak film tadi kemudian dianut oleh sebagian kaum Adam. Dengan terbatasnya edukasi seks yang ada, referensi film atau seri drama kemudian menjadi patokan bagaimana laki-laki memandang perempuan. Tak heran, dalam banyak diskusi terkait pelecehan seksual, sevalid apapun fakta yang korban sampaikan, masih saja ada suara sumbang yang memaklumi tingkah polah bejat si pelaku. Apalagi jika pelaku merupakan seorang tokoh publik, jangankan memberikan bantuan advokasi pada korban, yang acap terjadi, justru korban disalah-salahkan dan pelaku dibela habis-habisan.
Hal itu terlihat sekali dalam gambaran kasus Gofar Hilman. Bahkan akun sarkas sepakbola seperti @MafiaWasit turut memperkeruh suasana dengan membandingkan kasus Gofar Hilman dengan sikap Simon Kjaer kepada istri Christian Eriksen, pemain Denmark yang sempat kolaps saat laga melawan Finlandia dalam kompetisi Euro 2020. Selain tidak relevan, konteks yang diangkat pun amat jauh berbeda. Simon berusaha menenangkan pasangan Christian yang secara mendadak tak sadarkan diri di lapangan. Sedangkan Gofar Hilman dilaporkan telah sengaja melecehkan perempuan dalam kondisi mabuk.
Postingan semacam ini memperlihatkan bagaimana budaya pemerkosaan masih langgeng berkembang dan bahkan dengan entengnya dijadikan bahan guyonan. Dari sini, saya semakin menyadari bahwa perspektif racun yang melihat maskulinitas dari kemampuan laki-laki menghamili perempuan juga mendorong minimnya empati kepada para korban.
Tentu, kondisi tersebut kian memojokkan posisi perempuan dalam tindak pelecehan seksual. Ibarat sudah jatuh, tertimpa tangga pula. Belum selesai dengan trauma pelecehan, para korban pun dibayang-bayangi tuduhan tak mengenakkan apabila ia memilih untuk melaporkan. Sehingga, dalam berbagai kasus laporan pelecehan, para korban yang memilih spill the tea harus menunggu beberapa waktu untuk akhirnya memutuskan dan berbagi kisah yang ia rasakan. Bukan karena mereka berbohong atau cari-cari alasan, tapi karena berjuang untuk bangkit dari keterpurukan tidaklah semudah membalikkan tangan.
Oleh karenanya selain edukasi gender sejak dini dari orangtua dan institusi pendidikan, kita juga perlu gencar meluruskan persepsi maskulinitas salah kaprah yang diyakini banyak kaum Adam. Simbol kejantanan yang ditandai dengan badan besar dan banyaknya wanita ditaklukkan itu adalah tradisi Jahiliyah yang menyesatkan.
Lagian, jika diasosiasikan dengan daya kekuatan, apakah logikanya tidak jalan karena mayoritas laki-laki malah menjadi lelah dan mengantuk setelah berhubungan? Bukankah yang perlu diapresiasi itu seorang laki-laki yang bisa membangun relasi kesalingan untuk membahagiakan pasangan? Sebab praktiknya tidak banyak yang mau berjuang, inginnya hanya lepas tangan saja. []