Mubadalah.id – Pidato Prabowo Subianto pada perayaan Hari Guru Nasional 2025 berlangsung megah panggung gemerlapnya bahkan serasa konser musik besar. Namun bagi saya, suasana meriah itu terasa kontras dengan kondisi yang saya alami langsung di Aceh pada hari yang sama.
Saat itu saya berada di Banda Aceh. Listrik padam berjam-jam, sinyal hilang, hujan turun tanpa henti, dan gempa mengguncang kawasan tersebut. Sebagai orang Jawa yang jarang sekali terdampak gempa, saya bingung dan sempat tidak bisa tidur. Sementara di Aceh Utara dan sebagian Sumatera, banjir bandang dan longsor terjadi dalam skala lebih besar.
Di tengah situasi seperti itu, Prabowo menyampaikan imbauan bahwa guru diminta memasukkan pelajaran “kesadaran menjaga hutan” ke dalam silabus.
Masak iya, guru sebanyak itu gak ada yang nyahut “Hutannya yang Mana, Pak?”
Imbauan Prabowo terdengar bagus, bila kita tutup mata.
Dari hasil pemantauan Kementerian Kehutanan Republik Indonesia, luas lahan berhutan Indonesia pada tahun 2024 mencapai 95,5 juta hektar. Sementara itu, angka deforestasi tercatat sebesar 175,4 ribu hektar, setara lebih dari dua kali luas Kota Jakarta. Itu yang terpantau, berapa hektar yang luput dari pantauan?
Ketika melihat banyaknya kayu gelondongan pasca banjir bandang dan longsor di Sumatra dan Aceh, kita semua tahu bahwa kayu-kayu itu tidak serta-merta hanyut begitu saja. Ada jejak penebangan ilegal yang sulit terbantah, meskipun Kemenhut bersikukuh menyatakan bahwa kayu tersebut berasal dari tumbang alami, bukan pembalakan liar.
Faktanya, jaringan pembalakan liar skala besar dari Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, terungkap hingga ke kabupaten saya, Gresik. Pengungkapan praktik ilegal yang terorganisir ini berlangsung sejak 11 Oktober 2025 dan menyeret Direktur Utama PT BRN sebagai tersangka. Potensi kerugian negara mencapai Rp1.443.468.404,00. Namun, yang jauh lebih besar adalah kerugian ekologis tanah dan hutan Sumatra yang kembali menjadi korban rakusnya eksploitasi.
Bagaimana guru diminta mengajarkan cinta hutan, kalau hutan yang seharusnya kita cintai justru lenyap?
Bagaimana kesadaran itu kita tanamkan, sementara kebijakan yang berdampak pada alam sering bergerak ke arah sebaliknya?
Panduan Pendidikan Iklim Sudah Ada
Yang lebih ironis, pendidikan lingkungan sebenarnya sudah dimasukkan dalam Kurikulum Merdeka melalui Panduan Pendidikan Perubahan Iklim tahun 2024.
Saya termasuk guru yang sangat senang ketika dokumen ini rilis. Panduannya lengkap, strateginya jelas, hanya perlu menyesuaikan dengan lingkungan. Namun di lapangan, tidak seperti yang saya bayangkan. Tidak ada anggaran untuk mendukung implementasi, tidak ada pendampingan berkelanjutan untuk guru, tidak ada pelatihan, tidak ada waktu luang untuk guru mengajarkan perubahan iklim kepada murid.
Kebijakan menjaga hutan ada, tetapi implementasinya nol.
Ditambah lagi, pelatihan guru makin eksklusif dan berbayar sehingga aksesnya tidak merata.
Tambah Sawit, Jangan Takut Deforestasi!
Pada 30 Desember 2024, Prabowo pernah mengatakan agar perluasan sawit ditingkatkan dan jangan takut pada isu deforestasi. Pernyataan ini jelas berseberangan dengan ajakan menjaga hutan. Mari bersama ajarkan anak pada bahayanya deforestasi!
Deforestasi adalah hilangnya hutan secara permanen akibat aktivitas manusia, terutama pembukaan lahan industri, pertambangan, dan perkebunan skala besar. Hutan yang hilang tidak pulih kembali ke kondisi ekologis asalnya. Dampaknya panjang: banjir, longsor, kekeringan, hilangnya keanekaragaman hayati, dan rusaknya sumber air.
Deforestasi bukan sekadar kehilangan pohon. Kita kehilangan sistem penyangga kehidupan. Sesimpel itu, tapi presiden kita tidak paham. Bagaimana bisa guru diminta mengajarkan “jaga hutan,” jika pada saat yang sama kebijakan justru membuka peluang kerusakan baru?
Kerusakan di Bumi Adalah Akibat Ulah Manusia
Menjaga hutan dan alam bukan pilihan, itu Amanah! Al-Qur’an dengan tegas mengingatkan:
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh perbuatan tangan manusia.”
(QS. Ar-Rūm: 41)
Kerusakan lingkungan bukan misteri. Kerusakan lingkungan adalah konsekuensi.
Islam menempatkan manusia sebagai khalifah, penjaga bumi, bukan perusaknya. Maka ajaran menjaga alam tidak berhenti di ruang kelas, tetapi pada tindakan nyata semua pihak, terutama yang punya kuasa mengatur arah negara.
Meski situasi terlihat rumit, pendidikan tetap menjadi ruang harapan. Karena pendidikan membentuk cara berpikir generasi baru. Dari sekolah, anak belajar mengenali alam sebagai amanah, bukan komoditas. Selain itu, guru adalah agen perubahan yang paling dekat dengan masyarakat, dan pengetahuan kritis dapat menjadi tekanan moral bagi pembuat kebijakan.
Namun pendidikan tidak bisa berjalan sendiri, pendidikan tidak bisa tertunggangi oleh pemangku kebijakan yang nihil empati. Pendidikan butuh kebijakan yang selaras, dukungan anggaran, dan keteladanan dari pemimpin.
Kesadaran menjaga alam tidak bisa hanya dibebankan pada guru dan murid. Kesadaran itu harus kita mulai dari mereka yang memiliki kuasa membuat keputusan. []










































