Mubadalah.id – Di antara gegap gempita perayaan Hari Santri yang jatuh setiap 22 Oktober, ada satu hal yang masih menjadi ganjalan hingga hari ini. Yakni tentang minimnya kehadiran perempuan di ruang-ruang pergulatan intelektualisme santri, pesantren, Kiai dan Ibu Nyai.
Terutama menelisik sejarah keilmuan pesantren negeri ini, atau tak usah jauh-jauh ke tahun-tahun yang lampau. Dalam pengalaman kehidupan nyantri yang pernah saya jalani, sedikit sekali santri, Ibu Nyai atau perempuan ulama yang mengajar dan mengarang kitab kuning.
Namun hal mengejutkan saya temui ketika membaca buku Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat karangan Martin van Bruinessen. Di mana dalam buku tersebut terungkap satu fakta bahwa di antara kitab kuning yang dibaca di Indonesia terdapat satu karangan seorang perempuan ulama Melayu.
Akan tetapi tidak banyak pembaca yang menyadari hal itu. Sebuah kitab yang belakangan atas nama seorang laki-laki, yakni pamannya sendiri. Kitab ini terkenal dengan judul “Parukunan Jamaluddin”. Kitabnya sederhana saja. Parukunan berarti uraian dasar mengenai rukun Islam dan rukun iman, dan ini merupakan salah satu yang paling populer di antara kitab-kitab sejenis, serta sering tercetak kembali.
Tertulis di halaman pertama bahwa kitab ini adalah “Karangan bagi al ‘alim al-‘allamah Mufti Jamaluddin ibn al-marhum al-‘alim al-fadhil al-Syaikh Muhammad Arsyad Al-Banjari”. Jamaluddin putra Arsyad Al-Banjari yang terkenal itu memang seorang laki-laki yang berpengaruh. Ulama yang paling terkemuka di Kalimantan Selatan pada zamannya.
Fatimah, Perempuan Ulama Pengarang Kitab Kuning
Tetapi tradisi setempat mengingatkan bukan ia yang mengarang kitab parukunan tersebut, melainkan seorang keponakan perempuannya, yaitu Fatimah, yang lahir dari perkawinan putri Syekh Arsyad, Syarifah dengan Abdul Wahab Bugis. Kurang jelas mengapa Jamaluddin mengatasnamakan karangan ini.
Dalam dunia kitab kuning memang tidak ada copyright (hak cipta), dan menyalin tulisan orang lain tanpa kreditasi sudah menjadi kebiasaan. Namun dalam hal ini kita merasa bahwa identitas pengarang yang sebenarnya dengan sengaja disembunyikan sesuai dengan anggapan yang sudah mapan bahwa mengarang kitab merupakan pekerjaan laki-laki.
Kalau kita menggali lebih dalam ke buku-buku sejarah, tidak mustahil kita akan menemukan perempuan lain yang menguasai ilmu-ilmu agama dan telah menulis kitab. Dan tak usah heran kalau sumbangan mereka ternyata diingkari dan diboikot.
Isi Kitab Parukunan Jamaluddin
Sementara itu dari segi isi kitab Parukunan Jamaluddin tak jauh berbeda dari kitab sejenis lainnya. Fatimah pastilah seorang feminis yang dengan sengaja menulis kitab fikih alternatif. Kitabnya sangat sederhana dan hanya menguraikan beberapa ajaran pokok berhubungan dengan salat, puasa dan cara mengurus jenazah.
Namun pengarang tidak meletakkan perempuan pada posisi lebih rendah atau kurang suci daripada laki-laki. Ia menghindari dari perkara yang sangat membedakan antara kedua jenis kelamin. Seperti aqiqah, warisan atau kesaksian.
Ketika ia membicarakan haid dan mandi sesudah haid, tidak ada kesan seolah-olah perempuan dalam haid adalah kotor. Ia tidak memakai istilah seperti “bersuci” yang secara tersirat menyatakan perempuan dalam haid tidak “suci”. Secara lebih netral ia menuliskan bahwa ada lima perkara yang mewajibkan mandi. Yakni mati, dan janabah (persetubuhan). Tidak ada uraian panjang tentang hal-hal yang dilarang perempuan pada masa haid.
Melalui kisah seorang perempuan ulama pengarang kitab kuning ini, menjadi refleksi bersama di momentum Hari Santri Nasional. Bahwa masih banyak PR yang harus kita lakukan untuk membincang isu kesetaraan dan keadilan dalam dunia pesantren.
Tidak hanya bagaimana kita memberi akses dan ruang aman bagi santri perempuan. Tetapi juga menguatkan otoritas pengetahuan mereka. Sesuai dengan tema Hari Santri tahun ini, yakni menjadi santri yang “berdaya menjaga martabat kemanusiaan”. Selamat Hari Santri Nasional 2022! []