Mubadalah.id – “Malam mau melahirkan, sorenya dia masih kerja,” ungkap Azyumardi Azra dalam buku Cerita Azra: Biografi Cendekiawan Muslim Azyumardi Azra yang dianggit Andina Dwifatma. Ungkapan tersebut ia sampaikan untuk memuji kegigihan kisah istrinya Ipah Fariha. Di mana ketika Azra menyelesaikan pendidikan di Universitas Colombia, Amerika Serikat, turut bekerja membantu keuangan keluarga yang tak cukup hanya ia biayai dengan beasiswa.
Cerita di atas hanya satu dari rangkaian kisah getir kehidupan keluarga Azra, khususnya Ipah Fariha semasa merantau ke Amerika. Berpindah-pindah menyewa rumah, menjadi pengasuh anak, hampir semua perempuan Banten ini lakoni. Semata agar ia dapat bertahan hidup mendampingi suami dan anak-anak mereka di Amerika.
Cerita lain hadir dari kisah Istri Ahmad Syafi’i Ma’arif (Buya Syafi’i) sebagaimana ia tuturkan sendiri dalam Memoar Seorang Anak Kampung. Nurkhalifah, atau Lip, sebagaimana ia biasa dipanggil, berangkat menyusul Syafi’i Ma’arif ke Amerika pada 1979 melewati Jakarta, Hongkong hingga Chicago tanpa bekal bahasa Inggris.
Praktis, tutur Ma’arif, Istri dan anaknya yang waktu itu berumur kurang dari 5 tahun, berangkat dengan bantuan bahasa Isyarat. Setali tiga uang dengan istri Pak Azra, Ibu Lip juga nyambi bekerja di berbagai keluarga Amerika sebagai baby sitter untuk menopang penghasilan keluarga. Dari hasil bekerja ini, gaji Lip sungguh jauh lebih tinggi jika dibanding beasiswa yang diterima Ma’arif dari universitas.
Kisah Para Istri yang Sepi dari Penulisan
Kedua lakon kisah istri para raksasa (Towering Figures) Islam Indonesia di atas menunjukkan peranan mereka yang tak sedikit dalam menyokong senarai kehidupan orang-orang. Di mana yang kita nilai berjasa bagi bangsa dan kehidupan beragama di Indonesia. Namun, ibarat peran sutradara, tak jarang kisah-kisah mereka hanya sekunder dari cerita utama. Sekadar pemanis dari biografi para tokoh yang kita anggap seolah berdiri sendiri dengan kokoh, tanpa ada orang lain yang berjasa penuh di belakang mereka.
Cerita-cerita peranan para istri menjadi pendamping yang mengorbankan segalanya. Pendidikan, karir, waktu dan kesejahteraan mereka bagi para suami. Menjadi sangat penting kita angkat sebagai narasi baru dalam melihat perkembangan biografi intelektual orang-orang berpengaruh di dunia, Indonesia khususnya.
Dalam mengarungi susah senang kehidupan itu, terkadang mereka berfungsi sebagai penentu yang menjadi solusi dari tantangan yang suami mereka hadapi selama menempuh pendidikan. Tak jarang juga, para suami yang ‘melanggar’ aturan-aturan perumah-tangga-an, di-omeli guna mewujudkan keseimbangan berumah tangga di tanah orang.
Peran Istri Menentukan Masa Depan
Dalam konteks ini, dua riwayat berikut menarik menjadi pelajaran. Omi Komariah, istri Nurcholish Madjid (Cak Nur), pernah ikut mendampingi Cak Nur sewaktu melobi Universitas Chicago agar diizinkan pindah jurusan. Dalam Api Islam; Nurcholish Madjid, Jalan Hidup Seorang Visioner, Ahmad Gaus AF bercerita bahwa sebelum berada di bawah bimbingan Fazlur Rahman, -pemikir Islam asal Pakistan yang terkenal- Cak Nur sebenarnya mengambil jurusan Ilmu politik.
Namun karena berbagai pertimbangan, ia berpindah dari Departemen Ilmu Politik ke filsafat dan Pemikiran Islam. Nah, dalam proses perpindahan jurusan inilah peran Ibu Omi menentukan jalan hidup ‘lokomotif pembaruan Islam Indonesia’ tersebut.
Jadilah Cak Nur menemui pihak universitas bersama istrinya. Tentu saja, permintaan pindah jurusan mereka tolak. Merasa mentok, Cak Nur kemudian menyenggol istrinya itu agar ikut berbicara meyakinkan universitas. Alhasil, dalam waktu singkat universitas menyetujui perpindahan tersebut. Kita tak bisa membayangkan Cak Nur yang melegenda sebagai tokoh Islam jika urusan pindah jurusan ini tak melibatkan Ibu Omi.
Ada lagi cerita agak ‘kocak’ dari Ibu Shinta Nuriyah Wahid, istri kinasih Gus Dur. Sebagaimana dituturkan kembali oleh Fachry Ali melalui Martin van Bruinessen Buka Rahasia Gus Dur di Depan Bu Sinta Nuriyah yang tayang di alif.id. Gus Dur yang ‘melanggar’ pantangan untuk tidak makan banyak di luar rumah. Gus Dur hanya diam saja ketika diomeli Ibu Shinta. Fakta ini disaksikan pula oleh Martin Bruinessen, Herbert Feith dan Fachly Ali. Peran sentral Ibu Shinta menjaga kesehatan suaminya, kita tahu, bahkan sampai mengabaikan kesehatannya sendiri.
Istri Penopang Ekonomi Keluarga
Dari sejumlah cerita di atas, ada juga riwayat yang tak kurang menyayat hati. Misalnya, karena Kyai Wahid Hasyim sering tak ada di rumah, Nyai Sholihah Munawwaroh, sang istri, menghadapi banyak kesulitan guna menopang kebutuhan keluarga.
Karenanya, menurut Greg Barton dalam GUS DUR; The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid, Ibunda dari presiden ke-4 Indonesia ini harus berjualan kue dan permen di depan rumahnya. Kisah yang sama juga dapat kita temukan dari keluarga Amien Rais, pemimpin Muhammadiyah jelang akhir Orde Baru.
Mengutip dari Djoko Susilo dan Masyhud SM dalam kumpulan tulisan Sikap Kami (1999), Kusnasriyati Sri Rahayu, istri Pak Amien, tidak malu membuka dan berjualan ‘warung Solo’ di seberang rumahnya di Yogyakarta. Padahal, waktu itu nama Amien Rais sudah cukup melejit di kancah perpolitikan nasional.
Harus kita akui bahwa terlalu banyak kisah-kisah seperti ini yang tak kita angkat ke permukaan. Kumpulan kisah yang jika secara jujur kita akui, dapat berdiri sendiri menjadi sebuah biografi Independen. Tentu bakal tak kalah populer dan menginspirasi banyak orang jika saja kita tekuni. Hal ini sebagai bagian dari upaya mengimbangi timpangnya arus informasi peran laki-laki dan perempuan dalam ruang publik dan privat.
Selain itu, kisah-kisah mereka dapat menjadi pembelajaran bagaimana relasi resiprokal hanya dapat terjadi jika interaksi kekeluargaan terbangun atas dasar kemitraan yang mempertimbangkan kompromi, dialog dan saling menopang bahu masing-masing.
Istri yang Menulis Kisahnya Sendiri
Tentu saja, ada di antara para ‘pendamping’ ini ada yang berhasil menulis kisah mereka sendiri. Salah satunya, walaupun serba minim, seperti Ibu Zahara lakukan. Ia adalah istri Deliar Noer, salah satu tokoh politik Islam Indonesia abad yang lalu.
Zahara menulis Perempuan, Catatan Sepanjang Jalan yang berkisah tentang jalan hidup dan perjuangannya ‘sendiri.’ Mungkin karena peran besar sang Istri itulah, Deliar Noer mempersembahkan satu bab khusus “Istriku Zahara” dalam otobiografinya, 80 Tahun Deliar Noer, yang terbit 2007 lalu.
Sayang sekali tulisan ini tak mampu memuat banyak kisah lain yang menarik. Namun patut kita catat, tulisan ini dipetik dari berbagai review atas baris-baris paragraf singkat biografi para tokoh utama. Semata-mata saya ingin menegaskan kembali. Bahwa di balik orang-orang besar yang kita baca dan dengar kisahnya, terdapat para pendamping. Mereka yang tak kenal lelah mengorbankan segala hal, yang mungkin dapat mereka miliki untuk mendukung suami mereka.
Kisah-kisah istri yang seringkali hanya berada di pinggiran narasi besar para tokoh, menjadi sekadar catatan kaki, atau hanya berada dalam satu-dua halaman biografi sang lakon utama, menurut saya perlu kita bangkitan menjadi satu kesatuan narasi utuh tentang perjuangan dan kegigihan tak kenal lelah. Bukan tak mungkin, dalam masa-masa pelik kehidupan sebuah keluarga, di pundak merekalah cita-cita dan harapan para tokoh itu sepenuhnya kita gantungkan.
Karena itu, apresiasi yang lebih utuh dan komprehensif untuk memahami sepak terjang mereka, sudah sepantasnya kita tulis dan kita gaungkan kembali. Misalnya sebagai sebuah biografi yang benar-benar utuh. Jika ini dapat kita lakukan, maka kita tidak hanya akan menulis kisah para ‘pendamping’ lagi. Namun Kisah Istri Para Pendamping ‘Raksasa’ itu sendiri. []