Pada sidang umum PBB ke-75 kemarin, Presiden Joko Widodo dalam pendahuluannya menyebutkan, “tidak ada artinya sebuah kemenangan dirayakan di tengah kehancuran.”
Pernyataan menarik, yang sekaligus juga mengherankan. Sebab, hal tersebut dilontarkan setelah pemerintah sendiri bersikeras untuk menggelar pilkada serentak untuk merayakan dan mempertahankan kemauan serta kepentingan para elit politik, di saat rakyatnya banyak yang bergelimpangan karena kasus Covid.
Apalagi beberapa hari terakhir, jumlah kasus harian yang tercatat mencapai 4.000an kasus. Belum lagi jumlah korban yang meninggal. Tempat pemakaman umum di daerah Jakarta misalnya, dulu ketika masih dilaksanakan lockdown ketat, jumlah orang yang disemayamkan di sana ada sekitar 4-5 orang per hari. Sekarang, dengan banyaknya kasus yang tercatat, penggali kubur harus berjibaku menguras keringat, karena dalam sehari harus pontang-panting untuk memakamkan hampir 10 orang, bahkan lebih.
Bandingkan dengan negara kiwi Selandia Baru, negara tetangga Australia ini melaporkan kasus tertingginya di bulan April yang mencapai 89 kasus, itu pun dalam beberapa bulan, negeri mereka sempat bebas dari corona dan hanya menyisakan beberapa kasus aktif. Namun, dalam beberapa hari terakhir, pemerintah yang dipimpin oleh Jacinda Arden memilih untuk menunda pemilu dan melakukan pembatasan kembali di Kota Auckland karena ada kenaikan Sembilan kasus di wilayah ibukota. Padahal, jumlah kasus aktif di sana, ‘baru’ mencapai 58 kasus secara keseluruhan.
Pemungutan suara awalnya dijadwalkan pada 19 September, tapi sekarang diundur hingga 17 Oktober. Tanggal baru akan memungkinkan para partai “untuk menyesuaikan rencana dengan berbagai keadaan yang akan dihadapi selama kampanye”, kata Perdana Menteri Jacinda Senin lalu.
Sebagai gambaran, Selandia Baru melaporkan lebih dari 1.600 infeksi dan 22 kematian sejak pandemi dimulai, menurut catatan Universitas Johns Hopkins. Pemberlakukan lockdown lebih awal, pembatasan yang ketat di perbatasan, pesan kesehatan yang efektif, serta program uji-dan-lacak yang agresif membantu rakyat untuk terbebas dari belunggu virus corona.
Mari kita bandingkan dengan kebijakan pemerintah Indonesia, sejak awal corona menyebar luas, pemerintah kita dengan tenangnya menyatakan bahwa Indonesia akan aman-aman saja. Bahkan salah satu menteri mengklaim bahwa tubuh kita dapat sembuh sendiri asalkan sering minum jamu dan berjemur di pagi hari.
“Tidak ada yang perlu dikhawatirkan,” ujar salah satu elit kita. Sikap menganggap remeh seperti itulah yang justru membawa buah simalakama. Hasil dari tindak gegabah pemerintah kini mengakibatkan korban meninggal akibat corona sedikit lagi mencapai 10 ribu jiwa. Belum lagi munculnya pengangguran baru dengan jumlah lebih dari 2 juta orang yang dapat terhitung sebagai kemunduran potensial yang sudah diusahakan pemerintah selama bertahun-tahun.
Dengan deretan situasi buruk tadi, Indonesia mencatatkan diri sebagai salah satu negara dengan penanganan covid terburuk di Asia, bahkan dunia. Bagaimana tidak: mengabaikan nasihat ahli, tidak mempercayai masyarakat sipil, dan gagal mengembangkan strategi yang koheren. Lengkap sekali blundernya!
Seakan belum paripurna derita yang ditanggung masyarakat kelas bawah, sekarang pemerintah tetap bersikukuh melaksanakan pilkada serentak dengan menyilakan para pasangan calon dan pendukungnya untuk melakukan pawai bahkan kumpul massa, yang bisa jadi justru makin memperparah kasus covid yang belum terlihat jalan keluarnya.
Dari sini, jelas terlihat bahwa berharap Indonesia segera masuk kategori baldatun thoyibatun wa rabbun ghofur kok semakin sulit dan sepertinya lama untuk tercapai. Selain karena sistem korup yang masih menjadi penyakit birokrasi kita, segala anugerah dan potensi yang diberikan Sang Maha Kuasa justru lebih sering kita sia-siakan dan tidak dijaga: hutan digunduli, tanah subur makmur hanya dikuasai para cukong tanpa memberikan keuntungan banyak pada rakyat kecil, laut biru nan kaya malah dicemari.
Kalau sudah begini, rakyat kita yang mayoritas nurut, mungkin di titik terjenuhnya akan menganggap pemerintah tidak ada, kebijakan yang diaplikasikan hanya dilihat sebelah mata. Kepercayaan surut sebab pemerintah tak lagi menerapkan prinsip-prinsip mubadalah dalam mengemban amanah.
Ketika berkampanye berkoar-koar, tapi setelah terpilih, nyatanya lupa daratan. Meminjam judul buku Ben Bland, pemerintah dan Pak Jokowi di periodenya yang kedua bukannya memperlihatkan sisi terbaik mereka, malah justru hanya menampilkan sisi “man of contradictions”nya. []