Mubadalah.id – Pemahaman masyarakat tentang kekerasan seksual masih belum sempurna. Beberapa masyarakat juga masih bingung dengan apa saja bentuk-bentuk kekerasan seksual. Tulisan ini lahir dari sebuah ruang diskusi yang narasaumbernya adalah Dr. Muhrisun Affandi. M.SW. Beliau adalah seorang dosen UIN Sunan Kalijaga sekaligus pekerja sosial yang memiliki fokus terhadap isu-isu anak. Sehingga, artikel ini pembahasannya fokus terhadap kekerasan terhadap anak, namun penulis memandang bahwa materi yang disampaikan bisa dimaknai secara lebih luas guna memahami kesalahan pemahaman mengenai kekerasan seksual secara umum.
Pemahaman salah mengenai kekerasan seksual yang ada di masyarakat tentu dipengaruhi oleh banyak faktor. Kesalahpahaman tentang kekerasan seksual ini nampak miris, karena dipandang lazim oleh beberapa masyarakat dan telah berkembang dalam kurun waktu yang tidak singkat. Sehingga, penulis tertarik untuk mengulas beberapa kesalahan pemahaman yang terjadi di masyarakat mengenai kekerasan seksual:
Pertama, pelecehan seksual dipahami oleh masyarakat sebatas pada kasus yang disertai dengan kekerasan. Masyarakat dalam hal ini memahami bahwa sesuatu yang dikatakan sebagai pelecehan seksual adalah sesuatu yang disertai dengan kekerasan, sehingga selalu memiliki bukti secara fisik. Padahal pelecehan seksual yang tidak disertai dengan kekerasan sangat banyak seperti ctt calling, jokes yang mengarah pada seksualitas dan merendahkan. Kita perlu ketahui kata kuncinya, bahwa pelecehan seksual adalah bagian dari kekerasan seksual dan pelecehan seksual tidak selalu disertai dengan kekerasan. Sehingga, pelecehan seksual tidak selalu memiliki bukti berupa kekerasan fisik.
Kedua, pelecehan seksual tidak selalu melibatkan penetrasi (genital). Masyarakat sering memahami bahwa kekerasan seksual selalu berkaitan dengan penetrasi. Hal ini dipengaruhi oleh rendahnya tingkat edukasi mengenai seksualitas di kalangan masyarakat umum. Lalu, bagaimana jika pelecehan seksual tidak selalu melibatkan penetrasi? Jadi kekerasan seksual memang tidak selalu melibatkan penetrasi sebab, setiap individu memiliki fantasi atau cara untuk memuaskan hasrat seksualnya dengan cara berbeda-beda.
Beberapa individu memang memiliki cara memuaskan hasrat seksual dengan penetrasi tetapi, beberapa orang yang lain tidak. Terdapat beberapa cara dalam memuaskan hasrat seksual seperti: Exhibitionsm, Sadomasochism, Voyeurism, Fetish, Gerontophilia dll. Beberapa hal yang disebutkan sebelumnya merupakan bentuk ketertarikan seksual dan bagian dari ragam seksualitas.
Ketiga, kekerasan seksual sering dilakukan oleh orang yang lebih tua atau lawan jenis kelamin. Realitanya, bahwa kekerasan seksual bisa dilakukan oleh siapa saja dan mungkin terjadi pada siapa aja. Bahkan penelitian yang dilakukan oleh Ivo Novian (2015) dalam artikelnya yang berjudul Kekerasan Seksual Terhadap Anak: Dampak dan Penanganannya Child Sexual Abuse: Imapct dan Hendling mengatakan bahwa kekerasan yang terjadi terhadap anak banyak dilakukan orang orang-orang dewasa di sekitarnya. Sehingga, kekerasan khususnya terhadap anak juga tidak selalu dilakukan oleh orang asing, justru kekerasan terhadap anak yang sering ditemukan pelakunya adalah orang-orang terdekat.
Keempat, kekerasan terhadap anak tidak selalu dilakukan oleh pedofilia. Banyak kasus kekerasan seksual terhadap anak pelakunya memang pedofil, tetapi tidak selalu yang melakukan kekerasan seksual adalah seorang pedofil. Artinya, munculnya kemungkinan bukan pedofilia yang melakukan kekerasan terhadap anak. Maraknya pedofilia di Indonesia juga atas pengaruh beberapa faktor seperti budaya permisif terhadap pedofilia yang berkembang di Indonesia dan rendahnya penegakan hukum yang ada di Indonesia.
Kelima, menganggap sesuatu tabu dalam konteks keragaman budaya. Anggapan tabu yang menguat dalam budaya masyarakat, akhirnya juga melahirkan sikap yang permisif terhadap perkembangan budaya patriarkhi. Kita sering merasakan dan menyadari terhadap suatu opresi atas pengaruh budaya patriarkhi, tetapi karena secara umum masyarakat menganggapnya tabu, maka berpengaruh atas proses memeranginya.
Sama halnya dengan masalah kekerasan seksual yang dilakukan oleh seorang tokoh yang terkemuka atau tokoh penting di masyarakat juga seringkali tidak terselesaikan dalam proses penanganan. Ihwal terhambatnya proses penegakan hukum fenomena tersebut juga bagian dari pengaruh kuatnya anggap tabu di masyarakat,
Tulisan diatas bertujuan untuk sedikit menambah pengetahuan terhadap masyarakat mengenai kekerasan seksual, khususnya kesalahpahaman yang sering terjadi di masyarakat. Mengetahui bentuk-bentuk kekerasan seksual yang kerap terjadi di masyarakat harapannya menjadi salah satu upaya preventif terjadinya kekerasan seksual lebih meluas. []