Mubadalah.id – Dalam memperingati Hari Kesehatan Nasional 2024, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) berpandangan bahwa Negara penting melakukan upaya sistematis untuk menguatkan kesehatan perempuan sebagai bagian dari hak asasi manusia.
Hal ini sesuai mandat UUD NRI pasal 28 H (1) yaitu untuk hidup sejahtera lahir dan batin, mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta untuk memperoleh pelayanan kesehatan serta Pasal 34 ayat (3) yang menyatakan bahwa Negara bertanggung jawab atas penyediaan pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.
CEDAW (Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan) juga menekankan pentingnya hak kesehatan perempuan dan upaya pemenuhannya oleh Negara. Hak atas kesehatan mencakup antara lain hak untuk mendapatkan kehidupan dan pekerjaan yang sehat, hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dan perhatian khusus terhadap kesehatan ibu dan anak.
“Akan tetapi kondisi saat ini belum memperlihatkan pemenuhan hak atas kesehatan yang optimal. Seperti masih terbatasnya akses dan layanan kesehatan secara umum. Serta layanan kesehatan yang diperuntukkan khusus bagi perempuan,” kata Retty Ratnawati, Komisioner Komnas Perempuan.
AKI
Hal ini terindikasi dari masih tingginya angka kematian ibu (2022) yaitu 207 per 100.000 kelahiran hidup yang menunjukkan bahwa derajat kesehatan yang setinggi-tingginya belum bisa dinikmati oleh perempuan di Indonesia. Angka kekerasan terhadap perempuan yang berdampak pada kesehatan perempuan juga tinggi.
Berdasarkan catatan tahunan Komnas Perempuan, 24.529 kasus kekerasan seksual terjadi sepanjang tahun 2018 hingga 2023. Di antara kasus tersebut, 23% atau sebesar 5.654 kasus merupakan kasus perkosaan. Kondisi ini diperberat dengan adanya kekerasan di ruang kesehatan yang dilakukan oleh tenaga medis.
Pada Catahu 2022, terdapat pengaduan secara langsung ke terjadinya kekerasan yang berasal dari 6 (enam) ruang layanan medis dengan pelaku kekerasan adalah 4 (empat) orang dokter.
Dampak lain juga muncul pada kesehatan jiwa perempuan. Sebagai contoh, hasil pemantauan Komnas Perempuan (2021) di RSJ Abepura menemukan sekitar 50% perempuan yang dirawat di RSJ adalah korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Sayangnya, layanan kesehatan perempuan masih menghadapi tantangan terkait akses dan sarana prasarananya. Jumlah Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) misalnya hingga Juni 2024 adalah 333 unit dari 514 kabupaten/kota.
Jumlah ini belum diiringi dengan ketersediaan tenaga profesional seperti konselor, psikolog klinis, pekerja sosial dan pendamping hukum. Sementara pada isu kesehatan jiwa, Kementerian Kesehatan (2022) menyatakan bahwa fasilitas layanan kesehatan jiwa di Indonesia masih belum merata.
Hanya sekitar 50% dari 10.321 Puskesmas di Indonesia yang mampu memberikan layanan kesehatan jiwa. Sementara hanya 40% rumah sakit umum memiliki fasilitas pelayanan jiwa.
Terdapat sekitar 1.053 psikiater di Indonesia, yang berarti satu psikiater melayani sekitar 250.000 penduduk. Ini jauh di bawah standar WHO yang merekomendasikan rasio 1 psikiater untuk setiap 30.000 penduduk.
Persoalan Layanan Kesehatan di Wilayah
Kondisi demografi Indonesia yang luas dan berbentuk kepulauan juga memberikan persoalan tersendiri. Hingga kini layanan kesehatan di wilayah daratan belum optimal apalagi di daerah kepulauan, wilayah terpencil dan tertinggal lainnya.
“Daerah-daerah ini menghadapi tantangan-tantangan yang lebih berat lagi dalam hal sarana, prasarana. Juga sumber daya manusia dan kondisi alam yang ekstrem serta sulit kita kendalikan. Akibatnya pemenuhan akses dan layanan kesehatan. Terutama bagi perempuan makin terjauhkan karena jarak yang jauh atau melalui transportasi air menuju ke pusat layanan kesehatan,” kata Theresia Iswarini, Komisioner Komnas Perempuan.
Menurut Iswarini, jauhnya akses dan layanan kesehatan ini berdampak lebih lanjut bagi perempuan korban kekerasan berupa pemiskinan struktural.
Kondisi ini sesungguhnya telah diingatkan oleh Pelapor Khusus Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Hak atas Kesehatan kepada Indonesia. Pelapor Khusus merekomendasikan kepada Negara Pihak agar:
Pertama, kebijakan, program, dan layanan kesehatan yang berdasarkan pada pendekatan berbasis hak asasi manusia. Termasuk dengan penekanan kuat pada prinsip-prinsip kesetaraan, non-diskriminasi, transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas.
Kedua, menangani angka kematian ibu dan anak di bawah usia 5 tahun (balita), antara lain dengan merujuk pada Strategi Global dari WHO untuk kesehatan perempuan, anak-anak dan remaja (2016–2030).
Ketiga, menghormati, melindungi dan memenuhi hak kesehatan perempuan dan anak perempuan dengan menghilangkan hambatan terhadap hak-hak kesehatan seksual dan reproduksi mereka, mengakhiri kriminalisasi aborsi, memastikan akses ke layanan aborsi, dan memberikan informasi, layanan, dan produk kesehatan seksual dan reproduksi, khususnya pendidikan seksual yang komprehensif, sensitif terhadap usia dan inklusif di sekolah menengah.
Keempat, memastikan perlindungan komprehensif bagi perempuan terhadap semua bentuk kekerasan berbasis gender dengan menangani, tanpa penundaan, celah yang ada di dalam undang-undang dan dalam praktik, untuk memastikan kesetaraan substantif dan kemampuan perempuan menikmati hak atas kesehatan dan hak terkait.
Gerak Bersama Sehat Bersama
Dalam rangka memperingati Hari Kesehatan Nasional tahun 2024 yang bertema “Gerak bersama Sehat Bersama” ini, Komnas Perempuan merasa penting untuk memaknainya sebagai suatu gerak bersama dalam memenuhi akses layanan kesehatan bagi semua. Termasuk perempuan terutama perempuan korban kekerasan berbasis gender.
Gerak bersama ini juga mengingatkan agar perhatian bisa kita berikan pada wilayah kepulauan maupun tertinggal, terdepan dan terluar (3T). Juga mendorong negara memenuhi hak atas kesehatan bagi perempuan secara berkualitas dan komprehensif.
“Hal ini sebagaimana Rekomendasi Umum CEDAW Nomor 24 yang menyatakan bahwa perempuan berhak mendapatkan layanan dan akses kesehatan ini pada seluruh siklus hidupnya. Termasuk mendapatkan layanan promosi, dan mengeliminasi semua diskriminasi untuk mendapatkan standar kesehatan yang tinggi,” pungkas Satyawanti Mashudi, Komisioner Komnas Perempuan. []