Mubadalah.id – Sebetulnya terlambat. Fatwa terbaru tentang nikah siri yang diputuskan oleh Lembaga Bahsul Masail (LBM) PCNU Kabupaten Cirebon, yang diketuai oleh KH. Imam Nawawi dari Pesantren Gedongan. Untungnya saya mengenal secara pribadi dengan Kiai Nawa. Namun begitu, seperti kata pepatah, lebih baik terlambat ketimbang tidak sama sekali.
Saya yakin, salah satu motif dari terselenggaranya bahsul masail adalah karena pengalaman pribadi Kiai Nawa yang kerap bertugas di KUA Kecamatan setempat. Lepas dari berbagai motif itu dan lainnya, bahwa nikah siri ini sebetulnya kejahatan berbalut syariat atau agama. Masih banyak para ulama yang tidak tegas dan konsisten dalam menyikapi persoalan ini. Sungguh nikah siri seratus persen menimbulkan banyak madarat dan bahaya, bagi banyak pihak, terlebih perempuan.
Termasuk oleh karena itu, saya masih menyayangkan keputusan LBM PCNU Kabupaten Cirebon yang setengah-setengah. Katanya, nikah siri haram, tetapi akadnya tetap sah misalnya ketika menyangkut persoalan usia. Justru karena usialah nikah siri dan nikah dini/nikah anak itu juga haram. Saya menyampaikan permintaan agar keputusan bahsul masail itu disempurnakan secara tegas dan akan menjadi aturan di KUA.
Nikah Siri Haram
Ada sedikitnya dua analogi yang mereka pakai, mengapa kemudian nikah siri haram, tapi sah. Satu, tentang pakaian hasil curian yang dipakai untuk shalat. Katanya, mencuri pakaiannya haram, tapi shalatnya sah. Lagi-lagi saya menyayangkan, keputusan fikih seperti ini. Jadi mestinya mencuri pakaian itu haram dan shalat dengan pakaian hasil curian juga haram.
Dua, jual beli setelah adzan kedua Jum’at, katanya hukumnya haram, tapi transaksi jual belinya sah. Mestinya tidak boleh begitu. Transaksi jual belinya juga haram karena berlaku bagi umat Muslim.
Saya merasa analogi itu memang ada pentingnya. Namun begitu, tidak semua analogi bisa pas kalau kemudian dijadikan komparasi kasus per kasus. Ada saatnya analogi itu memang pas, ada kalanya analogi juga akhirnya malah mengaburkan hukum.
Menilik Pengalaman KUPI
Melalui catatan harian ini, sekali lagi saya meminta secara khusus kepada Kiai Nawa dan LBM untuk segera menyempurnakan keputusan hukum haram secara menyeluruh terkait dengan nikah siri. Sebab nikah itu kebahagiaan dan ibadah. Siapa pun yang menyembunyikan kebahagiaan dan ibadah soal nikah sudah pasti bertentangan dengan syariat. Adanya siri itu karena memang ada “sesuatu” yang dekat dengan aib.
Saya pikir keputusan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) soal nikah siri (dan dalam soal lainnya tentang khitan perempuan atau P2GP, nikah beda agama, nikah anak, dll) jauh lebih memanusiakan dan sesuai dengan spirit Islam yang memuliakan perempuan.
Bagaimana mungkin agama yang punya sejuta misi untuk melindungi manusia, tetapi justru malah menyakiti hati perempuan. Ini pasti ada yang salah, terutama produk fikih para ulama yang terbatas konteks dan budaya patriarkhi yang selama ini mendarah-daging.
Fikih dan ushul fikih tidak mungkin mencederai kemanusiaan dan hak asasi manusia. Sebab fikih dan ushul fikih yang bias gender sudah pasti merupakan kreasi pemikiran para ulama klasik yang terbatas konteks dan kungkungan budaya patriarkhi. Semoga bermanfaat. Wallaahu a’lam. []